Anis: Kenaikan Cukai Tembakau Tidak Berdampak Buat Kesejahteraan Petani

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membidangi Keuangan, Perbankan dan Pembangunan, Dr Hj Anis Byarwati menyampaikan catatan kritis kepada pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kabinet Indonesia Maju (KIM), Sri Mulyani Indrawati.

Catatan tersebut disampaikan Anis dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Keuangan beserta jajarannya di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Gedung Nusantara I Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, pertengahan pekan ini.

Raker membahas Realisasi Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) 2020, pelaksanaan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020, pelaksanaan APBN 2021 dan keberlanjutan PEN 2021, kebijakan cukai hasil tembakau dan kluster perpajakan di dalam UU Cipta Kerja.

Catatan Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS 2020-2024 ini terkait dengan realisasi APBN 2020. Anis mengkritisi rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (debt to GDP ratio) yang terus mengalami peningkatan dan bahkan belakangan semakin memburuk.

Masa prapandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat, dari awalnya 24 persen (2014) menjadi 30,2 persen (2019). Masa pandemi melonjak ke 38,5 persen (2020) dan berpotensi melesat menjadi 40,8 persen (2021).

Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan, selama periode itu penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Itu artinya, utang Pemerintahan Jokowi selama ini belum produktif dalam mendorong PDB nasional.

“Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting. Situasi ini merupakan sinyal kurang bagus, yang artinya Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” ujar pemegang gelar Doktor Ekonomi Syariah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut.

Anis juga menyampaikan terkait pelaksanaan PEN 2020. Dikatkan, ekonom sepakat resesi ekonomi akan teratasi jika pandemi bisa dituntaskan dengan cepat. Namun, realisasi PEN bidang kesehatan rendah karena hanya terealisasi Rp 63,51 triliun dari pagu Rp 99,5 triliun.

Penyebabnya mulai dari permasalahan administrasi hingga koordinasi antara Kementerian dan Lembaga (K/L) Pemerintah Jokowi. “Seolah Kemenkes tak dilibatkan dalam penentuan pagu anggaran untuk PEN bidang kesehatan hingga terjadi realisasi anggaran yang lemah dan tidak optimal. Keluhan juga datang dari berbagai daerah, rumah sakit, dan para tenaga kesehatan terkait anggaran dari pusat yang juga belum jelas.”

Kebijakan Klaster Perpajakan dalam UU Ciptaker dan Kebijakan Cukai Tembakau tidak luput dari hal yang dikritisi Anis. Dia memaparkan. Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan cukai tembakau 12,5 persen. Rencana itu tergambar pada kenaikan target penerimaan cukai rokok Rp7,86 triliun atau 4,8 persen. Target penerimaan cukai rokok 2021 Rp172,8 triliun.

Merujuk perolehan Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2020 Rp 170,24 triliun naik 3,1 persen dari target 164,9 triliun. “Ini menjadi catatan tersendiri, karena seharusnya kenaikan CHT dapat meningkatkan kesejahteraan petani tembakau melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT),” tegas Anis.

Ditambahkan, kenaikan cukai rokok cenderung menaikkan jumlah rokok ilegal. Karena itu, selain menaikkan cukai rokok Pemerintah perlu lebih intens melakukan edukasi publik atas bahaya rokok kepada masyarakat.

Soalnya, tujuan kenaikan cukai dan penyederhanaan struktur tarif cukai tembakau menurut WHO ialah mengurangi dampak negatif tembakau dan jumlah perokok. “Diharapkan ada political will yang kuat dari pemerintah untuk membatasi perokok aktif, minimalnya menegakkan aturan larangan merokok di lingkungan kementerian dan lembaga (K/L) pemerintahan,” kata Anis.

Terkait kebijakan perpajakan dalam UU Ciptaker, Anis menyoroti turunnya tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen. Hal itu dinilai kontroversial dan ditolak Fraksi PKS karena dianggap akan menggerus penerimaan negara. “Insentifnya untuk pengusaha jelas, tapi dampak signifikan bagi perekonomian belum pasti,” ujar Anis.

Dengan tren penerimaan negara terus merosot dari tahun ke tahun sedangkan negara perlu memobilisasi sumber pembiayaan pembangunan agar dapat memenuhi layanan dasar dan jaminan sosial demi kesejahteraan rakyat. Padahal tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP) badan rendah, hanya 65 persen (bila dibandingkan dengan WP karyawan & non karyawan yang mencapai 75 persen), penurunan PPh Badan bertolak belakang dengan kepatuhan WP korporasi yang rendah.

Anggaran untuk pembelian vaksin juga dikritisi Anis. Dikatakan, pengadaan dan operasional vaksin Covid-19 dilakukan impor dengan anggaran dalam program PEN 2021 Rp104,7 triliun. Ini anggaran jumbo ditengah resesi ekonomi.

Anis juga menyesalkan tidak munculnya dukungan anggaran untuk vaksin Merah Putih. Bahkan sama sekali tidak disinggung dalam slide pemaparan Menkeu 70 halaman itu. Jika berorientasi pada penghematan anggaran, vaksin dalam negeri adalah solusi.

“Anggaran negara dan devisa pasti terkuras jika orientasinya impor. Dengan jumlah penduduk 268 juta, maka vaksin dalam negeri harus didukung penuh secara anggaran dan diprioritaskan,” demikian Dr Hj Anis Byarwati. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait