SURABAYA – beritalima.com, Drs Mulyanto Wijaya Ak, warga jalan Darmo Indah Surabaya mengadukan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menyidangkan kasus gugatan perdata perkara No. 976/Pdt.G/2017/PN Sby dan diputus pada 7 Agustus 2018, kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Bawas MA RI) dan ke Ketua Badan Pengawas Peradilan Umum (Badilum).
Pengaduan bertanggal 12 Nopember 2018 itu, akibat hakim Jihad Arkahudin dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa gugatan Mulyanto terhadap Notaris Hairanda, kabur atau obscuur libel, karena mencampur adukkan Wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Padahal PN Surabaya melalui putusan sidang No 3121/Pid.B/2014/PN.Sby, tanggal 2 September 2015 dalam amarnya menyatakan terdakwa/tergugat I (Hairandha Suryadinata SH.CN, red) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan dan dijatuhi hukuman 6 bulan penjara.
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No 611/PID/2015/PT Sby, tanggal 11 Januari 2016 yang amarnya menyatakan tergugat I (Hairandha Suryadinata SH.CN, red) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “tindak pidana penipuan” hukumannya bertambah menjadi 2 tahun penjara.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomer 691/PID/2016, tanggal 26 Juli 2016 yang amarnya menguatkan putusan pengadilan tinggi Surabaya, atau telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
“Demikian juga ditolak, pada saat Hairandha Suryadinata SH.CN, red) mengajukan upaya hukum peninjauan kembali di MA RI dalam register perkara No 40PK/PID/2018 pada tanggal 14 Agustus 2018,” ujar Drs Mulyanto Wijaya Ak, kepada awak media di gedung Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (5/12/2018).
Dijelaskan Mulyanto, pengaduan ini dia layangkan karena majelis tidak mempertimbangkan adanya surat kuasa khusus tertanggal 13 Maret 2013, yang telah cacat hukum, sebab, Hairandha pada saat menandatangani surat kuasa telah berprofesi Notaris bukan berprofesi advokat.
“Rangkap jabatan notaris dan advokat atau profesi ganda itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Notaris dan Advokat yang berdampak ilegal profesi. Ingat, pada saat Hairandha menjabat notaris, dia itu menerima honor fee lawyer,” jelasnya.
Selain itu, Mulyanto juga melaporkan adanya kesengajaan hakim pemeriksa perkara ini yang telah menggunakan surat pernyataan Mardian Nusatio yang berisi pembayaran fee lawyer, karena surat pernyataan dari Mardian tersebut sudah pernah dilaporkan ke Polrestabes Surabaya tanggal 11 Pebruari 2015 dan Mardian bersama-sama dengan Hairandha dan Agus Hariyanto dinyatakan sebagai tersangka tindak pidana surat yang isinya palsu sesauai pasal 263 KUHP.
“Apalagi untuk honor fee atau lawyer fee tersebut sudah pernah diuji dan diperiksa dipersidangan, hingga akhirnya hakim pidana PN Surabaya dalam amar putusannya menyatakan itu bukan honor dan menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara kepada Hairandha,” Mulyanto menambahkan.
Pada akhir pengaduannya kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Bawas MA RI) dan ke Ketua Badan Pengawas Peradilan Umum (Badilum), Mulyanto pun menitipkan 4 pertanyaan penting, yakni ;
1. Apakah diperkenankan majelis hakim memeriksa dan memutus perkara perdata diluar fakta hukum persidangan,?
2. Apakah diperkenankan majelis hakim memeriksa dan memutus perkara perdata bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang sudah Inkracht,?
3. Apakah diperkenankan majelis Hakim memeriksa dan memutus perkara Perdata bertentangan dengan Undang Undang Notaris dan Advokat,?
4. Apakah ada Undang-Undang khusus yang mengatur bahwa kewenangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang melebihi kewenangan memutus majelis Hakim yang memutus perkara di Mahkamah Agung RI yang sudah Inkracht.? (Han)