JAKARTA, beritalima.com — Penangkapan wartawan Asyari Usman atas tulisannya tentang Pilkada Sumut yang mengkritik sikap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menuai banyak kritik. Adalah Presiden LSM LIRA (Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat), HM. Jusuf Rizal mengemukakan ini langkah mundur kebebasan pers.
“Sikap aparat yang berlebihan telah menerabas UU 40 tentang pers dan Kewenangan Dewan Pers. Pers itu Lex Specialis terhadap KUHP dan KUHAP, termasuk UU ITE dan sejenisnya. Juga diatur oleh SEMA. Jadi penangkapan itu menjadi kado hitam bagi pers. Hari Berkabung Pers Nasional di Hari Pers Nasional,” komentar Jusuf Rizal yang juga mengelola media online itu di Jakarta.
Lebih lanjut menurut berdarah Madura-Batak itu, ia sependapat dengan pemikiran Djoko Edhi Abdurrachman, anggota Komisi Hukum DPR RI 2004-2009 dan Wasek LBH PBNU yang menyebutkan bahwa tulisan wartawan Asyari Usman yang dimuat di teropong senayan adalah produk jusnalistik.
Menurut Djoko Edhi Abdurachman Terhadap produk jurnalistik, tak bisa main tahan, sangka dan dakwa. Itu otoritas Dewan Pers yang menentukan, memakai sejumlah fasilitas hukum pers. Tort, kesalahan pidana baru bisa jalan setelah Dewan Pers menyatakan “itu bukan produk jurnalistik”, seperti pada face book, twiter, milis. Tidak berlaku pada pers online yang terdaftar di Dewan Pers.
Seluruh produk jurnalistik dilindungi UU No 40 cq Dewan Pers. Tak bisa main tangkap. Orde Baru saja tak pernah melakukan main tangkap seperti itu. Wartawan, menulis salah, lalu serta merta ditangkap. Penulis opini di Teropong Senayan, salah menulis, langsung ditangkap hanya karena Ketum PPP tak bahagia dengan tulisan itu.
Tak bisa seperti itu. Bahkan di Ode Baru, penulis produk jurnalistik dilindungi. Yang dilakukan Presiden Soeharto, via Dirjen PPG, adalah memberi peringatan kepada mass medianya. Bukan penulisnya, hingga tingkat pembredelan.
Jika tulisan produk jurnalistik, mengandung perbuatan melawan hukum, polisi lebih dulu meminta pendapat Dewan Pers. Belum pernah langsung menangkap penulisnya dan dijebloskan ke sel tahanan seolah pelaku kejahatan kekerasan (Jatanras). Ini jalan mundur demokrasi!
Remi Silado dengan tulisan anekdotisnya, mirip tulisan Asyari Usman, pernah ditahan atas laporan Ateng, Walikota Bandung, hanya ditahan 24 jam, lalu selesai. Remi Silado adalah penulis di Majalah Aktuil, membuat opini tentang penggusuran di Bandung yang tak membahagiakan Pak Walikota. Itu di zaman Orde Baru, masa otoriterian.
Sulit dipahami, di zaman reformasi, zaman demokrasi, Asyari Usman dijebloskan ke sel tahanan seolah penjahat Jatanras, hanya karena tulisannya tak membahagiakan Ketum DPP PPP.
Pertanyaan hukumnya, bersumber dari UU No 40 tentang pers (baca produk jurnalistik Teropong Senayan), kemana hak jawab Asyari Usman? Kemana hak perlindungan produk jurnalistik itu? Itu satu.
Kedua, mengapa Teropong Senayan yang terdaftar di Dewan Pers, diperlakukan seperti Saracen (yang bukan produk jurnalistik, yang tak terdaftar di Dewan Pers)?
Ketiga, dengan kasus penahanan Asyari Usman yang 30 tahun lebih menjadi wartawan bergengsi, maka semua penulis yang salah tulis, dapat sewaktu-waktu dijebloskan ke sel tahanan, tanpa proses UU No 40 tentang pers, hanya karena Ketum DPP PPP tidak bahagia. Riot!
Keempat, subtansi materi kasus PPP Cagub Sumut, tanpa tulisan Asyari Usman pun, sudah paradoks. Semua orang politik paham apa yang sesungguhnya terjadi. Sehingga yang dimaksudkan adalah “jangan kritik keburukan Romi”.
Bukan main. Ini bahaya besar bagi demokrasi, bagi pers, das sein dan das sollen. Semua penulis praktis seolah diminta hanya menjadi tipe writer (penulis iklan). Jika tidak, gue jeblosin loe ke penjara, kata Djoko Edhi Abdurachman
“Untuk itu mari kita tolak dan lawan kekuasaan yang mengkriminalisasi atas produk intelektual wartawan dan pelanggaran UU Pers. Kita minta Dewan Pers, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), Media dan Wartawan bersatu Menolak bentuk premanisme aparat terhadap pers,” tegas Jusuf Rizal