Amin Ak Tolak Privatisasi Aset Negara di Sektor Ketenagalistrikan  

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR menolak rencana Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan privatisasi aset-aset negara di sektor ketenagalistrikan.
Privatisasi akan dilakukan melalui penawaran saham ke publik (Initial Public Offering/IPO) BUMN Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PTLP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Aset negara dibangun dengan uang rakyat dan merupakan sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tidak sepatutnya diswastanisasi,” ungkap legislator PKS dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak dalam keterangannya yang diterima Beritalima.com, Kamis (5/8) malam.
Anggota Komisi VI DPR RI itu mendesak pemerintah dan PT PLN (Persero) menyelesaikan akar persoalan utama penyebab menggelembungnya utang PT PLN, ketimbang menjual aset negara untuk menutupi utang.
Sebab akhirnya, kata Amin, utang akan terus ada kalau akar masalah tak diselesaikan, sementara aset yang sudah beroperasi dan menghasilkan listrik dengan baik malah menjadi milik swasta.
“Beban keuangan PT PLN semakin berat. Utang PLN saat ini hampir Rp 500 triliun,” kata Amin.

Salah satu akar yang membebani keuangan PT PLN adalah mekanisme kerjasama pembelian atau kontrak listrik swasta yaitu Independent Power Producer (IPP) melalui klausul ‘Take Or Pay’ (TOP), yaitu kewajiban PLN membeli minimal 70 persen produksi listrik swasta.

Padahal saat ini pasokan listrik secara nasional surplus lebih dari 30 persen.
Awal 1990-an, produksi listrik PLN memang kurang, sehingga klausul TOP dibuat untuk membujuk swasta memproduksi listrik.

Namun, saat ini PLN malah kelebihan suplai (surplus) lebih dari 30 pesen dari kebutuhan nasional. Padahal PLN sudah investasi mahal untuk pengadaan pasokan listrik sendiri,” beber Ketua Pokja Fraksi PKS di Komisi VI DPR RI ini.

Dikatakan Amin, untuk kontrak lama yang masih berjalan, Fraksi PKS DPR RI memakluminya. Namun, untuk kontrak baru atau perpanjangan, klausul yang sangat membebani dan merugikan PLN harus direnegosiasi PLN.
Untuk PLTP baru, semestinya PLN bisa membeli harga listrik lebih murah, karena pemerintah sudah memutuskan menanggung biaya eksplorasi sumber tenaga panas bumi.

Namun, lanjut Amin, Fraksi PKS meminta pemerintah menjaga etos serta semangat kerja PLN untuk terus membangun pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam rangka meningkatkan bauran energi nasional.

Ini adalah saat yang tepat PT PLN untuk memanfaatkan tenaga matahari (solar) dan panas bumi yang sudah sangat ekonomis secara maksimal. “Jangan malah merusak suasana dengan menjual aset PLTP milik BUMN yang sangat berharga itu,” kata Amin.

 

Terkait rencana IPO, Fraksi PKS meminta Pemerintah mencari cara lain untuk mengatasi utang PLN. Jangan dengan menjual aset yang berharga yang dimilikinya.

Rencananya, pembangkit milik PLN (PLTP Ulebelu&PLTP Lahendong), pembangkit milik Indonesia Power (PLTP Kamojang, PLTP Gunung Salak dan PLTP Darajat) serta pembangkit milik Geo Dipa Energi (PLTP Dieng & PLTP Patuha) akan diholdingisasi di bawah kendali PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).

Menurut Amin, IPO perusahaan atau anak perusahaan BUMN kelistrikan akan membuat fungsi PLN sebagai penyeimbang tarif listrik masyarakat akan hilang karena diprivatisasi. Jika murni mengikuti prinsip bisnis, dia khawatir harga listrik bakal naik karena yang berjalan sepenuhnya mekanisme pasar.

Padahal, kata Amin, sesuai putusan Mahkamah Konstitutsi (MK), usai Judicial Review UU No: 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dan juga Judicial Review UU No: 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, ditetapkan tenaga listrik termasuk ke dalam cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Karena itu, ini harus dikuasai Negara.

Selain itu, program Subholding dan IPO akan menambah beban usaha pada bagian pembelian tenaga listrik. Mengapa demikian?
Berdasarkan laporan keuangan PT PLN tahun lalu, beban usaha terbesar PT PLN adalah pembelian energi primer 35 persen dan pembelian tenaga listrik swasta (IPP) 33 persen.

Dan kedua hal tersebut di luar kontrol dari PT PLN dan menjadi penyebab ketidakefisienan dan mahalnya tarif listrik.
“Artinya, jika IPO dilakukan, kontrol PLN akan semakin lemah sehingga beban PLN untuk pembelian listrik kepada pihak swasta akan semakin berat,” demikian Amin Ak. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait