Antara Nasib, Nasab, dan Nisab

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

Seorang teman menulis status dalam beranda facebook-nya begini: “Ketika aku masih memikirkan nasib dan nisob, teman2ku justeru sudah banyak membicarakan nasab. Apa aku yang Kuper ya? Tapi baguslah…..”. Kalimat dan cara penulisannya sengaja saya kutip apa adanya biar terlihat autentitasnya. Hanya saja kalimat tersebut diberi judul “Antara Nasib, Nisob, dan Nasab” berbeda urutan dengan judul artikel yang saya tulis kali ini.

Saya menduga-duga maksud dia menulis status tersebut. Mungkin sang teman kenamaan saya itu bermaksud merespon polemik nasab habaib yang akhir-akhir ini menyeruak, akibat adanya “Tesis Nasab” dari seorang kiai muda NU bernama Imaduddin Utsman al-Bantani yang kritis terhadap eksistensi habaib di Indonesia. Apalagi, dengan kapasitasnya sebagai ‘pejabat teras’ ormas tertentu yang menjadi ajang polemik, tentu sang teman tadi merasa berkepentingan untuk sedikit merespon. Terlepas dari ke mana arah maksud kalimat yang ia tulis itu ditujukan, yang jelas, kalimat singkat tersebut nanti akan dicatat dalam sejarah, sekaligus menunjukkan, di mana posisinya ketika polemik nasab saat itu terjadi. Hanya ada tiga kemungkinan beliau berada, yaitu: pertama, pada pihak pro habaib; kedua, yang kontra (kritis) terhadap habaib, atau ketiga, netral. Nurani beliau sendiri dan Allahlah yang tahu.

Tulisan ini tentu tidak bertendensi menghakimi sang teman, melainkan sekedar mengulas kata nasib, nasab, nisab mengenai arti dan hubungan ketiganya dalam konteks diskursus nasab yang sedang terjadi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “nasib” diberi arti “sesuatu yang sudah ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang”.”Nasab” diberi arti “keturunan (terutama dari pihak bapak); pertalian keluarga.” Sedangkan, nisab diberi arti “jumlah harta benda minimum yang dikenakan zakat.”
Dalam konteks kehidupan sosial, “nasib” dapat dikonotasikan sebagai fasilitas, bagian, atau imbalan dari sesuatu kondisi tertentu, bisa dari usaha atau konsekuensi secara otomatis (dengan sendirinya). “Nasab” dapat dikonotasikan sebagai modal dasar (resources), sedangkan “nisab” dapat dikonotasikan dengan kadar (seberapa) fasilitas atau imbalan yang akan diperoleh dari modal dasar yang ada. Dengan demikian, meskipun ketiga kata tersebut seolah berbeda akar pengertian, namun dalam konteks sosial dapat menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan satu sama lain. Seberapa modal yang ada (nasab) akan diperoleh seberapa fasilitas atau imbalan yang didapat (nisab) yang pada akhirnya dalam jangka panjang akan menentukan kelangsungan hidup (nasib) seseorang. Atau, dengan kalimat lain juga dapat dikatakan derajat kualitas nasab yang dimiliki seseorang akan menentukan seberapa penghargaan orang terhadapnya (nisab) yang pada gilirannya akan menantukan kebaikan kelangsungan hidupnya (nasib). Contoh empirik lain mengenai hubungan ketiga kata tersebut. Seorang anak pejabat atau orang kaya relatif lebih mudah mencapai kehidupan enak karena sering mendapat kemudahan-kemudahan tertentu untuk mncapai tujuan atau cita-cita hidupnya.
Fenomena diskursus nasab akhir-akhir ini tidak terlepas dari konteks tersebut. Tentu sangat bisa dipahami ketika kemudian ada sekelompok orang yang mati-matian mempertahankan eksistensi kemuliaan nasab karena, secara prospektif, dapat mendatangkan konsekuensi serius bagi kemapanan kelangsungan hidupnya. Apalagi, ketika kita tahu, bahwa nasab tersebut menyangkut menusia sempurna nan paripurna, yaitu Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Dengan alasan urgensi nasab ini pula, pernah ada seorang teman yang jauh-jauh datang memasuki desa tertentu sekedar untuk memperoleh kepastian (legitimasi) ketersambungan nasabnya dengan ulama setempat yang sangat terkenal dan berpengaruh (kharismatik).

Namun di sisi lain, juga ada yang mempunyai logika lain. Ada seseorang yang jelas mempunyai kemuliaan nasab, tetapi sengaja menyembunyikannya akibat nasib kehidupannya yang masih jauh dari ideal. Sebagai contoh, konon ada seorang kiai pengasuh pesantren terkenal dengan ribuan santri di Jawa Timur, yang lama menyembunyikan jati dirinya saat kehidupannya masih ‘belum mapan’. Setelah terkenal, baru diketahui, bahwa beliau ternyata putra kiai salah seorang pendiri NU. Dalam konteks ormas keagamaan terbesar di dunia ini, beliau ternyata memang orang yang berdarah biru.

Dua ilustrasi di atas, tampaknya dapat mengedukasi kita. Di satu sisi, ada yang merasa harus memperlihatkan dan mempertahankan jati diri (nasab) meskipun dengan ‘kualitas’ yang belum ideal. Di sisi lain, ada orang yang lebih dulu mengedepankan kualitas hidup (nasib). Bahkan, orang ini merasa malu jika kemuliaan jati diri (nasab) diketahui orang pada saat kualitas hidup jauh dari ideal. Orang dengan tipologi terakhir ini tampaknya sangat sadar, bahwa mempertontonkan formalitas kemuliaan nasab dapat memperkecil spektrum ruang gerak atau bahkan cenderung menumbuhkan sikap hipokrit, seperti pura-pura pandai, pura-pura berperangai baik, pura-pura hidup terhormat. Berikut, dapat memicu gaya hidup yang penuh ke-“jaim”-an, yang jika di luar kendali, selain dapat menghambat kemajuannya juga dapat menjadi benih-benih penyakit jiwa yang tentunya berpotensi merugikan diri sendiri. Wallahu a’lam.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962

Profesi : Hakim Tinggi PTA Jayapura sejak 9 Desember 2022 sampai sekarang.

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait