Jakarta — Anggota DPD RI Abdul Kholik menilai penundaan Pemilu yang dimunculkan sejumlah pimpinan partai politik akan membahayakan demokrasi dan sistem ketatanegaraan.
” Membahayakan karena akan merusak tatanan demokrasi yang sudah terbentuk dan berjalan baik, dibawa kearah ketidakpastian,”kata Abdul Kholik dalam diskusi Webiner Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia tentang Telaah Kritis Usul Perpanjangan Jabatan Presiden dan Penundaan Pemilu, Sabtu ( 5/3/2022)
Apalagi, kata Senator asal Jawa Tengah ini, penundaan dan perpanjangan jabatan itu tidak menjamin situasi akan menjadi baik.
Malah sebaliknya apabila kondisi memburuk justru berpotensi terjadi kekacauan dan konflik.
”Jadi tidak ada yang lebih baik dari mentaati konstitusi agar Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun,”jelas Abdul Kholij.
Anggota Komite I DPD ini mengingatkan, Indonesia memiliki sejarah panjang sukses menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955. Kenapa tiba-tiba muncul keinginan menunda Pemilu.
”Ini jelas ahistoris dan terindikasi hanya keinginan segilintir kelompok semata,’katanya.
Buktinya, lanjut Kholik, hasil survey yang dilakukan menunjukkan warga sebagian besar menolak penundaan Pemilu. Jadi alasan menunda Pemilu sangat sumir dan tidak memiliki relevansi sama sekali.
Kholik juga mengingatkan, sistem ketatanegaraan juga akan terancam ketika Pemilu ditunda yang berimplikasi jabatan Presiden dan lembaga lainya diperpanjang.
Apalagi ketika sampai pertanyaan soal otoritas atau lembaga mana yang menetapkan penundaan dan perpanjangan jabatan, pasti akan menimbulkan masalah.
Yang jadi pertanyaan lagi, lanjut Kholik, , apa dasarnya untuk menetapkan dan mengisi jabatan di eksekutid dan legislatif. Sebab, kelembagaan negara seperti Presiden, DPR, DPD, DPRD, didasarkan hasil Pemilu.
Jadi sangat problematik bagi sistem ketatanegaraan dan beresiko terjadi deligitimasi dan gugatan keabsahan kelembagaan negara apabila diperpanjang.
Penyederhanaan dan Efesiensi Penyelenggaraan Pemilu
Soal alasan penyederhanaan dan efiseinsi pemilu juga dinilai tidak logis. Misalnya, salah satu alasan penundaan adalah mahalnya biaya Pemilu. Padahal kalo dibandingkan, angaran yang diajukan oleh KPU sekitar Rp. 86 trilyun, tidak seberapa dibandingkan dengan anggaran proyek pemerintah.
”Jadi alasan ini sangat tidak logis,”katanya lagi..
Namun demikian, lanjut Kholik, ada baiknya anggaran Pemilu masih dapat ditinjau dengan skema penyederhanaan tahapan tanpa mengurangi kualitasnya Pemilu.
Penyederhanaan ini dapat dilakukan karena adanya fakta empiris sudah berubahnya variable tahapan dan fakta inefesiensi selama pelaksanaan Pemilu sebelumnya.
Penyerderhaan tersebut khususnya terkait tahapan penetapan daftar pemilih (DPT) yang disingkat menjadi dari lima tahap, menjadi dua tahap karena sudah lengkap data e-ktp. Selanjutnya tahap pencalonan juga dapat disederhanakan.
”Termasuk soal saksi dapat mengoptimalkan menggunakan pengawas lapangan yang ada di setiap TPS, yang dapat diakses oleh semua peserta Pemilu,”katanya.
Diakuinya, dalam hal penyelenggaraan Pemilu dihadapkan pada tantangan tenaga pelaksana. Namun, diera model kampus merdeka, dan merdeka belajar mahasiswa bisa diarahkan untuk menjadi relawan Pemilu. Artinya tidak ada alasan yang kuat dan dapat diterima untuk menunda Pemilu.
Kholik pun mengajak semua pihak menjaga denokrasi dan konstitusi yang sudah berjalan dengan baik. ”Mari kita jaga bersama demokrasi yang sudah berjalan baik dan diakui dunia sehingga mengarah pada sistem pemerintahan yang kuat dan demokratis,”katanya. (ar)