Asas Mempersulit Perceraian

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Di ruang sidang seorang ibu yang menjadi pihak dalam suatu perkara percaraian menangis histeris. Sambil bersumpah serapah saat menangis, menandakan bahwa ia sedang menunjukkan ekspresi kejengkelan yang luar biasa. Kepada siapa kejengkelan itu dialamatkan? Tidak lain kepada advokat yang kebetulan bekerja untuk kepentingan suaminya. Perceraian yang semula dianggapnya hanya sekedar ‘membeli surat’ itu ternyata menjadi urusan yang dianggapnya sangat rumit dan tidak kunjung selesai. Sekalipun advokat itu bekerja sesuai dengan ‘pedoman’(baca: hukum acara) yang dipelajari, tetapi ibu tadi tetap tidak mengerti mengapa perkaranya menjadi berliku. Dia tidak mengerti logika-logika pengacara yang sedang bekerja membela kepentingan kliennya. Meskipun tampaknya ia sadar bahwa pengacara harus membela suaminya, tetapi tidak disangkanya pembelaan itu sampai membuatnya harus menghadiri sidang lebih dari 7 kali. Bolak-balik ke pengadilan, mengantri sidang, meninggalkan pekerjaan, baginya tentu bukan persoalan sepele. Risiko tidak mendapatkan income (pendapatan) karena tidak bekerja atau ancaman pemberhentian dari sang bos akibat sering meninggalkan pekerjaan, memang sering membuat siapapun jengkel ketika berperkara ke pengadilan. Dan, jangan-jangan termasuk ibu tadi.

Ilustrasi di atas hanya sebuah “lakon” tentang salah satu bentuk kesenjangan pemikiran masyarakat dalam memandang lembaga hukum perceraian. Apa yang dipikirkan mengenai perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan, di satu pihak, dengan apa yang dikehendaki undang-undang, di pihak lain. Sebagaimana disinggung di muka, tampaknya banyak orang beranggapan bahwa ketika mengajukan gugatan perceraian ( baik cerai talak maupun cerai gugat) yang terpikir adalah seperti mengurus sertifikat atau surat izin mengemudi. Ketika sudah membayar dan semua syarat-syarat terpenuhi tinggal menunggu hasil. Banyak yang tidak mengerti, bahwa ketika suatu perkara perceraian diajukan, pengadilan harus memeriksanya sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Karena, perkara perceraian termasuk jenis perkara kontensius. Yang dimaksud perkara kontensius adalah perkara yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih dan merupakan tuntutan hak serta adanya kepentingan hukum. Perkara perceraian masuk jenis perkara kontensius, karena dalam perkara perceraian terdapat dua belah pihak yaitu penggugat dan tergugat. Penggugat mengajukan perkara berisi pengaduan mengenai persoalan-persoalan rumah tangga yang dijadikan sebab mengapa seorang ingin menceraikan pasangannya. Tergugat adalah orang yang diadukan ke pengadilan. Secara teknis dibedakan sebutan pihak-pihak pada perkara perceraian yang diajukan istri dengan yang diajukan suami. Pada perceraian yang diajukan istri pihak pengaju perkara disebut penggugat dan suami sebagai pihak yang diadukan disebut tergugat. Sedangkan pada perceraian yang diajukan suami, pihak yang pengaju perkara disebut pemohon dan istri yang diadukan desebut termohon. Konteks pembicaraan ini bukan mengenai istilah-istilah teknis seperti penggugat dan tergugat atau pemohon dan termohon akan tetapi mangenai substansi perkaranya.

Ketika suatu perkara kontensius diadukan ke pengadilan, hakim yang diserahi tugas memeriksa perkara, harus memanggil pihak tergugat untuk di dengar keterangannya. Keterangan dimaksud tidak lain ialah tanggapan terhadap seluruh dalil permohonan/gugatan yang dijadikan alasan suami/ istri untuk bercerai. Karena perkara ini mengenai 2 belah pihak, maka hakim dilarang mempercayai begitu saja yang diadukan salah satu pihak suami/istri kepadanya, melainkan harus mendengar pula tanggapan pihak lain suami/istri yang diadukan. Dalam hukum acara perdata, keharusan mendengar kedua belah pihak ini disebut asas audi et alteram partem. Asas ini sudah berlaku secara universal. Asas ini juga sejalan dengan yang digariskan rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:” Apabila ada 2 orang minta keadilan kepadamu, maka jangan kamu putuskan hanya mendengar pengaduan orang pertama, sampai kamu mendengar pula yang lain”. Kalimat rasulullah tersebut beliau pesankan kepada Sayyidina Ali r.a ketika mengutusnya ke Yaman.

Dalam praktik ketika seorang suami/ istri diadukan ke pengadilan secara geris besar, kalau dia datang, jawabannya ada 4 kemungkian. Pertama, membenarkan pengaduan pasangannya dan karena alasan yang menurutnya prinsip, suami/istri (sepakat) sama-sama ingin bercerai. Kedua, membenarkan tetapi karena alasan tertentu, tidak mau bercerai. Suami/istri membenarkan semua dalil yang dijadikan alasan bercerai oleh pasangannya, tetapi dia tetap tidak mau bercerai karena alasan-alasan tertentu, seperti masih mencintai dan karena alasan nasib anak-anak pascaperceraian. Ketiga, menyangkal tetapi tidak keberatan (setuju) bercerai. Biasanya penyangkalan ini hanya menyangkut penyebab yang menjadi pemicu pertengkaran. Sedangkan terhadap masalah utamanya—yaitu keinginan pasangan untuk bercerai—tidak keberatan. Keempat, menyangkal dan tidak mau bercerai dengan alasan apapun.

Bagi hakim, terhadap pasangan yang menjawab dengan jawaban pertama dan ketiga relatif tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi, persidangan akan ‘menghangat’ jika pasangan menjawab dengan jawaban kedua dan keempat. Persidangan biasanya akan berlangsung seru, dan yang lebih penting, berpotensi menyita waktu para pihak sendiri. Kasus yang menimpa ibu di atas, suaminya di samping menyangkal dalil yang dijadikan alasan perceraian istrinya juga keberatan bercerai. Bahkan, dengan alasan apapun. Kehadiran pengacara yang mendampingi suaminya membuatnya pening tujuh keliling. Kehadiran advokat membuat front ‘pertempuran’ kini, dianggapnya tidak hanya suami secara vis a vis, tetapi (seolah) juga harus melawan advokat yang mendampingi suaminya.

Hanya saja hakim memang tetap harus melaksanakan kaidah-kaidah pemeriksaan sesuai standar. Standar pemeriksaan ini sesuai Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, ialah keharusan mencari penyebab perselisihan dan pertengkaran dari suami/istri. Kemudian, harus pula mendengar keterangan keluarga suami istri. Keterangan keluarga ini diperlukan dengan asumsi, bahwa karena kedekatan, keluarganyalah yang dianggap paling tahu kondisi rumah tangga suami istri. Selanjutnya, keterangan keluarga dan/atau orang dekat itu, dapat dijadikan rujukan hakim seberapa parah kondisi rumah tangga suami istri itu, sehingga perceraian yang merupakan “pintu darurat” itu boleh dimasuki pasangan suami istri yang ingin bercerai.

Di atas semua aturan mengenai teknis hukum dan uneg-uneg para pihak mengenai liku-liku mengajukan perkara perceraian, tampaknya ada satu hal yang belum banyak diketahui masyarakat. Satu hal itu ialah adanya “asas mempesulit terjadinya perceraian”. Asas ini tertulis dengan jelas dalam penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1974. Asas inilah yang mengharuskan masyarakat agar perceraian dilakukan melalui pengadilan ( Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974). Yang dimaksud pengadilan ini ialah pengadilan agama bagi yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi selain Islam (Pasal 63 ayat 1). Pengadilan akan memeriksa apakah perceraian yang dilakukan benar-benar mempunyai alasan. Gugatan perceraian dapat dikabulkan, apabila bagi hakim yang memriksa perkara, telah cukup jelas mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang orang yang dekat dengan suami istri (Pasal 22 ayat 2 PP Nomor 9 tahun 1975). Bahkan sebelum memeriksa materi pokok perkara ada dua kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap hakim. Pertama, mendamaikan kedua belah pihak. Bahkan, upaya mendamaikan ini sangat dianjurkan oleh hakim selama perkara belum diputus. Kedua, memerintahkan kedua belah pihak untuk menempuh mediasi. Untuk upaya pertama dan kedua selama masih di dalam negeri, sekalipun kedua belah pihak sudah memakai jasa advokat, tetap diwajibkan hadir secara langsung (Pasal 82 ayat 2 UU Nomor 7 tahun 1989). Kewajiban mediasi ini secara panjang lebar dimuat dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016. Apabila 2 hal ini tidak dipenuhi, bisa menyebabkan putusan batal demi hukum. Karena 2 hal tersebut mengenai kualitas standar pemeriksaan (imperatif). Apabila hakim tidak melakukan menyebabkan putusan batal demi hukum. Atau, kalau putusan tersebut diketahui pada tingkat banding paling tidak Hakim banding memeriksa perkara akan menajtuhkan putusan sela agar dua hal tersebut dilakukan oleh hakim tingkat pertama pemeriksa perkara tersebut.

Akibat adanya asas mempersulit perceraian ini—dengan menjadikan perceraian harus dilakukan di depan pengadilan—salah satu hadits kondang menganai perceraian, harus mulai segera dilupakan masyarakat Indonesia. Hadits kondang itu ialah hadits yang memaklumatkan, bahwa percaraian adalah satu dari 3 hal yang–jangankan dilakukan dengan sungguh-sungguh– ketika dilakukan dengan main-main pun sudah dianggap terjadi. Dengan demikian adanya asas mempersulit perceraian yang berimbas berlikunya penyelesaian perkara percaraian ini, sejatinya juga merupakan salah satu implementasi dari ajaran hadits agar masyarakat tidak mudah mengerjakan perkara halal tetapi sangat dibenci oleh Allah, yaitu “cerai”. Akibat perceraian, secara sosial ternyata juga sangat luas, terutama bagi anak-anak yang dilahirkan pasangan yang bercerai. Dan, hal demikian sudah sering menjadi objek kajian para akademisi dan pengamat sosial.

Dengan paparan di atas, diharapkan masyarakat pencari keadilan (setidaknya) dapat memperoleh jawaban atas uneg-uneg selama ini, mengapa pemeriksaan perkara perceraian saat ini sering harus bertele-tele. Jadi, sebaiknya sabar atau tidak usah cerai saja.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait