Baliak ka Nagari jo Baliak Banagari, Baliak ka Surau jo Baliak Basurau

  • Whatsapp

Catatan: HM Yousri Nur Raja Agam

Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sumatera Barat (Sumbar) Buya H.Gusrizal Gazahar Lc, MAg, Dt.Palimo Basa, hari Ahad, 15 Desember 2019, menyampaikan pesan khusus untuk warga Jawa Timur asal Sumbar di rumahgadang Minangkabau Jalan Gayung Kebunsari 64 Surabaya, Jawa Timur.

Acara tabligh Buya Gusrizal ini diselenggarakan Gebu Minang Jatim dengan tema: “Di mano rantau ditampuah, Adaik jo Syarak jadi Pakaian”.

Setelah ceramah disampaikan oleh Buya Gusrizal, banyak pertanyaan dari jamaah. Namun belum semua bisa dijawab dan dijelaskan, karena keterbatasan waktu.

Di antara pertanyaan dan penjelasan adalah menyangkut “Baliak ka Nagari” dan “Baliak ka Surau” di Ranah Minang.

Menurut Buya Gusrizal, yang benar seharusnya “Baliak Banagari”, sebab kalau baliak ka nagari itu sama dengan “pulang kampuang” – termasuk “pulang basamo”. Tetapi, kalau baliak banagari, artinya kita kembali menyempurnakan kehidupan di alam Minangkabau yang menerapkan “Adaik basandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah”.
Termasuk di sini menerapkan sistem adat yang mengutamakan musyawarah.

Sedangkan “Baliak ka Surau”, juga seharusnya “Baliak Basurau”. Kalau ka surau, ke surau gadang (masjid), itu sudah rutin dan selalu kita lakukan. Tetapi, kalau “baliak basurau”, artinya memfungsikan surau sebagaimana dulu orang-orang tua, guru, buya dan tokoh masyarakat, menjadikan surau multifungsi. Surau menghasilkan kader pendidik, calon buya, mualim (malin) dan “cadiak pandai” atau cendekiawan.

Surau digunakan, selain untuk shalat rutin, juga tempat mendidik anak muda dengan bekal masa depan. Surau menjadi tempat belajar mengaji Al Quran, tafsir, nahwu, syaraf, hadist, kitab-kitab dan segala pelajaran agama Islam. Begitu juga, belajar berpidato, khotbah, ceramah, diskusi, musyawarah, rapat, memimpin organisasi dan sebagainya. Bahkan, di surau juga tempat melatih diri, berolahraga seperti silat, misalnya. Kita tahu, bahwa silat atau “basilek” merupakan budaya dan tradisi Minang.

Dan, harus pula dipersiapkan, di setiap surau harus ada “buya” yang menjadi pemimpin surau — ingat, bukan sekedar pengurus atau takmir. Di sini kita benar- benar kembali “basurau”.

Secara tegas, dinyatakan, bahwa “di setiap surau harus ada buya dan setiap buya harus punya surau”. Kemudian pengelolaan dan manajemen surau, seperti nagari. Buya di surau merupakan “top figur yang profesional”. Untuk itu Nagari atau Kaum (misalnya Suku, pasukuan) sebagai “pemilik” surau harus menjamin kehidupan buya dengan menyediakan inventaris Nagari atau Kaum. Misalnya menyediakan sawah nagari atau sawah kaum, bisa juga tabek (kolam ikan) nagari atau kaum, atau inventaris yang menghasilkan uang untuk menjamin kehidupan buya sekeluarga. Dicontohkan, seoerti tanah “bengkok” atau “tanah ganjaran” di Jawa ini, ujar Buya Gusrizal. Jadi buya tidak perlu kerja lain, kecuali menjadi pemimpin surau.
Nah, di surau itulah buya bersama tokoh masyarakat nagari atau kaum, menyiapkan generasi muda menjadi tokoh masa depan.

Dalam tradisi Minang, kita mengenal pepatah: “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun — Marantau bujang dahulu; di rumah panguno balun”. Maksudnya, anak muda atau remaja, diharuskan menuntut ilmu dengan merantau ke negeri orang, karena di kampung halaman belum berguna, alias “belum bisa berdiri sendiri”.

Kendati demikian, sebelum pergi merantau anak-anak muda atau remaja itu, di zaman lampau, “niasanya” tidak tidur di rumah orangtuanya, tetapi tidur atau “lalok” di surau. Dengan “lalok di surau” si anak muda dan remaja ini memperoleh ilmu agama dan adat surau. Sehingga di perantauan, anak muda Minang ini sudah mempunyai bekal hidup mandiri.

Perantau Minang “tempo doeloe”, biasanya di tanah rantau, tanpa modal pun bisa hidup mandiri. Bisa berceramah, berpidato, khotbah, mengajar mengaji, bahkan jadi guru atau pelatih silat

Apalagi jika melaksanakan pesan orangtua, jika pergi merantau dilepas dengan pantun ini: “Ikan beli belanak beli, ikan panjang beli dahulu — Kawan dicari dunsanak dicari, induk semang cari dahulu”. Jadi, kalau merantau yang dicari dahulu itu “induk semang” atau majikan untuk belajar, “magang atau ngenger”. Bukan keluarga atau saudara. Sebab, kalau kita kerjasama dengan induk semang, kalau kita gagal tidak akan bermasalah dan tidak malu. Jika berhasil, juga tidak berhutang budi. Berbeda, kalau kita numpang dan ikut dengan keluarga. Kalau berhasil dan sukses, nanti akan terdengar ucapan: Kalau bukan karena “si anu”, belum tentu kamu sukses seperti sekarang. Tetapi, jika gagal, kita dianggap remeh, bahkan “si anu” yang masih dunsanak itu, bisa bisa menghina dan berkata, “dasar sial, indak tau diuntuang”. Ditambah lagi, padahal sudah ditolong, sudah diberi segalanya, tetap saja begitu. Miskin dan melarat. Dasar ini dan itu, umpatnya. Nah, itu bedanya dengan “induak samang”.

Singkat kata, sebenarnya kalau kita kaji Adat bersendi Syarak dab Syarak bersendi kitabullah itu sangat dalam. Dan satu pesan yang terpatri di hati masyarakat Minang adalah: mengindentikkan merantau dengan hijrah.

Nah, begitulah salah satu di antara topik ceramah Buya Gusrizal yang bisa saya tafsirkan. (*)

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *