Anis: Kebijakan Pemerintah Belum Efektif Dorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Ekonomi Indonesia triwulan pertama 2021 terhadap triwulan yang sama 20220 mengalami kontradiksi pertumbuhan 0,74 persen year over year (yoy) dan terhadap triwulan (triwulan I-2021) mengalami kontraksi pertumbuhan 0,96 persen quarter-to-quarter (qtq).
Itu dikatakan politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr Hj Anis Byarwati dalam Focus Group Discussion (FGD) Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) di Jakarta, Rabu (19/5).

Dengan data itu, ungkap ekonom di Komisi IX DPR RI ini, perekonomian nasional masih mengalami resesi. Efektifitas kebijakan Pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi masih jauh panggang dari api.

Sebagai perbandingan, Anis mengungkap data ekonomi beberapa negara yang sudah tumbuh positif seperti China (18,3 persen), AS (0,4), Singapura (0,2), Korea Selatan (1,8), dan Vietnam (4,48).

Ketua DPP PKS bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga mengungkap sisi produksi, dimana kontraksi terdalam terdapat pada lapangan usaha Transportasi dan Pergudangan yang mengalami pertumbuhan negatif 13,12 persen, penyediaan akomodasi dan makan minum 7,26 persen serta jasa 6,10 persen. “Harus diakui, efek kebijakan pembatasan perjalanan dan kegiatan diluar ruang, berdampak terhadap beberapa sektor terkait.”

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menyampaikan beberapa sektor yang punya kontribusi terhadap PDB, masih mengalami kontraksi, diantaranya industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor. Hanya pertanian yang mampu tumbuh positif.

“Terkontraksinya beberapa sektor yang memberikan kontribusi terhadap PDB, menunjukkan kebijakan Pemerintah belum cukup efektif dalam mendorong pertumbuhan di sektor-sektor tersebut,” tegas wakil rakyat dari Dapil Jakarta Timur ini.

Dari sisi pengeluaran, data menunjukkan komponen pengeluaran terbesar dalam PDB juga masih mengalami kontraksi. Konsumsi rumah tangga (56,93 persen) terkontraksi 2,23 persen dan komponen pembentukan modal tetap bruto atau investasi (31,98) terkontraksi 0,23 persen.
“Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sebagian besar digunakan mendorong konsumsi dan daya beli masyarakat masih perlu ditingkatkan. Manajemen pendistribusian bansos, khususnya validitas data perlu dibenahi, mengingat temuan KTP ganda oleh Kemensos,” kata Anis.
Selain itu, besarnya SILPA 2020 dan saldo pemerintah daerah dilembaga perbankan, menunjukkan kebijakan belanja baik pusat maupun daerah belum efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Pemerintah juga menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 15 persen dalam kondisi daya beli masyarakat tertekan akibat pandemi dan krisis ekonomi. “Kebijakan itu dalam kondisi seperti ini, bukan merupakan kebijakan tepat,” kata dia.

Anis menegaskan, PPN konteksnya pajak yang paling dekat dengan masyarakat. Semua kebutuhan masyarakat seperti makanan, minuman, pakaian dan keperluan lain, semua dikenakan PPN yang dibebankan penjual kepada konsumen akhir.

Dampak utama kenaikan PPN ini akan menghantam daya beli masyarakat dan membahayakan industri retail. Karena itu, Anis berharap Pemerintah tidak menambah beban masyarakat yang sedang susah dengan kenaikan PPN. “Pemerintah jangan mencari jalan pintas untuk memenuhi target pajak dan kembali mencederai rasa keadilan,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait