APECSI Tuntut Kepala BBKSDA Jatim dan Direktur KKH Dicopot Dari Jabatan

  • Whatsapp
Singky Soewadji

SURABAYA, beritalima.com| Perkara terdakwa Lauw Djin Ai alias Kristin, Direktur CV Bintang Terang Jember yang harus dipidana satu tahun penjara sesuai putusan yang dikeluarkan majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jember karena izin penangkaran satwa dilindungi di badan usaha miliknya telah mati. Dinilai bahwa Kristin hanyalah melanggar administrasi perizinan bukan melanggar hukum pidana.

“Negara dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah gagal menjalankan fungsi konservasi yang hakiki,” ungkap Singky Soewadji Pemerhati Satwa Liar, kepada media Minggu 25 Agustus.

Menurut Singky, Awalnya CV Bintang Terang izin tangkarnya mati, tetapi izin edar masih berlaku. Apakah bisa disalahkan, apalagi dipidanakan ?.

“Tentu tidak, karena tanpa memperpanjang izin tangkar, penangkar masih boleh mengedarkan, sebab izin edarnya masih berlaku,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa masalah paling mendasar adalah tidak ada satupun undang undang maupun aturan yang menyatakan izin tangkar mati adalah pidana. Justru, lanjutnya, kasus ini sudah gamblang ada rekayasa sejak awal, mulai dari penggrebekan di CV Bintang Terang hingga pengurusan ijin yang sengaja dihambat.

Dalam persidangan Saksi ahli Niken Wuri Handayani SSi Msi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) KLHK juga telah memberikan kesaksian sesat, yaitu izin tangkar mati adalah pidana.

“Ada motif terselubung dibalik itu.
Karena ada bukti surat tertulis yang ditanda tangani oleh Direktur KKH kepada Pengadilan Negeti (PN) Jember yang sangat terkesan intervensi,” tegas Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI) itu.

Pidana itu justru saat menteri KLHK melepas liarkan Kakatua Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango itu adalah pidana, karena bukan habitatnya, ada undang-undang dan ancaman hukumannya.

Saat itu dimana para pejabat dan staf KLHK termasuk Gakkum ?

Penangkar termasuk Lembaga Konservasi (LK) wajib membuat laporan bulanan, laporan triwulan dan laporan tahunan. Sebaliknya Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jatim juga mempunyai kewajiban membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

“Izin tangkar CV Bintang Terang yang mati selama tiga tahun kalau mau disalahkan, justru kesalahan terbesar ada pada pihak BBKSDA Jatim,” lanjutnya.

Sangat ironis sekali kasus CV Bintang Terang bisa terjadi izin penangkarannya mati selama tiga tahun terjadi pembiaran, namun justru dipidanakan.

Suka tidak suka, dan tidak bisa dihindari, BBKSDA Jatim adalah sebagai top management di CV Bintang Terang, karena pemerintah dalam hal ini KLHK sebagai regulator dan pengawas dari usaha penangkaran.

Tugas, kewajiban dan larangan BBKSDA sudah tercantum dalam Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang ada, yaitu UU Nomor 5 tahun 1990, PP Nomor 8 tahun 1999 dan UU Nomor 18 tahun 2013.

Saat aparat kepolisian bersama Gakkum datang pertama kali ke penangkaran CV Bintang Terang, sebenarnya BBKSDA Jatim bisa mencegah untuk tidak dibawa ke ranah pidana, karena masalah izin mati dan pendataan adalah ranah BBKSDA yaitu menyangkut administrasi.

“Selanjutnya yang terjadi justru pemilik CV Bintang Terang diseret ke arah pidana ditambah tuduhan perdagangan satwa dilindungi secara ilegal. Akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti dengan dicabutnya BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh Penyidik Polda Jatim di persidangan Kristin.

Kesalahan BBKSDA Jatim yang sangat fatal adalah 35 ekor burung indukan Kakatua Raja pilihan yang sengaja dipilih secara khusus oleh utusan Jatim Park yang datang ke lokasi CV Bintang diserahkan ke Jatim Park dengan status di titipkan,” paparnya.

Ini sangat tidak wajar, dan yang pasti ada unsur pidananya.

Walau ada aturan dan dasar hukumnya satwa liar milik negara, keberadaannya di sebuah LK berstatus titipan dan boleh dilakukan pemanfaatan, tapi harus sesuai UU dan aturan, tidak bisa serta merta.

Dalam kasus CV Bintang Terang, Gakkum sedang berburu di dalam sebuah Kebun Binatang, tinggal datangi kandangnya dan pilih satwa apa yang hendak diburu.

Kenapa tidak membidik para pejabat tinggi negara, termasuk menterinya sendiri yang mengoleksi satwa liar, yang justru diberi dan mendapatkan ijin resmi.

Dalam dunia konservasi, kita semua menjunjung tinggi masalah Ethic and Walfare. Dimana letak Ethic, etika seorang pejabat tinggi negara, apa lagi menteri instansi terkait memelihara dan mengkoleksi satwa liar yng dilindungi, walaupun akhirnya memiliki ijin ?

CV Bintang Terang telah ada sejak 15 tahun lalu, sudah pernah melakukan perpanjangan izin tangkar dan telah memiliki izin edar luar negeri.

CV Bintang Terang juga telah mendapat apresiasi dua orang Dirjen Koordinator Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) yang sekarang menjadi Kelestarian Sumber Daya Alam dan Ekisistem (KSDAE).

Logikanya burung di CV Bintang Terang lebih dari generasi ke dua (F2) sejak sepuluh tahun lalu, hingga terbit izin edar, bahkan izin edar luar negeri.

Sejak kasus ini terjadi bulan Mei 2018 lalu, semua izin mati sesuai masa berlakunya, dan mulai dirintis izin baru dengan ketentuan baru pula oleh CV Bintang Terang.

Namun hingga hari ini pengurusan ijin itu senaja dihambat dan dipersulit oleh BBKSDA Jatim.

Kasus ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan mudah, yang sudah tetjadi biarlah berlalu, Dirjen KSDAE cukup memerintahkan BBKSDA Jatim segera menerbitkan rekomendasi untuk CV Bintang Terang mendapatkan semua perizinan, semudah pejabat tinggi negara mendapatkan izin walau tidak memiliki kontribusi terhadap dunia konservasi.

Selanjutnya bentuk tim independen untuk mendata, merapikan serta menginventarisir burung di CV Bintang Terang.

Satwa tetap di CV Bintang Terang, meski berstatus disita negara, karena wewrnsng KLHK menitipkan kembali ke CV Bintang Terang, tidak perlu dipindah dan dibagikan ke LK lain.

CV Bintang Terang seharusnya diberi hak merawat dan mengelola kembali, maka dengan demikian masalah Ethic and Walfare terhadap satwa liar jadi terpenuhi.

Tapi berhubung motifasinya sejak awal jelas tujuannya bukan membina, tapi membinasakan CV Bintang Terang dan merampas satwanya, maka kasus ini jadi seperti sekarang.

Kasus ini akan menjadi dampak negatif bagi negara dan menjadi isu internasional, terutama bagi dunia konservasi bila tidak disikapi dengan bijaksana.

Nawacita yang dicanangkan presiden Jokowi jadi pepesan kosong, hanya karena ulah segelintir ASN yang tidak menjalankan tugas dengan benar.

Kasus ini harus dibongkar tuntas dan dibawa kerana hukum, semua pihak yang terlibat harus dilaporkan ke Mabes Polri.

Termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ditunjuk sebagai kedok pelepas liaran harus di audit sumber dana dan penggunaannya. Semua ini sindikat dan modus lama yang telah usang, pada semua kasus seperti ini selalu melibatkan oknum kementerian, Lembaga Konservasi, LSM dan aparat hukum.

“Hanya ada satu kata, copot dan pidanakan Kepala BBKSDA (Kababes) Jatim dan Direktur KKH,” tandasnya. [red]

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *