JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi X Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI, Anang Hermansyah menilai kritik sejumlah pihak terhadap beberapa subtansi materi Rancangan Undang Undang (RUU) Permusikan yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019 cukup positif.
“Saya bersyukur atas respons dan kritik terhadap RUU Permusikan. Ini berarti ada kepedulian dari stakeholder atas keberadaan RUU ini,” jelas Anang yang juga inisiator RUU Permusikan itu dalam pesan tertulisnya melalui WhatssApp (WA) kepada Beritalima.com, Jumat (1/2).
Anang yang juga seorang musisi itu menyebutkan kronologi keberadaan RUU Permusikan yang bermula dari Kaukus Parlemen Anti Pembajakan yang dia inisiasi bersama politisi lintas fraksi enam bulan pertama saat menjadi anggota DPR RI, Maret 2015.
“Saat itu kita keliling ke berbagai pihak. Mulai Presiden, Kapolri, Jaksa Agung termasuk on the spot ke Glodok terkait dengan pemberantasan pembajakan di ranah musik,” ungkap pria kelahiran Jember, Jawa Timur, 18 Maret 1969 ini.
Dalam perjalanannya, kata Anang, efektivitas patroli pemberantasan bajakan oleh aparat kepolisian ternyata tidak efektif di lapangan. Kondisi tersebut memunculkan ide urgensi regulasi terkait dengan eksistensi musik di Indonesia.
“Berawal dari masukan dan diskusi dengan melibatkan banyak pihak tersebut memunculkan ide dibutuhkan regulasi berupa RUU Tata Kelola Musik. Namun, pada akhirnya nomenklatur yang dipilih adalah RUU Permusikan,” tambah Anang.
Pertengahan 7 Juni 2017, kata Anang, komunitas musisi dan stakeholder yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia (KAMI) datang ke Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan keberadaan regulasi di bidang musik.
“Saat itu, 10 fraksi yang ada di parlemen bulat mendukung keberadaan UU Permusikan. Tidak hanya mendukung, DPR berkomitmen sebagai pihak yang menginisiasi RUU Permusikan. Momentum itu membuktikan, musik menyatukan sekat-sekat perbedaan politik,” urai Anang.
Setahun berikutnya, tutur Anang, perjalanan RUU Permusikan mengalami kemajuan. Kala itu memunculkan diskusi apakah RUU Permusikan muncul dari Komisi X atau dari Baleg DPR RI.
Seiring keberadaan UU No: 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) Pasal 105 ayat (1) huruf d yang isinya memberikan kewenangan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk mengusulkan sebuah RUU. Padahal, sebelumnya kewenangan mengajukan RUU hanya dimiliki Komisi, Anggota DPR dan DPD RI.
“Akhirnya RUU Permusikan diusulkan Baleg melalui Badan Keahlian Dewan (BKD) yang terdiri dari para ahli dan birokrat DPR,” jelas Anang.
Menurut wakil rakyat dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur ini, BKD meminta pendapat dari berbagai stakeholder terkait dengan materi yang terkandung dalam RUU tersebut. “Meski tentu tidak semua pihak diminta pendapat dan masukan. Maklum saja, itu baru draft, baru rancangan,” imbuh Anang.
Anang menuturkan, RUU Permusikan yang beredar di publik merupakan usulan inisiatif DPR yang berasal dari BKD DPR RI dan diusulkan secara resmi Baleg DPR RI sebagai inisiatif DPR dalam sidang paripurna DPR 2 Oktober 2018. “Nah, pada sidang paripurna DPR, 31 Oktober 2018, RUU Permusikan resmi masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2019,” terang Anang.
Anang menyebutkan penyampain kronologi perjalanan RUU Permusikan ini penting disampaikan agar publik mengetahui secara detail proses perjalanan sebuah RUU.
“Jika dicermati, perjalanan RUU Permusikan ini tergolong cepat. Saya melihat kuncinya terletak pada kesamaan ide antara stakeholder musisi bersama DPR RI. Teorinya, ini tidak mudah, karena DPR merupakan lembaga politik, tapi kenyatannya semua dimudahkan,” jelas Anang.
Terkait dengan materi RUU Permusikan yang direspons publik, Anang justru menyambutnya dengan positif. “Saya sungguh senang, saat ini semua pihak berkomentar atas materi RUU ini. Partisipasi masyarakat memang menjadi unsur penting dalam pembuatan sebuah UU, sebagamana tertuang dalam UU No: 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Materi yang dikritisi sejumlah pihak antara lain tertuang di Pasal 5 RUU Permusikan yang dinilai akan mengengkang kreativitas para musisi dan juga dianggap sebagai pasal karet. “Saya bisa memahami kegelisahan teman-teman terkait dengan pasal 5 RUU Permusikan ini, itu bisa didiskusikan dengan kepala dingin,” cetus Anang.
Hanya saja, dalam pembuatan sebuah UU yang baik, harus berlandaskan pada filosofis, yuridis dan sosiologis. Isu kebebasan berkekspresi yang disandingkan dengan norma di Pasal 5, kata Anang, harus dikembalikan pada ketentuan tentang HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
“Isu kebebasan berkespresi dan berpendapat, pada akhirnya dihadapkan padal Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa kebebasan itu dibatasi dengan UU yang mempertimbangkan nilai moral, agama, keamanan dan ketertiban umum dalam bingkai negara demokrasi,” urai Anang.
Anang juga memiliki catatan terkait Pasal 5 RUU Permusikan, khususnya di huruf f yang isinya “membawa pengaruh negatif budaya asing”. Dia menilai, ketentuan ini yang justru berpotensi menjadi pasal karet karena tidak jelas ukuran yang dimaksud.
Terkait dengan persolaan uji kompetensi dan sertifikasi, Anang menyebutkan, isu itu semata-mata untuk menjadikan profesi ini mendapat penghargaan dan perlindungan oleh negara.
“Belum lagi syarat sertifikasi yang harus dimiliki jika musisi hendak tampil di pentas internasional. Tapi, apa pun masukan dari stakeholder sangat berarti dalam proses pembahasan RUU ini,” tandas Anang
Persoalan sertifikasi telah menjadi kebutuhan merujuk keberadaan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan hasil ratifkasi dari Regional Model Competency Standard (RMCS) dari International Labour Organization, Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB.
“Memang tampak absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji komptensi dan sertifikasi. Namun globalsiasi dan perdagangan bebas menuntut situasi seperti ini. Tapi semua harus kita diskusikan lebih detail kembali,” demikian Anang Hermansyah. (akhir)