Amin Desak Pemerintahan Jokowi Serius Benahi Industri Gula Nasional

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Legislator dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Lumajang dan Jember-red), Amin Ak mendesak Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menyampaikan road map kebijakan swasembada gula nasional ke DPR RI sebelum terbentuknya holding pabrik gula Sugar Company atau SugarCo.

Dikatakan anggota Komisi VI DPR RI tesebut, upaya swasembada gula nasional hanya bisa dilaksanakan jika persoalan industri gula dalam negeri diselesaikan dari hulu hingga ke hilir. Itu terkait erat dengan kemampuan daya saing gula domestik dan keberlanjutan produksi bahan baku di dalam negeri.

Menurut anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI ini, pembenahan industri gula nasional harus dituangkan dalam kebijakan yang tegas dan disusun dengan matang, komitmen yang kuat agar tidak muncul masalah di kemudian hari.
Tanpa bermaksud pesimistis, kata Amin, jangan sampai pembentukan SugarCo berujung pada penjualan aset negara yang dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait. “Juga jangan sampai terus membebani negara karena sering meminta Penyertaan Modal Negara (PMN),” tegas Amin.

Hal itu dikatakan Ketua Pokja Komisi VI Fraksi PKS di sela-sela Rapat Dengar Pendapat dengan Dirut PT Perkebunan Nusantara II, III, VII, IX, X, XI, XII dan XIV (Persero) terkait Progres Pembentukan Holding Pabrik Gula (SugarCo) Gedung Nusantara I Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (20/9).

Sebagaimana diketahui, Induk Holding PTPN Group, PT Perkebunan Nusantara III (Persero) berencana membentuk PT SugarCo dengan proyeksi investasi Rp 23 triliun. SugarCo nantinya merupakan gabungan seluruh pabrik gula milik negara yakni PTPN II, PTPN VII (PT BCAN), PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII (PT IGG) dan PTPN XIV.

Pembentukan SugarCo akan dimulai dengan spin-off aset pabrik gula secara utang. Selanjutnya, PTPN Group akan melakukan divestasi saham kepada investor yang berminat maksimal 49 persen.

Menurut Amin, kebijakan yang tidak tegas menjadi pangkal persoalan pergulaan di tanah air saat ini. Dia mencontohkan, dalam UU No: 39/2014 Pasal 74 disebutkan, setiap unit pengolahan hasil perkebunan tertentu yang berbahan baku impor, wajib membangun kebun paling lambat tiga tahun setelah pusat pengolahannya beroperasi. Namun, aturan itu dianulir dengan adanya UU Cipta Kerja (Ciptaker).

Dalam aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) No: 26/2021 Pasal 30 ayat 2 disebutkan, unit pengolahan gula tebu berbahan baku impor dalam ketentuan ini tak termasuk unit pengolahan gula rafinasi.

Akibat kebijakan ini, kata Amin, para importir raw sugar itu terbebas dari kewajiban membangun perkebunan meski telah beroperasi puluhan tahun. “Bagaimana perusahaan gula BUMN bisa bersaing dengan aturan seperti itu, dan bagaimana swasembada gula bisa dicapai?,” tanyanya.

Dikatakan, untuk menambal defisit neraca gula harus dimulai dengan komitmen perluasan wilayah penanaman tebu. Setidaknya kita memerlukan 400.000 bahkan sampai 700.000 hektare lahan untuk mencapai target tersebut.

Amin menegaskan, penting terobosan teknologi untuk meningkatkan produktivitas tebu nasional yang setiap tahun kecenderungannya mengalami penurunan hingga hanya menghasilkan 2,1 juta ton pada 2020. Kebijakan soal harga tebu pun tak kalah penting, karena kebijakan harga acuan kerap tak berjalan di lapangan karena tidak ada lembaga yang mengimplementasikan penindakan (enforcement).

Sebagaimana diketahui, rata-rata produksi gula nasional saat ini hanya berkisar 2,2 juta ton per tahun. Adapun kebutuhan gula konsumsi rumah tangga per tahun mencapai sekitar 2,8 juta ton dan untuk industri 3,62 juta ton. Artinya kebutuhan impor bisa mencapai 4,22 juta ton setiap tahun.

“Impor pada tahap tertentu masih dibutuhkan, terutama untuk menjaga stabilitas harga. Namun pemerintah harus berani menjaga keseimbangan pasar kepentingan dalam negeri terutama keberlanjutan produksi dalam negeri dan kesejahteraan petani,” demikian Amin Ak. (akhir)

 

beritalima.com

Pos terkait