BANYUWANGI, beritalima.com – Suyono (43) adalah salah satu warga disabilitas di Banyuwangi. Ia tuna rungu sejak lahir. Namun, semangatnya untuk menghidupi istrinya, Eliana (41) dan 2 orang anaknya tak kalah dengan manusia yang normal lainnya.
Sebelum pandemi Covid-19, Ia berjualan keripik rasa-rasa dari sekolah ke sekolahan yang lain, hingga mampu menyekolahkan Afrizki Dova Pratama (16) hingga saat ini, di bangku SMKN Glagah Banyuwangi.
Anak kedua, Kirana Anggraini (10), pasangan tuna rungu ini, kini sekolah di SDN 3 Panderejo. Namun, usaha keripik rasa-rasa yang berjalan sekitar 17 tahun itu terhenti akibat semua sekolah diliburkan akibat pandemi.
Tak mau berpangku tangan, 3 bulan sejak pertengahan Maret lalu, Suyono mengaku mencari-cari usaha baru. Akhirnya, idepun muncul dari seorang saudaranya, membuat minuman buah alpukat yang dicampur susu. Alpukat kocok nama usaha barunya itu.
“Dulu saya bekerja sebagai tukang las di daerah Wongsorejo. Sejak menikah beralih kerja berjualan keripik rasa-rasa di sekolah-sekolah,” kata pria yang lahir 1977 di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi itu melalui penerjemah, Alfian Krisna, Sabtu (5/12/2020).
Sejak 27 Oktober lalu, Suyono membuka usaha barunya, Alpukat Kocok seharga Rp 10 ribu, di Jalan Bengawan, Kelurahan Panderejo, Kecamatan Banyuwangi. Buka pukul 09.00 hingga 21.00 WIB.
Di gerobaknya yang berwarna putih dan berpayung itu Suyono selalu menunggui calon pembeli. Ada 3 bangku panjang yang disediakan dengan 1 meja bundar. Tanpa pembatas, hanya sebuah tembok panjang di tempat pemakaman umum.
Suami Eliana itu mengaku, untuk membangun gerobak dan modal awalnya dari mengambil uang simpanan dan menjual salah satu motornya sekitar 4 jutaan.
Saban harinya rata-rata mendapatkan omset sekitar Rp 200 ribu. Sekali waktu, warga yang tinggal di Lingkungan Gentengan, Kelurahan Singonegaran, Kecamatan Banyuwangi itu mendapat omset cukup besar.
“Sehari kalau rata-rata sekitar Rp 200 ribu. Tapi pernah waktu itu, sehari mendapat Rp 500 ribu. Ada yang memborong,” katanya bercerita dengan bahasa isyarat dengan Alfian Krisna.
Untuk memudahkan pembeli, Suyono juga memasang tulisan, “Tuna Rungu. Daftar harga alpukat susu 10K” yang digantung di gerobak usaha barunya yang berjalan sebulan lebih itu.
Di sana juga disediakan cairan hand sanitizer oleh Suyono yang selalu mengenakan masker setiap berjualan dan menjaga jarak dengan pembeli. Kadang juga bergantian dengan Eliana menjaga lapak.
Sementara, untuk kedua anaknya, oleh kedua pasangan suami istri itu tidak diperkenankan membantu berdagang. Biar fokus belajar dengan giat secara online atau daring.
“Meski kami ada keterbelakangan, tapi anak kami semuanya normal, Kirana dan Dova,” katanya dengan tersenyum.
Pandemi dengan penghasilan minim, tak membuat Suyono menyerah. Apalagi, kedua anaknya membutuhkan biaya sekolah di bangku SMK dan SD. Dia pun berharap, pandemi segera berakhir, sehingga bisa berjualan keripik rasa-rasa yang omsetnya dinilai besar.
“Berapapun hasil berjualan alpukat kocok ini saya rutin menyisihkan untuk di tabung, Rp 50 ribu per hari untuk masa depan anak-anak,” tutupnya.
Kirana, yang saat itu ada di lapak usaha orangtuanya mengaku, bila komunikasi dengan ibu dan bapaknya menggunakan bahasa isyarat.
“Sekarang sudah banyak tahu bahasa isyarat. Tapi kalau ada undangan wali murid ke sekolah biasanya dibantu saudaranya bapak atau ibu,” akunya.
Salah seorang pembeli, Agung mengaku, alpukat kocok buatan Suyono selain enak juga higienis. Jadi, selepas kerja Ia kadang mampir untuk membawakan istrinya.
“Minumannya enak dan harganya terjangkau. Selain untuk minum sendiri kadang juga dibungkus untuk istri yang juga suka alpukat,” sebut Agung.
Sebagai informasi, Suyono adalah lulusan kelas 6 SD di Kecamatan Wongsorejo. Pembeli juga dapat memesan minuman alpukat kocok melalui teks di handphone. (bi)