JAKARTA, Beritalima.com– Kondisi Anggaran Pendapan dan Belanja Negara (APBN) saat ini cukup berat. Keterangan Kementerian Keuangan, defisit APBN 2021 direncanakan Rp1.006,4 triliun dengan prakiraan rasio 5,70 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Keseimbangan primer ditargetkan minus Rp633,1 triliun sehingga memperbesar ketergantungan pada utang baru untuk bisa membayar bunga utang lama.
Kondisi APBN yang berat diperkirakan masih akan berlangsung hingga beberapa tahun ke depan. Ini tentu sulit untuk menjadikan APBN sebagai tumpuan pembiayaan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Anggota Panitia Kerja (Panja) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Energi DPR RI, Amin Ak mendorong pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan dua hal strategis. Pertama, bersama DPR Pemerintah mepercepat lahirnya undang-undang yang memberikan kepastian hukum bagi pihak swasta ataupun lembaga internasional yang ingin berinvestasi di sektor energi terbarukan.
“Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021 harus mempu menjawab kebutuhan investor agar mereka nyaman berinvestasi di sektor energi terbarukan,” tegas Amin yang juga Anggota Badan Legislasi DPR RI itu.
Lebih lanjut, legislator dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur itu mengatakan, banyak pilihan skema pendanaan pengembangan EBT jika aturan main, baik UU maupun produk hukum turunannya mampu memberikan kepastian hukum dan iklim usaha yang dibutuhkan investor. Harus ada keberpihakan yang jelas melalui berbagai kebijakan jika pemerintah ingin target pengembangan EBT lebih cepat terealisasikan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No: 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Presiden No: 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025 peran EBT dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 23 persen dan diharapkan terus meningkat menjadi 31 persen pada 2050.
Menurut anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI ini, waktu 30 tahun terbilang sebentar untuk bisa merealisasikan target tersebut. Dia mengungkapkan, Uni Eropa saat ini punya dana 350 juta Euro untuk pengembangan EBT di Indonesia.
Namun, mereka itu membutuhkan komitmen dan konsistensi kebijakan pemerintah untuk merealisasikan pengembangan EBT. Pemerintah juga bisa memanfaatkan dana perdagangan karbon yang dimiliki lembaga donor internasional maupun perusahaan nasional dan multinasional.
Hal itu sejalan dengan UU No: 16/2016 yang meratifikasi Paris Agreement, dimana pada 2030, Indonesia menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 29 persen (jika dilakukan dengan kemampuan sendiri) dan 41 persen dengan bantuan Internasional.
Inovasi Co-Firing
Strategi kedua yang bisa dilakukan saat ini, jelas anggota Komisi IV DPR RI ini, menentukan prioritas pemilihan jenis energi terbarukan agar tidak memberatkan APBN. Amin mencontohkan, penggunaan biomassa untuk mensubstitusi penggunaan batu bara pada seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN.
“Sudah ada inovasi dan teknologi yang mampu menyulap energi biomasa yang dihasilkan dari limbah industri pengolahan kayu seperti pellet kayu, serpihan kayu maupun serbuk gergajian menjadi bahan bakar substitusi batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU),” ungkap Amin.
Contohnya langkah Perum Perhutani, yang sudah menguji coba teknologi co-firing, yaitu menggabungkan pasokan batubara dan sumber daya biomasa untuk PLTU di Paiton, Jawa Timur, serta PLTU Cikarang Listrindo dan PLTU Palabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.
“Ini kan bisa menjadi bagian dari restrukturisasi BUMN Perkebunan yang sedang dijalankan pemerintah. Terobosan itu, bukan hanya mengurangi beban APBN, juga bisa menjadi sumber pendapatan buat BUMN perkebunan, sekaligus mengurangi emisi GRK,” beber Amin.
Pemanfataan co-firing juga bisa diperluas pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) milik PT PLN terutama di Indonesia Timur, sehingga secara bertahap mengganti penggunaan bahan bakar minyak solar. Mengganti minyak solar dengan energi biomasa, Indonesia bisa menghemat devisa dari impor solar yang setiap tahun nilainya meningkat.
“Berdasarkan data Kementerian ESDM, pemanfaatan co-firing biomassa pada pembangkit listrik tenaga batu bara itu mampu menambah bauran energi terbarukan hingga 3 persen pada tahun 2025,” jelas wakil rakyat dari Jember dan Kabupaten Lumajang ini.
Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini ada 114 unit PLTU milik PT PLN yang tersebar di 52 lokasi dengan total kapasitas 18.154 megawatt. Penggunaan co-firing biomassa dengan campuran biomassa satu persen saja, itu berpotensi meningkatkan bauran EBT 0,18 persen.
Jika penambahan biomassa dilakukan tiga persen atau 5 persen, potensi peningkatan bauran EBT bisa mencapai 0,54 persen hingga 0,9 persen. Bila komposisi campuran biomassa mencapai 10 persen, peningkatan baurannya bisa 1,79 persen. “Dengan keberpihakan dan kebijakan yang tegas, ada banyak jalan meningkatkan bauran energi tanpa memberatkan APBN saat ini yang sedang tidak sehat,” demikian Amin Ak. (akhir)