Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)
Salah satu segmen ibadah yang sangat dianjurkan pada bulan suci ramadhan adalah iktikaf. Dari hadits-hadits dapat kita dapati jejak sejarah tentang betapa pentingnya iktikaf di bulan ramadhan ini. Kepentingan iktikaf ini terutama pada sepuluh akhir bulan ramadhan. Anjuran demikian adalah sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits riwayat Sayyidah ‘Aisyah r.a, bahwa rasulullah selalu beriktikaf pada 10 akhir ramadhan sampai beliau meninggal.
Para istri beliau dan para sahabat pun kemudian mengikuti jejak beliau baik sewaktu masih hidup maupun setelah beliau wafat. Meskipun iktikaf ini sangat penting, akan tetapi sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al Sunnah, tidak ada satu haditspun yang menerangkan keutamaan iktikaf. Abu Dawud, salah seorang perawi hadits, bertanya kepada Imam Ahmad: “Tahukah anda sesutu keterangan mengenaai iktikaf?” Imam Ahmadpun menjawab:”Tidak ada, kecuali hanya keterangan yang dhaif”. Dari keterangan demikian dapat kita simpulkan bahwa sekalipun iktikaf merupakan ibadah yang sangat penting tetapi tentang apa saja keutamaan ibadah ini tidak pernah dijelaskan oleh rasullah SAW. Atau, dengan kalimat lain, sekalipun pahala iktikaf tidak dijelaskan oleh rasulullah, akan tetapi berarti kita boleh mengabaikannya, sebab iktikaf selalu dicontohkan rasullah SAW yang berarti kita sebagai ummatnya dianjurkan mengikutinya.
Meskipun demikian ada salah satu persoalan yang menjadi perdebatan ulama, yaitu mengenai, apakah iktikaf harus di masjid atau boleh di luar masjid? Sekalipun ada pendapat bahwa iktikaf tidak harus di masjid akan tetapi menurut Jumhur (mayoritas ulama) tempat iktikaf adalah masjid. Juga, sekalipun ada pendapat bahwa masjid dimaksud terbatas tiga masjid ( masjidil haram, masjidil Aqsho, dan Masji nabawi) akan tetapi pada umumnya para ulama berpendapat bahwa semua masjid dapat digunakan iktikaf. Dengan semikian, apabila ada tuntunan agar pada akhir ramadhan kita sangat dianjurkan beriktikaf, artinya agar kita pada waktu-waktu itu selalu melakukan mulazamah di masjid untuk iktikaf. Sedangkan, amalan yang sangat dianjurkan pada waktu iktikaf itu, sebagaimana ditulis oleh Al Imam An Nawawy dalam kitabnya Al Adzkar adalah memperbanyak membaca Al Qur’an dan memperbanyak dzikir (menyebut asma Allah sambil mengingat-Nya).
Pertanyaan kita, apakah anjuran itu secara konsisten kini telah kita prektikkan, khususnya di bulan ramadhan ini? Di beberapa daerah yang menajemen umatnya telah mapan tradisi agama tersebut telah terlembaga dengan baik. Pada tanggal akhir-akhir ramadhan telah terdapat jadwal yang jelas yang pada pokoknya mengajak ummat sekitar untuk melakukan qiyamul lail dan iktikaf di masjid. Akan tetapi pada saat yang sama dalam jumlah yang lebih besar banyak pula masyarakat yang tidak bisa melaksanakan ibadah demikian.
Sebagaimana kita saksikan justru menjelang akhir ramadhan, kesibukan lebanyakan orang semakin padat. Aktivitas mempersiapkan lebaran dengan segala perniknya dari tahun semakin meningkat ragamnya. Segenap daya, fikiran, dan dana seolah terfokus pada bagaimana agar lebaran betul-betul sebagai hari puncak kebahagiaan. Tradisi bersilaturrahmi harus diikuti dengan antisipasi penamapilan yang paling bagus, mulai dengan penampilan hidangan aneka kue di meja, penampilan halaman rumah dan cat ruang tamu sampai penampilan diri dengan baju terbaik. Akibatnya, dapat kita saksikan berbagai toko, mulai toko bahan kue, toko bangunan, dan yang pasti toko pakaian, pada menjelang akhir ramadhan selalu penuh sesak oleh para pembeli. Kita saksikan pula betapa para ibu yang sedang puasa rela berdiri mengantre di tempat penggilingan daging sekedar membuat pentol bakso. Nuansa kehidupan hedonis sangat kental mewarnai kehidupan kebanyakan kita justru pada akhir ramadhan. Salah siapa? Bulan salah siapa-siapa. Semua karena dinamika masyarakat akibat dinamika peradaban.
Tetapi peran media, terutama televise tampaknya ikut bertanggung jawab. Hari raya idul fitri telah distigmakan sebagai hari kemenangan dengan berbagai iklan menggiurkan selama ramadhan, seperti menu masakan, cat rumah, aneka busana muslim/ muslimah. Sehingga, sehari-hari selalu kita saksikan propaganda itu memenuhi hampir semua acara stasiun televisi. Pada intinya perilaku kebanyakan kita untuk menghadiri pusat-pusat perbelanjaan merupakan sesuatu kebutuhan yang tampaknya sulit kita hindari.
Fenomena demikian seolah menimbulkan kesan kontradiktif dua kelompok manusia. Kelompok manusia yang secara ideal, dengan teguh memegangi ajaran agama, di satu pihak. Dan, di pihak lain, ada kelompok masyarakat yang harus mempersiapkan idul fitri dengan cara yang realistis. Kelompok pertama, benar-benar ingin secara konsisten mengamalkan ajaran agama sesuai dengan tuntunan. Dalam konteks ramadhan, bagaimana agar momentum ramadhan dengan berbagai kelebihannya benar-benar dipergunakan sebagai wahana untuk beribadah semaksimal mungkin guna mendulang pahala, termasuk iktikaf di masjid. Sedangkan kelompok kedua juga benar-benar ingin mempersiapkan agar pada salah satu syiar Islam bernama idul firi benar-benar dapat ‘tampil’ secara maksimal. Tampil maksimal diterjemahkan secara realistis, seperti kalau ada tamu, sudah ada hidangan kue terbaik atau pentol bakso terlezat di meja. Halaman rumah dan ruang tamupun harus terlihat asri dan rapi dengan berbagai pernik hiasannya. Kalau berjumpa dengan teman kantor, tidak malu karena sudah punya dan bisa tampil dengan baju terkini.
Dua kelompok ekstrim tersebut seolah sangat antagonis, tidak bisa saling bertemu satu sama lain. Kelompok orang yang hanya keliaran di mall apada akhir ramadhan sering menjadi sasaran bullying pada ustadz dalam mimbar kuliah tujuh menit (kultum) saat tarawih atau khutbah jum’at. Berbagai narasi dengan dalil agama yang mengandung kritikan menjadi menu ceramah sehari-hari menjelang akhir ramadhan mulai yang disampaikan secara halus dan jenaka sampai yang bernada kasar. Akan tetapi benarkan tidak ada peluang kebaikan bagi para penggiat pusat perbelanjaan di akhir ramadhan?
Dalam salah satu hadits sahih rasulullah bersabda, bahwa suatu amal tergantung niatnya dan setiap orang akan memperoleh balasan bergantung dengan apa yang ia niatkan. Az Zarnuji dalam kitab Taklim al-Muta’allim juga pernah mengutip hadits rasulullah perihal pentingnya niat ini. “Betapa banyak amal yang menyerupai amalan akhirat tetapi karena niat yang jelek, hanya akan menjadi amalan dunia belaka. Dan, betapa banyak amal yang menyerupai amalan dunia, tetapi dengan niat yang bagus, bisa menjadi amalan akhirat”, tulisnya. Dengan mengacu hadits-hadits ini, dapat disimpullan bahwa semua perbuatan yang kita lakukan sama dapat berpotensi menjadi amal dunia saja atau atau menjadi amalan yang bernilai dunia akhirat. Semua bergantung dari kemampuan kita memberi nafas rohani, berupa ketulusan niat dalam kalbu kita. Dalam konteks iktikaf dan kegemaran kita menghadiri mall, iktkaf yang kita lakukan dapat pula berpotensi menjadi amal dunia yang sama sekali tidak mendapat pahala apa-apa di akhirat karena niat yang kita lakukan salah.
Kesalahan niat itu, semisal iktikaf karena hanya sekedar malu dengan teman lain atau rajin iktikaf agar mendapat label ‘saleh’. Tetapi sebaliknya, keliaran kita di mall justru akan bisa mendatangkan pahala akhirat jika niat kita ke mall benar. Niat ke mall itu misalnya, sebagai contoh, untuk membeli keperluan hari raya demi syiar Islam, membeli baju agar bisa bahagia dan tentunya bisa lebih bersyukur kepada Allah saat menghadapi hari raya. Pada saat membeli sembako untuk keperluan lebaran juga tidak lupa menyisihkan sebagian untuk tetangga atau kerabat yang kurang beruntung. Jika ketika di mall kita bisa demikian, maka tidak saja kita melakukan ibadah hanya sekedar ritual tetapi justru ibadah secara substansial. Dan, hal demikian justru dapat lebih utama dibanding hanya iktikaf secara ritual yang salah niat.
Akan tetapi dari kedua kelompok ektrim di atas, yang paling ideal adalah kelompok ketiga. Masyarakat ini selain mempersiapkan kebutuhan lebaran menurut kemampuan dengan sebaik-baiknya juga tetap mengisi ramadhan dengan ibadah-ibadah standar juga. Dalam praktik, kita tetap pergi ke pusat-pusat perbelajaan (mall), tetapi setelah itu, juga bergabung dengan teman lain beriktikaf di masjid dan qiyamul lail. Meskipun demikian ketika ke mall kita tetap memberinya nafas rohani. Malahan, tidak hanya sekedar dengan memberi sentuhan niat yang benar tetapi ada aksi nyata bagi lingkungan akibat pergi ke mall, seperti menyisihkan sebagian anggaran kita untuk kepentingan kerabat atau tetangga yang kurang mampu. Inilah makna di mall pun kita bisa iktikaf. Iktikaf tidak sekedar rutual tetapi iktikaf dalam arti substansial. Pada saat yang sama, semarak berbelanja di bulan ramadhan otomatis juga ikut menggerakkan ekonomi. Dan yang perlu kita ingat, di mall juga terdapat ribuan tenaga kerja muslim yang memerlukan pendapatan untuk kepentingan keluarga dan mungkin juga untuk membiayai adik tersayang yang sedang menghafal al Qur’an. Realitas demikian juga harus menjadi cakupan niat kita ketika di mall. Kalau begitu, ayo iktikaf di mall!
Wallahu A’lam.