Oleh: Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)
Ketika seseorang berfikir biasanya dia sedang berbahasa. Ketika dia berfikir tentang suatu hal, bisa saja ketika itu ia sedang bertanya, mencari solusi tentang suatu hal, menjawab suatu hal, atau sekedar memberi pernyataan terhadap eksistensi suatu objek. Semua aktivitas yang dilakukan itu, sama halnya sudah berbasa. Hanya saja ketika masih di alam fikiran orang lain belum tahu. Orang lain baru tahu setelah bahasa itu diekspresikan, baik melalui lisan, tulisan atau sekedar dengan isyarat.
Dalam kajian filsafat ilmu, keberadaaan bahasa menjadi satu kajian tersendiri. Dalam kajian tersebut disimpulkan, bahwa keunikan makhluk bernama manusia sebenarnya bukan terletak pada kemampuan berfikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Jujun Suria Sumantri dalam bukunya Filsafat ilmu mengutip pendapat Ernest Cassirer yang menyebut manusia sebagai animal syimbolicum. Predikat itu diartikan, bahwa manusia adalah makhluk yang mempergunakan simbol. Predikat tesebut secara generik mempunyai cakupan yang lebih luas dari predikat homo sapiens ( manusia menkhluq berfikir ). Alasan yang dapat dijadikan argumentasi adalah karena dalam kegiatan berfikirnya menusia selalu mempergunakan simbol. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, maka kegiatan berfikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dilakukan. Dan, lebih lanjut lagi, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan kebudayaannya. Secara lebih ekstrim, Aldous Huxley, sebagai dikutip Jujun S. Suria Sumantri, menyimpulkan, bahwa tanpa bahasa manusia tidak berbeda dengan monyet. Lihatlah monyet ketika lapar dia tidak bisa membahasakan rasa lapar itu. Dia bisa mati kelaparan sekalipun berada di tengah kerumunan orang. Manusia sekitar hanya tahu bahwa dia lapar, ketika tiba-tiba merebut paksa buah-buahan atau sebungkus kacang yang sedang dibawanya.
Ketika manusia berada di komunitasnya, disadari atau tidak membutuhkan komunikasi antar mereka. Dalam dunia komunikasi, bahasa berperan sebagai alat untuk menyampaikan pesan agar komunikasi yang sedang berlangsung bisa efektif. Keberhasilan sebuah komunikasi sering ditentukan keberhasilan berbahasa yang sebagaimana di singgung di atas, merupakan bagian dari sebuah proses kegiatan berfikir. Teratur atau tidaknya cara berfikir sesorang sebenarnya juga dapat dilihat seberapa tertib struktur caranya berbahasa.
Kegiatan menulis
Menulis pada hakikatnya salah satu bentuk komunikasi guna menuangkan ide dan gagasan agar sampai kepada alam pikiran pembaca. Bagi seorang penulis profesional kegiatan berbahasa ini sering mengalir begitu saja. Ide dan bahasa seperti saudara kembar yang mudah tampil bersamaan. Berbeda dengan penulis pemula atau bahkan yang sama sekali belum pernah mencoba. Memulai kalimat atau bahkan kata pertama apa yang harus ditulis, sering dirasa sebagai siksaan tersendiri. Ada orang bilang, bahwa ‘kecanggihan’ (baca: mbulet) suatu bahasa menjadi parameter tingginya mutu buah pikiran. Pendapat demikian tidak selalu tepat atau pastinya juga tdak sepenuhnya benar. Memang benar, semakin tinggi sebuah penalaran semakin mengakibatkan timbulnya tingkat kerumitan tinggi ketika harus menuangkannya dalam bahasa lisan atau tulis. Pada tataran demikian justru akan menjadi kadar kualitas kognisi seseorang. Di dunia, akademik misalnya sering kita jumpai tampilan para guru besar di ruang kuliah.
Ketika suatu ketika mengajar ada yang dapat dengan mudah diterima oleh mahasiswanya. Penjelasannya mengenai suatu hal yang, oleh mahasiswa sebelumnya, dianggap rumit, dapat dengan mudah dijelaskannya. Tetapi, ada juga seorang guru besar yang sering membuat mahasiswa tersiksa. Penjelasan ilmiahnya sering membuat pusing mahasiswa. Logika-logikanya cerdas tetapi teramat sulit dicerna. Tema dan materi kuliah bisa sama, tetapi kecepatan atau kelambatan masuk di otak mahasiswa bisa beda karena perbedaan bahasa yang digunakan. Tetapi kita wajib sepakat bahwa 2 fenomena guru besar itu adalah orang-orang yang sama-sama pintar.
Putusan Hakim
Dalam dunia peradilan (perdata) ada 2 produk (karya tulis), yaitu “ penetapan” dan “putusan”. Keduanya merupakan produk seorang Hakim. Bedanya, penetapan adalah keputusan hakim atas perkara permohonan (volunter). Produk ini dalam Kamus Hukum Belanda dikenal dengan besicking. Biasanaya, produk perkara–yang diajukan oleh pengaju perkara tanpa pihak lawan–ini, hanya untuk kepentingan administrasi. Sedangkan putusan adalah keputusan hakim atas perkara gugatan. Berbeda dengan penetapan, putusan ini merupakan jawaban atas perkara yang biasanya muncul akibat adanya sengketa antara pihak-pihak (penggugat dan tergugat). Betapa pentingnya keberadaan putusan ini, sampai terdapat jargon “putusan adalah mahkota hakim” (The verdict is the judge’s crown)
Baik penetapan maupun putusan keduanya merupakan produk hakim berupa dan akan menjadi dokumen tertulis. Oleh karena tertulis keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan bahasa tulis. Orang atau profssor hukum pun boleh bilang, oleh karena produk peradilan yang nota bene berkaitan dengan dunia hakum, maka harus ditulis dengan “bahasa hukum”. Akan tetapi, semuanya akan sepakat, bahwa bahasa hukum dimaksud tetap saja berupa bahasa tulis. Sebagai bahasa tulis keberadaanya tentu tidak bisa dilepaskan dengan kaidah-kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam konteks ini para produsen putusan dan penetapan itu (mestinya) juga wajib hukumnya tunduk dan patuh kepada kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar. Akan tetapi, sudahkah kepedulian demikian menjadi concern para produsen putusan itu. Pemilihan kata yang tidak baku, masih belum bisa membedakan “di” sebagai awalan (prefiks) dan “di” sebagai kata depan (preposisi) menjadi bukti masih randahnya perhatian pengadil dengan eksistensi bahasa. Ninoy N Karundeng (kompasiana 27/08/21), pernah mengalami keprihatinan mendalam, ketika diminta sebagai tim selektor karyawan suatu perusahaan.
Banyak peserta yang tidak mengerti penulisan kata (tatabahasa) yang sangat elementri tersebut. Menurutnya, ketelitian berbahasa bisa menjadi salah satu petunjuk mengenai pribadi seseorang yang berkaitan dengan logika, intelektualitas, dan kemampuan umum lainnya. Dalam konteks ini, memang sangat relevan adanya jargon: “Bahasa menunjukkan bangsa”. “Ajining diri dumunung ana ing lathi”, begitu kata peribahasa Jawa yang berarti, bahwa nilai diri seseorang berada di mulut (yakni, bagaimana bertutur bahasa).
Lantas, bagaimana dengan putusan? Dengan mengacu teori di atas eksistensi sebuah putusan selain menjadi kadar pengetauan teknis hukum juga menjadi parameter kepribadian para pengadil yang berkaitan dengan logika, intelektualitas, dan kemampuan umum lainnya. Ketika ada seorang hakim menekuni dunia tulis menulis, sebagian teman-temanya masih ada yang berkomentar: Untuk apa hakim suka mengirim opini di media? Bukankah tugas hakim yang penting memeriksa perkara dan bisa menulis putusan yang bermutu? “Ah kurang kerjaan saja,” katanya. Sang teman tadi tampaknya lupa, bahwa menulis pada hakikatnya adalah sebuah seni merangkai kata menjadi kaliamat-kalimat yang di samping, untuk menyampaikan pesan agar mudah dipahami juga harus dilakukan dengan bahasa (Indonesia) yang baik dan benar. Bagaimana bisa membuat putusan yang bermutu jika apriori dengan dunia tulis menulis? Bagi hakim tertentu yang menekuni dunia tulis menulis, sebenarnya yang lebih penting, hanya untuk menunjang profesi. Profesi sebagai hakim yang setiap saat memang dituntut harus membuat putusan. Dan, ternyata putusan itu harus pula dituangkan menjadi bahasa tulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Akhirnya, kalau setiap putusan hakim selalu harus dilekati dengan kalimat sakral “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Para hakim pasti selalu menyadari, bahwa setiap putusan yang lahir dari hati nurani itu selain harus dipertanggungjawabkan kepada pencari keadilan, juga dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Lantas, jangan-jangan caranya berbahasa dalam putusan juga termasuk yang akan dipertanyakan Tuhan kelak. Waduh…., kalau begitu, ada baiknya semua hakim mulai membiasakan menulis.
.