BANYUWANGI, beritalima.com – Aturan nilai taksir tanah dan bangunan yang diterapkan oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Banyuwangi, Jawa Timur, dikeluhkan. Taksiran yang ditentukan petugas jauh diatas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), dinilai sangat mencekik bagi wong cilik.
Apalagi penaksiran harga oleh Bapenda tersebut adalah acuan pembayaran pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Artinya, jika tidak dibayar, dipastikan warga tidak akan bisa mengurus sertifikat tanah.
Salah satu contoh, seperti yang dialami Syaifudin, asal Kecamatan Kabat. Dari tanah miliknya, seluas 6.069 meter persegi, dengan nilai NJOP Rp 20 ribu per meter persegi, tanahnya dihargai Rp 121.380.000,-. Namun oleh petugas Bapenda harga ditaksir sampai nilai melambung dua kali lipat lebih. Diangka Rp 303.450.000,-. Tak pelak, Syaifudin harus menanggung pajak BPHTB sebesar Rp 12.172.500,-.
“Kita sangat terbebani,” katanya.
Belum diketahui pasti apa dan bagaimana pola penaksiran harga tanah dan bangunan oleh Bapenda Bumi Blambangan ini. Tapi menurut informasi dilapangan, saat terjadi perdebatan, besaran pajak BPHTB bisa berubah lebih rendah.
Terkait keluhan ini, Hidri, Kasie PBB dan BPHTB, Bapenda Banyuwangi, enggan memberi penjelasan. Dia meminta awak media untuk konfirmasi langsung pada Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bapenda Banyuwangi, Nafiul Huda S Sos Msi.
“Semua satu pintu lewat pak Huda, karena pimpinannya pak Huda,” katanya.
Dengan kondisi ini, masyarakat berharap pemerintah lebih bijak dalam menerapkan aturan nilai taksir. Apalagi saat ini Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sedang getol menyuarakan kemudahan dan percepatan pengurusan sertifikasi tanah. (Abi)