Anak-Anak Soeharto Sedang Berkaca Di Cermin Retak

  • Whatsapp

Oleh :
Rudi S Kamri

Apa reaksi saya saat membaca berita anak- anak penguasa Orde Baru Soeharto yang diwakili Tutut dan Titiek dengan nada sarkastik meminta Presiden Joko Widodo untuk berkaca pada aksi mahasiswa 1998 yang menjatuhkan Bapaknya dari kursi presiden yang sudah dikakangi selama 32 tahun ? Saya hanya tersenyum dan setelah itu mulai berasa mual, perih, kembung dan ujungnya muntah. Mereka seolah sedang bicara sambil berkaca dan menuding di depan cermin. Namun celakanya mereka berkaca di cermin retak. Walhasil pantulan yang terlihat berantakan porak poranda tidak beraturan.

Semua orang waras tahu pasti, saat ini kondisi obyektifnya berbeda 180° dengan kondisi tahun 1998 lalu. Pada akhir era Presiden Soeharto, fondasi ekonomi Indonesia sangat rapuh karena salah kelola negara. Demokrasi terbungkam. Kondisi sosial politik kacau balau. Rakyat susah makan, nilai tukar rupiah terhadap dolar terpuruk remuk sampai mencapai Rp 17.000 per dolar. KKN menyeruak ke seluruh negeri. Sedangkan saat ini terjadi sebaliknya. Fondasi ekonomi kita kukuh. Semua saluran dan instrumen demokrasi tersedia dan terjamin. Kondisi sosial politik masih dalam koridor. Lalu mengapa anak-anak Soeharto meminta Presiden Jokowi untuk berkaca ?

Bagi saya dengan rekam jejak buram kelam dari keluarga Soeharto yang otoriter serta berlumur korupsi, kolusi dan nepotisme yang pekat, mereka sudah tidak punya pijakan moral lagi untuk bicara apapun tentang pengelolaan negeri ini. Di mata saya mereka sudah kehilangan legitimasi moral sebagai keluarga Indonesia terhormat yang nyanyiannya tidak perlu lagi kita dengar lagi. Karena pasti fals.

Tapi kenyataannya ujaran mereka tetap saja di muat media tertentu. Saya maklum sebagian media kita masih menganut adagium : ” The bad news is good news”. Sebagian lagi masih ada yang bisa dibeli dengan rupiah. Tapi media yang mempunyai kredibilitas tinggi tidak akan pernah mau lagi memuat narasi yang dibangun oleh Keluarga Cendana. Karena dari perspektif idealisme jurnalistik ujaran mereka secara obyektif sama sekali tidak layak kutip.

Yang memprihatinkan konon kabarnya aroma dupa cendana akhir-akhir ini terasa menyengat ke seluruh penjuru negeri. Namun anehnya bau yang terasa bukan wangi yang selayaknya bau cendana pada umumnya, tapi anyir menjijikkan yang mengotori kedamaian negeri. Asap dupa cendana terlihat mulai dari kegaduhan Papua, kerusuhan anak-anak ingusan di Jakarta sampai parade gagal kaum pro khilafah tadi pagi yang mengusung tujuan sesat NKRI bersyariah. Saya tahu dari mana sumber api beraroma busuk itu. Tapi tidak semua yang saya tahu bisa ditulis, bukan ?

Kembali ke cerita anak-anak Soeharto. Akhir- akhir ini mereka dengan sengaja membuat banyak narasi yang menyerang Pemerintah dan Presiden Jokowi. Mereka berhalusinasi seolah rakyat sedang menderita. Pruuuuttt. Bagaimana mungkin orang yang sejak kecil tumbuh tidak pernah menderita, selalu bertabur kemewahan dan kemunafikan, tiba-tiba bicara tentang penderitaan rakyat ? Mereka lupa selama 32 tahun rakyat Indonesia jauh lebih menderita dibandingkan saat ini. Penderitaan rakyat selama rezim orde baru bukan hanya menderita secara fisik saja tapi menderita nurani karena terbungkam suaranya dan hanya bisa berteriak dalam diam. Dan kini dinasti penguasa penderitaan rakyat itu sedang membuat gaduh untuk menarik atensi Presiden Jokowi untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Berhasilkah ?

Kita tahu Presiden Jokowi bukan pemain catur pinggir jalan yang bisa disuap sebungkus rokok. Secara realita menurut saya Presiden Jokowi tidak pernah melihat anak-anak Soeharto sebagai sebuah faktor dalam bentuk apapun. Artinya keberadaan mereka tidak pernah dianggap oleh Presiden Jokowi. Mereka hanya dianggap sebagai dinosaurus yang selayaknya disimpan di museum. Dan ini membuat mereka semakin berang bukan kepalang. Jadi tidak aneh kalau mereka selalu membangun narasi negatif untuk melawan Presiden Jokowi.

Kacang itu gurih, tapi dikacangin itu periiiiih, anak-anak Pak Jenderal !!

Rakyat pun kompak setali tiga uang. Mereka telah memberi penghukuman pedih kepada anak-anak Soeharto. Partai Berkarya yang mereka bangun sebagai emperium baru ternyata tidak mendapatkan suara layak untuk masuk ke gedung DPR RI di Pemilu 2019 lalu. Bahkan semua anak-anak Soeharto saat ini tidak ada satupun yang lolos menjadi anggota DPR RI. Hukuman dari rakyat selalu tepat waktu datangnya.

Jadi sekali lagi jangan berkaca di cermin retak. Pantulannya akan lebih buruk dari penampakan aslinya. Itulah karma namanya, kawan

Salam SATU Indonesia
28092019

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *