Asas Aktif Memberi Bantuan

  • Whatsapp

(Sekelumit Refleksi Mengenai Sinergitas Hakim dan Advokat)
Oleh: Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A);
Konon ada hakim dilaporkan ke “pusat” atas tindakannya di persidangan yang dianggap salah. Kesalahan dimaksud tidak lain atas sikapnya memberikan saran kepada salah satu pihak, dalam hal ini, penggugat atas gugatan yang diajukan. Menurut Majelis gugatan yang diajukan penggugat perlu diperbaiki karena mengandung beberapa kesalahan yang menyebabakan gugatan berkualifikasi sebagai gugatan yang cacat formil. Saran baik ini disampaikannya dalam sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak ( penggugat dan tergugat ) yang disampaikan sebelum gugatan dibacakan dalam persidangan. Entah bagaimana kasus detilnya yang jelas atas sikapnya‘berbaik hati’ kepada penggugat itu, sang hakim dianggap sudah berpihak kepada penggugat. Tentang mengapa tergugat tidak sependapat dengan tindakan sang hakim, kemungkinan tergugat sudah tahu kelemahan gugatan tersebut. Atas kelemahan yang terdapat pada gugatan penggugat, mungkin tergugat sudah menyiapkan jurus jitu. Jurus jitu itu misalnya menyiapkan eksepsi agar gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima NO (niet onvenkelijk verklaard).

Kita memang tidak tahu bagaimana suasana kebatinan jalannya persidangan sehingga tergugat sampai tega melaporkan sang hakim kepada lembaga yang berwenang. Akan tetapi, tindakan melaporkan hakim mengenai tindakannya pada tahapan persidangan tersebut tampaknya memang perlu kita kaji.
Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, bolehkah seorang hakim memberikan saran perbaikan atas formalitas gugatan dalam persidangan?Jawaban atas pertanyaan tersebut tampaknya perlu kita sampaikan dalam kajian kita ini.

Ketika ada dua pihak (penggugat dan tergugat) di hadapan hakim, salah satu asas yang harus dijunjung tinggi oleh hakim yang bersangkutan adalah asas audi et alteram partem. Dalam persidangan pidana asas ini basanya menuntut Hakim di samping harusmendengar tuntutan jaksa, harus pula mendengar pembelaan dari pihak yang disangkakan atau didakwa melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum guna menemukan kebenaran materiil dalam perkara yang diadilinya. Sedangkan, dalam persidangan perdata penerapan asas tersebut, menuntut hakim di samping mendengarkan keterangan penggugat juga harus mendengar keterangan tergugat.Yang pasti, baik dalam persidangan pidana maupun persidangan perdata pada pokoknya sang hakim harus mendengar kedua belah pihak. Keharusan demikian merupakan tuntutan kepada hakim, bahwa harus meperlakukan sama kedua belah pihak. Asas ini sama dengan salah satu bagian risalah Umarbin al-Khattab(artinya):
“Persamakanlah kedudukan manusia di wajahmu (pandanganmu), majelismu, dan keputusanmu…”

Apakah tindakan sang hakim memberikan nasihat perubahan tersebut bertentangan dengan asas di atas. Jawabnya, jelas belum bisa disimpulkan demikian.Karena pada tahapan pemeriksaan tersebut, apapun tindakan yang dilakukan Hakim, jelas baru dalam konteks mendengarkan penggugat.Apakah hakim bersikap berbeda ketika menghadapi tergugat, belum diketahui.Sikap tersebut baru diketahui bagaimana sikap hakim ketika tergugat menyampaikan jawaban. Apakah hakim juga bersikap sama ketika tergugat memberikan jawaban yang tidak memenuhi syarat. Jawaban yang tidak memenuhi syarat itu misalnya tidak menjawab aspek-aspek pokok mengenai dalil penggugat.Yahya Harahap juga memberikan contoh tentang jawaban yang tidak memenuhi syarat yaitu ketika tergugat hanya menjawab menolak/ menyangkal tanpa memberikan penjelasan kenapa dia menyangkal atau bagaimana yang benar. Menurut Soepomo, sebagaimana dikutip oleh M.Yahya Harahap, jawaban bantahan yang tidak disertai alasan yang rasional dianggap tidak serius sehingga tidak layak diperhatikan hakim.

Dengan demikian jika gugatan penggugat berpotensi mempunyai kelemahan yang menyebabkan cacat formil, maka jawaban tergugat juga berpotensi mempunyai kelemahan yang menyebabkan jawaban tersebut diabaikan oleh hakim. Dengan kata lain, ketika masing-masing ( gugatan dan jawaban ) sama-sama berpotensi mempunyai cacat dan memerlukan pertolongan hakim, masalahnya tinggal bagaimana sikap hakim. Apakah jika hakim yang sudah memberikan pertolongan kepada penggugat dengan anjuran perbaikan gugatan, juga memberikan bantuan perbaikan jawaban kepada tergugat jika jawaban tersebut mengalami kekurangan? Jika setelah hakim memberikan saran perbaikan gugatan kepada penggugat lalu memberikan saran perbaikan jawaban kepada tergugat pula, maka hakim harus dianggap sudah memenuhi asas memperlakukan sama kedua belah pihak. Hakim baru dianggap tidak memenui asas memperlakukan sama jika setelah memberikan saran perbaikan gugatan, pada gilirannya tidak memberikan saran perbaikan jawaban tergugat.

Asas Hakim Pasif
Pertanyaan lain, yang juga perlu kita ajaukan adalah apakah tindakan hakim memberikan saran perbaikan bertetangan dengan asas hukum acara perdata yang lain. Salah satu asas hukum acara perdata yang lain yang mungkin bersentuhan dengan tindakan hakim memberikan anjuran perbaikan gugatan ialah “asas hakim pasif.” Pada pokoknya, asas ini mengatur bahwa hakim dilarang untuk memperluas ruang lingkup pokok perkara dan memberikan putusan mengenai sesuatu yang tidak diminta oleh penggugat.

Tindakan hakim memberikan saran perubahan mungkin dapat betentangan dengan asas pasif tersebut, jika perubahan yang disarankan hakim sudah dapat dikualifikasikan sebagai “memperluas ruang lingkup pokok perkara”. Contoh mengenai hal ini dapat kita kemukanan, misalnya semula gugatan hanya mengenai perceraian tetapi dalam persidangan kemudian hakim menyarankan agar penggugat sekalian menuntut pembagian harta bersama. Menyarankan agar penggugat selain menggugat perceraian juga menggugat harta bersama, jelas merupakan saran yang sudah bersifat memperluas wilayah sengketa.

Akan tetapi, tidak demikian halnya jika saran perubahan tersebut sebatas hanya menyangkut formalitas sebuah gugatan dan tidak menyangkut menambah ruang lingkup persengketaan. Saran tersebut misalnya mengenai kesalahan pengetikan, perbaikan mengenai penyebutan subjek hukum (penggugat, tergugat, atau turut tergugat), siapa-siapa yang harus menjadi subjek hukum dalam suatu gugatan dalam perkara yang sedang berlangsung,menyuruh meneliti kembali objek gugatan (letak, ukuran, tempatnya) agar memudahkan pelaksanaan sita dan discente, merumuskan petitum yang benar. Ketidakcermatan mengenai hal-hal tersebut memang bisa menyebabkan sebuah gugatan di NO.
Persoalananya, apakah tindakan hakim memberikan saran pada formalitas gugatan yang cacat formil dan dapat mengakibatkan gugatan di NO diperbolehkan?

Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan ketentuan: “Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan.”
Rumusan pasal tersebut sebelumnya juga tertuang dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
Ketentuan pasal tersebut menurut ahli hukum memberikan ketentuan pengadilan bersikap aktif. Kata “pengadilan” dalam ketentuan tersebut, dalam persidangan tentu harus dibaca “hakim”. Oleh karena dalam rumusan tersebut tidak memakai kata “dapat” maka sifat aktif tersebut bukan bersifat “fakultatif” melainkan bersifat “imperatif”. Khusus untuk Pengadilan Agama ketentuan tersebut dipertegas oleh ketentuan Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 7 Tahu 1989 yang pada pokoknya pemberian bantuan kepada para pihak merupakan kewajiban yang bersifat imperatif.

Menurut M. Harahap, S.H., memang terdapat perbedaan yang agak prinsipil antara yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 jo Pasal 58 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 di atas dengan Ketantuan Pasal 119 HIR/143 RBg. Apabila kita perbadingkan jelaslah ketantuan yang ada dalam HIR/RBg lebih sempit karena hanya sebatas mengenai pertolongan Hakim atau pengadilan kepada penggugat dan hanya dalam bentuk nasihat dan pertolongannya mengenai hal yang bersangkutan dengan tata cara pengajuan gugatan. Kata “berkuasa” dalam Pasal 119 HIR/ 143 Rbg juga berimplikasi fakultatif, bukan imperatif.

Lebih lanjut M.Yahya Harahap, memberikan penjelasan bahwa pemberian bantuan dan nasihat yang dibenarkan secara hukum adalah sepanjang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan formal. Hal-hal yang berkenaan dengan dengan masalah meteriil atau pokok perkara, tidak dijangkau oleh fungsi pemberian bantuan dan nasihat yang diperbolehkan.
Beliau memberikan contoh gugatan yang abscur libel (tidak jelas atau tidak saling mendukung antara posita dan petitum). Gugatan yang demikian tidak memenuhi syarat formil. Materi perkara akibat gugatan yang cacat formil tidak dapat diperiksa yang menyebabkan tidak dapat dijatuhkan putusan yang bersifat “positif”. Putusan yang dapat dijatuhkan akibat adanya gugatan yang cacat formil adalah putusan negatif yang berupa pernyataan gugatan”tidak dapat diterima (niet onvenkelijk verklaard)”.

Dari ilustrasi tersebut jelaslah, bahwa akibat gugatan cacat formil sangat fatal.Penegakan hukum materiil yang justru menjadi tujuan para pihak, kandas hanya karena kesalahan formalitas gugatan yang sebenarnya hanya masih dalam tahap prosedural.Inilah urgensi sifat imperatif hakim dalam memberikan bantuan dan nasihat kepada para pihak. Maksud dan tujuannya adalah agar hambatan penegakan hukum materiil akibat persoalan prosedural tersebut tidak terjadi. Akibat gugatan yang cacat formil harus diulang dari awal, mulai dengan daftar lagi kemudian melakukan pemanggilan para pihak lagi. Yang demikian jelas akan membuat penegakan hukum materiil menjadi terhambat. Bayangkan, akan sampai berapa kali penggugat akan mengalami NO jika Hakim tidak segera memberitahukan bagian mana yang menjadi ‘biang penyebab’ NO. Inilah makna “hambatan dan rintangan persidangan” yang secara imperatif harus dihilangkan oleh hakim karena dapat membuat jalannya peradilan tidak sederhana, tidak cepat, dan tidak biaya ringan lagi.

M.Yahya Harahap, S.H. Hakim Agung yang selama ini menjadi guru para hakim, dengan tegas mengatakan, bahwa jangkauan memberikan saran perubahan ialah menganjurkan perbaikan surat gugat mengenai hal-hal yang menyangkut formalitas gugatan yang kalau tidak diperbaiki menyebabkan gugatan cacat formil.
Tentang keberadaan asas aktif memberikan bantuan ini tampaknya kita perlu mengingat lagi, bahwa memang terdapat dua aliran. Aliran pertama yaitu meletakkan hakim pada kedudukan yang pasif. Aliran kedua, meletakkan hakim pada kedudukan yang aktif. Aliran pertama berdasarkan Reglement op de Rechtsvordering (RV).Aturan ini diperuntukkan untuk golongan Eropa dan yang dipersamakan dengannya di depan Raad van Justiie (peradilan untuk golongan Eropa). Sedangkan aliran kedua,mberdasarkan HIR/RBg sebagai hukum acara bagi golongan Bumi Putera dalam persidangan Landraad.Konsekuensinya, ketika hukum acara perdata yang kita anut masih HIR/RBg, maka asas hakim aktif tersebut, mestinya tetap kita junjung tinggi. Termasuk dalam konteks asas hakim aktif ialah memberikan bantuan perubahan suratgugatan agar penggugat tidak selalu bernasib menerima putusan NO sebagaimana dikemukakan di atas.

Akan tetapi, akhir-akhir ini, tampaknya ada pendapat agak aneh. Pemberian saran perubahan tersebut sebaiknya dilakukan oleh pimpinan pengadilan sebelum perkara didaftarkan. Bagaimana mungkin yang tidak menyidangkan perkara harus memberikan saran perbaikan gugatan. Pendapat ini selain kita anggap aneh juga berpotensi menimbulkan disharmoni antara pimpinan dengan hakim. Kita ambil contoh, misalnya ketika seseorang mengajukan perkara kewarisan. Agar supaya gugatan tidak di NO oleh hakim pemeriksa, di samping dalam rangka melaksanakan fungsi aktif pengadilan, ‘rancangan’ gugatan tersebut dihadapkan kepada pimpinan. Pimpinan lalu memberikan beberapa catatan agar gugatan disempurnakan.Setelah gugatan disempurnakan sesuai yang dikehendaki pimpinan lalu didaftarkan.Ketika sampai ke tahap penentuan siapa yang harus menyidangkan perkara tersebut ternyata perkara tersebut jatuh ke hakim anggota (bukan pimpinan). Alangkah malangnya penggugat, ternyata ketika hakim yang mendapat tugas menyidangkannya masih menemukan bagian-bagian gugatan yang berpotensi cacat formil. Ternyata ada disparitas pemahaman antara pimpinan yang telah memberikan saran perbaikan di satu pihak dengan hakim yang menyidangkan perkara di pihak lain. Dalam suasana demikian inilah disharmoni antar pimpinan dan hakim anggota terjadi. Itulah sebabnya, sebagaimana disinggung di muka aturan yang ‘mengharuskan’ pengadilan memberikan saran perbaikan gugatan, yang dimaksud “pengadilan” dalam konteks pemeriksaan perkara ya “hakim” yang menyidangkan perkara.
Kalau kita sudah mempunyai landasan hukum, mestinya kita tidak perlu segan atau bahkan takut memberikan saran perubahan gugatan sepanjang yang dibolehkan undang-undang di atas.Akan tetapi persoalan lapor melaporkan hakim terkait dengan tugas teknis penanganan perkara, bagi hakim tampaknya tetap menjadi persoalan tersendiri. Sikap responsif oleh institusi internal ( MA) yang berkompeten sering dirasakan para hakim bawahan kurang adil.Sebab, ketika pada gilirannya para hakim tidak terbukti bersalah pelapor tidak mendapat ganjaran setimpal. Hal demikian sangat berbeda ketika hakim dianggap terbukti bersalah. ‘Ganjaran’ berupa punishment segera diterapkan. Padahal, apa yang dianggap salah–yang dilakukan hakim—tersebut, secara akademik, masih bisa diperdebatkan.

Realitas demikian sering mengakibatkan para hakim pesimis.Hakim di bawah adalah hakim-hakim yang menjadi ujung tombak peradilan. Ibarat sebuah pertempuran, hakim tingkat pertama merupakan pasukan garda terdepan depan yang langsung berhadapan dengan musuh. Laporan para pihak yang berbuntut punishment, sering membuat hakim tingkat pertama ‘moral tempurnya’ turun. Para pihak yang tidak puas dengan putusan tampaknya lebih memilih melaporkan hakim dari pada menempuh jalur hukum semestinya (banding, kasasi, atau peninjauan kembali) karena langsung bisa membalaskan dendamnya kepada sang hakim yang telah mengalahkan perkaranya.

Akhirnya, agar lapor melapor ke pusat ini tidak menjadi budaya, kita memang berharap sikap pro aktif pimpinan pengadilan tingkat pertama dan iktikad baik para advokat.Bagaimana agar sinergitas antar lembaga (hakim dan advokat) terjalin harmonis. Sebagai implementasinya pimpinan bisa mengajak dialog dari hati ke hati antar lembaga tersebut. Hal-hal yang berkaitan dengan persoalan penegakan hukum yang menjadi ‘uneg-uneg’—misalnya, mengenai sikap hakim terkait teknis pemeriksaan perkara yang dianggap menyalahi kode etik atau mengenai perilaku advokat yang tidak semestinya–bisa diunggah dalam dialog tersebut. Upaya tersebut juga harus dibarengi dengan kesediaan para hakim untuk berintrospeksi. Introspeksi tersebut, di samping dalam hal update keilmuan juga dalam hal sikap dan tutur kata selama persidangan. Dan, yang lebih penting lagi iklim kondusif penegakan hukum memang harus menjadi concern bersama para penegak hukum (hakim dan advokat). Sebab, kita tidak bisa berharap banyak masyarakat memperoleh pendidikaan hukum yang baik, jika para elite hukum tersebut tidak kompak. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait