Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Istilah “Al-Laqith” oleh para penulis sering diterjemahkan “anak temuan”. Sebagai salah satu persoalan hukum (perdata ) kitab fikih menempatan pembahasan tersebut dalam bab tersendiri. Pembahasanya biasa dikaitkan dengan pembahasan pengakuan anak. Pembahasan mengenai pemberian status anak temuan dan pengakuan anak (istilhaq) sering beriringan dan nyaris tidak bisa dipisahkan. Dalam pangamatan Prof. Abdul Manan (2012:95) hampir semua kitab fikih tradisional maupun kontemporer menulis tentang lembaga pengakuan anak ini, khususnya kepada anak temuan yang diberi istilah “al-laqith” tersebut. Negara-negara Islam Timur Tengah juga memberikan perhatian khusus mengenai hal ni. Perhatian tersebut diimplementasikan dalam bentuk regulasi, seperti pembuatan undang-undang yang pada pokoknya menetapkan bahwa perlindungan terhadap anak temuan itu merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang Islam yang menyantuninya, jika ia tidak melaksanakan ia akan berdosa dan dapat dikenakan denda sebagai perbuatan pidana. (Ibid).
Perkara Asal Usul Anak
Dalam praktik perkara yang terkait dengan pemberian status anak ‘yang tidak jelas’ ini biasanya diajukan melalaui perkara dengan nomenklatur asal usul anak. Tentang cakupan perkara yang termasuk dalam perkara asal usul anak ini para praktisi (hakim dan pengacara) tampaknya belum sepaham. Perkara apa saja yang dapat diajukan dengan nomenklatur asal usul anak, memang belum secara jelas dicantumkan oleh peraturan perundang-undangan. Akibatnya, ketika menghadapi problem yang berkaitan dengan pemberian status anak, masyarakat pun juga sering bingung akan mengemas perkaranya dengan nomenklatur perkara apa. Mereka tahu tujuannya tetapi tidak tahu tatacaranya. Akibat berikutnya, karena petugas hanya menerima saja perkara yang didaftarkan, dan memamg begitu seharusnya, pihak pengaju pekara sering kecewa ketika sudah diperiksa hakim. Perkara yang diajukan dengan susah payah itu harus kandas karena dinyatakan tidak dapat diterima atau lazim disebut NO ( niet ontvankelijk verklaard). Dengan keputusan demikian menandakan bahwa hakim belum memeriksa materi pokok perkara. Alasan Hakim, perkara volunter yang diajukan tidak termasuk kompetensi absolutnya. Argumen berikut yang juga sering dikemukakan, bahwa pengadilan tidak boleh mengadili perkara volunter kecuali ada aturan yang jelas-jelas memerintahkan untuk mengadilinya. Terkait pemberian status anak, pemahaman terakhir ini agaknya perlu dikoreksi sebab walaupun peraturan-perundang tidak memerintahkan, tetapi kejelasan status anak tersebut saat ini nyata-nyata menjadi kebutuhan hukum masyarakat karena terkait dengan norma sosial dan lalu lintas hukum lainnya.
Yang lebih mengherankan ialah ketika ada perkara asal-usul anak dengan permohonaan agar anak ditetapkan sebagai anaknya, lantas di persidangan dibebani pembuktian dengan mengacu kepada Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pembuktian asal usul anak, yaitu dengan meminta bukti akta kelahiran. Konsekuensinya kalau pengaju perkara tidak dapat memenuhi bukti tersebut, perkaranya lantas ditolak. Sikap demikian jelas salah, sebab justru karena tidak mempunyai akta kelahiran itu, dimohonkan kepada pengadilan agar anak tersebut diberi status guna tindakan perdata berikutnya, yaitu mengurus administrasi kependudukan. Dan, mengenai hal ini sebenarnya ayat berikutnya jelas memberikan petunjuk, bahwa apabila akta kelahiran tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Dengan demikian, karena merasa tidak mempunyai akta kelahiran itulah, maka masyarakat mengajukan perkara asal usul anak. Kemudian, juga tidak relevan, jika perkara asal usul anak, dalam pemeriksaan lantas berkutat mengenai membuktian keabsahan status perkawinan kedua orang tuanya.
Status Anak Temuan
Ketika ada perkara menyangkut anak dan dimohonkan statusnya di pengadilan (agama) ingatan hakim biasanya selalu tertuju kepada ketentuan Pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang memandang sahnya anak hanya apabila anak tersebut dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan sah. Sahnya anak selalu dilihat dengan kacamta: hitam putih. Cara pandang demikian tentu tidak salah jika kenteks yang dibicarakan sebelumnya mengenai eksistensi perkawinan. Akan tetapi tidak boleh lantas pasal itu harus dibawa untuk ‘menghakimi’ semua pembicaraaan mengenai status anak. Karena di samping melalui lembaga pernikahan terdapat pembicaraan mengenai status anak yang muncul dari lembaga hukum lain, dalam hal ini lembaga asal usul anak. Dasar pemikiran demikian perlu menjadi pijakan para pengadil. Tujuannya adalah agar ketika menghadapi kasus yang berkaitan dengan permohonan status anak di pengadilan, para pengadil mempunyai dasar pijakan yang sama.
Mengapa perlu pijakan sama, sebab dalam praktik di masyarakat bisa terjadi ada pasangan yang sudah lama tidak mempunyai anak. Lantas ketika ada bencana alam atau karena sebab lain, pasangan tersebut kemudian menemukan anak kecil di jalan atau tempat tertentu lainnya. Lantas pasangan tersebut mengajukan perkara ke pengadilan agama dan mohon agar anak tersebut ditetapkan sebagai anaknya. Dalam praktik yang lazim, atas ‘petunjuk’ pengadilan pasangan tersebut biasanya mengajukan perkara pengangkatan anak. Akan tetapi, secara empiris, megajukan perkara dengan acara demikian relatif rumit dari sisi administrasi. Keribetan administrasi ini semakin terasa ketika pasangan itu harus tunduk kepada semua ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Di sinilah urgensi pengadilan mengetahui, bahwa terdapat cara lain selain beracara melalui lembaga pengangkatan anak, yaitu melalui lembaga pengakuan anak, dalam hal ini mengakui anak yang temuan (al-laqith) sebagai anaknya.
Sebagaimana disinggung di muka, para ulama telah menulis masalah anak temuan ini dalam bab sendiri. Sayid Sabiq, sebagaimana dikutip Prof.Abdul Manan (Ibid, halaman 94) memberikan definisi anak temuan ini anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau sesat di jalan dan tidak diketahui keluarganya. Hukum memungutnya merupakan fardhu kifayah, sama memungut barang yang hilang lainnya. Dan, sebagaimana ditulis Prof. Abdul Manan (Ibid, halaman 97) ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai pengakuan anak tersebut hanya dari segi lahir semata bukan dari segi hakikat dan agama (diyani). Sehubungan dengan hal itu, apabila seseorang mengambil anak dari rumah sakit yang tidak diketahui orang tuanya kemudian mengakui sebagai anaknya, maka perbuatan ini mengakibatkan timbulnya hubungan hukum keperdataan antara anak yang diakui tersebut dengan orang yang mengakuinya sebagai anak kandung. Tentang sejauh mana konsekuensi hukumnya, telah menjadi wacana perdebatan ahli hukum Islam (fukaha).
Orang Islam yang menemukan anak temuan dapat melakukan pengakuan terhadap anak tersebut sebagai anak kandungnya. Apabila pihak ang menemukan anak tersebut telah mengkirarkan pengakuannya, maka sahlah anak tersebut sebagai anaknya sendiri dan sah pula pertalian nasab anak tersebut dengan orang yang mengakuinya meskipun pengakuan tersebut di lawan orang lain dengan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan. (Ibid: 95-96). Mengenai kriteria pengakuan yang dapat dikualifikasikan mempunyai akibat hukum, juga telah ditulis dalam kitab-kitab fikih. Akan tetapi yang pasti masalah ini telah menjadi wacana pembahasan ahli hukum Islam (fukaha), termasuk mengenai sejauh mana konsekuensi hukumnya.
Kesatuan Pendapat
Sebagaimana diketahui selama ini Pengadilan Negeri juga menerima dan mengadili perkara pengakuan anak seperti anak luar kawin (anak zina) termasuk (mungkin) terhadap anak temuan. Hal ini wajar karena di samping hanya berupa perkara volunter, juga belum diatur secara tegas mengenai kompetensi absolutnya. Sebagai sesama peradilan negara, dalam kasus dan untuk kepentingan yang sama, tidak boleh ada cara pandang berbeda. Jangan sampai terjadi dalam kasus perkara perwalian yang saat ini juga sama diadili oleh Pengadilan Nageri dan Pengadilan Agama. Untuk perkara yang sama dan kepentingan yang sama, keputusan (penetapan) sebagai produk pengadilan tidak sama, khususnya dalam formulasi pembuatan amar.
Yang harus menjadi perhatian bersama, mengenai eksistensi anak ini, termasuk statusnya, saat ini telah menjadi perhatian masyarakat dalam skala luas, bahkan dunia. Diterbitkannya berbagai peraturan perundang-undangan mengenai anak menjadi bukti hal itu. Aparat peradilan, termasuk peradilan agama harus responsif terhadap realita demikian. Para aparat peradilan harus mengapung di atas lautan agar bisa melihat cakrawala hukum dengan spektrum yang lebih luas. Dan, bukan malah menyelam sehingga hanya bisa melihat hukum dengan jarak pandang terbatas. Dalam kajian fikih, spektrum luas itu juga telah ditawarkan dengan berbagai pendapat para fukaha ( ahli hukum Islam) yang sering berbeda satu sama lain ketika menyikapi satu persoalan hukum. Kasus al-laqith dalam lembaga al-istilhaq juga merupakan salah satu kajian penuh warna dalam fikih yang perlu kita buka lagi.
Melihat urgensinya, ke depan masalah di atas di samping perlu menjadi concern para praktisi (hakim dan pengacara) juga perlu segera dibuatkan regulasinya oleh pemegang otoritas agar masyarakat segera mendapat kejelasan pengetahuan ketika harus berhadapan dengan problem yang menyangkut pemberian status anak. Wallahu A’lam.
Bahan Bacaan
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut, 1982
Abdul Manan, Prof.Dr.H., S.H.,M.H., S.IP, M.Hum, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan ke-3, Kencana, Jakarta, 2012.
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com