Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
( Alumni PP Mishbahul Ulum Situbondo dan PP Wahid Hasyim Yogyakarta)
Simpati kepada nasib rakyat Palestina memang terjadi di berbagai belahan bumi. Dari berbagai lapisan masyarakat yang berunjuk rasa, dapat kita lihat demo tidak hanya dilakukan oleh orang muslim tetapi juga non muslim. Aksi yang dilakukan dengan tidak mengenal sekat-sekat suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), ini menunjukkan, bahwa kejadian yang sedang menimpa rakyat Palestina sudah mengusik rasa kemanusiaan. Hati siapa pun pasti akan terusik ketika melihat jutaan orang harus kehilangan tempat tinggal karena hancur lebur akibat kekejaman perang. Belum lagi sejumlah kebiadaban perang yang telah mengorbankan ribuan anak-anak mungil nan lucu. Yang meninggal membuat hati kita teriris yang masih hidup harus mengalami cacat permanen. Akibat perang yang tidak seimbang dan mengorbankan sejumlah rakyat Palestina yang tidak berdosa itulah, akhirnya membuat peristiwa yang menimpa Palestina menjadi duka dan nestapa universal.
Hanya saja memang masih ada sekelompok aksi bela Palestina yang justru mereduksi universalitas empati kemunusiaan di atas. Bentuknya, antara lain adanya usaha membangun persepsi tertentu. Misalnya, ada yang mempersepsikan bahwa perang Palestina Israel merupakan parang agama, Islam di satu pihak dan Yahudi (kafir) di pihak lain. Ada pula yang membangun persepsi, bahwa perang tersebut sebagai perang antara sebuah negara dengan penjajahnya. Dua anggapan demikian, memang bentuk upaya menemukan dukungan berupa sentimen dari kelompak masayarakat tertentu. Akan tetapi tidak jarang yang demikian justru berakibat menimbulkan kontroversi baru.
Yang pertama, jika dikatakan (saat ini) Perang Hamas sebagai perang antara Islam dan kafir. Anggapan demikian tentu tidak sepenuhnya salah. Apalagi jika yang terlibat dari Palestina kelompok garis keras seperti Hamas yang nota bene muslim. Padahal, siapa pun tidak dapat membantah bahwa perang yang terjadi adalah perang memperebutkan sebuah wilayah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi masing-masing negara. Di kedua negara yang bersengketa terdapat berbagai agama. Di Palestina ada orang nasrani dan di Israel juga ada orang muslim. Di Palestina ada gereja, di Israel juga ada masjid. Tentara Palestina ada yang nasrani dan tentara Israel (IDF) ada yang muslim. Ketika mereka berperang memang bisa termotivasi agama tetapi tujuannya ialah wilayah. Sama seperti dengan bangsa Indonesia ketika perang kemerdekaan. Bagi kaum muslimin takbir dikumandangkan untuk memotivasi semamgat juang tetapi sejatinya tujuan utamanya adalah kemerdekaan. Yang non muslim waktu itu, tentu juga punya cara tersendiri untuk memotivasi diri perjuangan merebut kemerdekaan.
Yang kedua, jika perang Palestina disebut perang mengusir penjajah. Teori penjajahan ini melahirkan pertanyaan, siapa yang dijajah dan siapa yang menjajah. Israel dan segenap negara pendukung dengan segenap argumennya tentu tidak mau disebut sebagai penjajah. Kasus Palestina versus Israel tidak serta merta dapat dianalogkan dengan sejaran imperialisme di zaman dulu, termasuk imperialism yang terjadi Indonesia. Oleh karena itu, teori perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan juga tidak bisa serta merta dianalogkan dengan konflik Palestina versus Israel. Sebab, masing-masing merasa berhak atas satu wilayah yang sama dan secara historis keduanya juga sama-sama mengklaim mempunyai akar sejarah. Realitas inilah yang melahirkan solusi 2 negara sebagaimana telah diterima sebagian rakyat Palestina yang moderat, seperti Al Fatah (salah satu faksi di Palestina) dan rupanya di dukung oleh negara-negara Arab yang pernah berkonfrontasi dengan Israel. Akan tetapi, alih-alih upaya ini berjalan mulus. Di kedua belah pihak, terdapat kelompok garis keras yang saling menegasikan. Di pihak Palestina: tidak boleh ada negara Israel berdiri dan di pihak Israel: tidak boleh ada negara Palestina. Keduanya laksana air dengan minyak.
Di Indonesia, pro kontra (kedua macam kelompok pendukung) itu ada. Yang pro Israel, misalnya, kalau pun selama ini tidak mengemuka tentu bukan karena tidak ada. Mereka tidak menegemuka, lebih disebabkan karena lebih bisa menahan diri atau karena faktor lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti kalah dari segi jumlah. Terlepas setuju atau tidak, mereka tentu punya sejumlah argumentasi. Fenomena demikian, hendaknya memang membuat yang pro Palestina bertindak bijak. Berunjuk rasa memberikan dukungan secara vulgar, sejauh tidak melanggar hukum, tentu tidak dilarang karena memang dijamin konstitusi. Akan tetapi, ekspresi tersebut tentu perlu dilakukan dengan bijak dengan mengingat ruang dan waktu. Apabila dilakukan di tempat yang kebetulan bersimpati dengan Israel, unjuk rasa tidak perlu dilakukan secara provokatif. Kedua kelompok perlu berkoordinasi dengan semangat satu nusa satu bangsa yang wajib menjaga persatuan dan kesatuan dengan sesama anak bangsa. Di setiap daerah bukankah sudah ada FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama). Pihak kepolisian sebagai penanggungjawab keamanan setempat, perlu pro aktif memimpin koordinasi terhadap hal-hal demikian.
Jika menolong perjuangan Palestina dipandang sebagai suatu keharusan, bukankah maksud ini tidak harus dilakukan dengan unjuk rasa atau orasi terbuka yang sering tidak terkontrol dan berpotensi melukai perasaan kelompok tertentu? Apalagi, dilakukan di lingkungan yang secara sosial berseberangan faham. Keterpanggilan itu bisa dilakukan dengan aksi nyata dengan bentuk lain, seperti penggalangan dana secara diam-diam (silent action) dengan berkordinasi dengan otoritas tertentu, seperti pemerintah. Sekali lagi, ini hanya salah satu upaya mencegah timbulnya gesekan antar sesama anak bangsa. Rasanya sangat ironis jika bersimpati dengan bangsa lain, justru mengorbankan persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa. Semoga “insiden Bitung” membuat semua pihak lebih bijak sehingga tidak terjadi di daerah lain. Semoga.