Banyak Faktor Penyebab Korupsi Politik, Pengamat: Sistem Sentralistik Parpol Harus Diubah

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidaklah mengurangi niat oknum penyelenggara negara melakukan korupsi atau ‘menggarong’ uang negara yang mengakibatkan rakyat semakin sengsara.

Buktinya, walau sudah banyak yang tertangkap dan dijatuhi hukuman agar pejabat lainnya tidak melakukan hal serupa tetapi kenyataannya korupsi masih terus terjadi di tanah air. Terakhir tertangkapnya dua pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) yakni Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Sosial, Juliari Batubara.

“Ya, tertangkapnya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo dan Wakil Bendahara Umum PDI Perjuangan, Juliari Batubara serta berapa pemimpin daerah mengindikasikan hal itu. Tentu banyak penyebab tetap maraknya korupsi politik,” kata pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com, Rabu (9/12).

Pertama, lanjut pria yang akrab disapa Jamil tersebut, pola manajemen sentralistik yang diterapkan partai politik dalam menentukan pasangan calon (paslon) yang akan diusung dalam dalam pilkada. Pola ini membuat birokrasi menjadi panjang dan cost politik tinggi.

Akibat dari pola manajemen sentralistik, calon yang diajukan dari bawah kerapkali tak diakomodir oleh partai di pusat (Dewan Pengurus Pusat-red) sehingga pasangan calon yang diusung tidak dikehendaki arus bawah dan kadangkala kualitasnya diragukan.

Pola demikian, lanjut Jamil dimanfaatkan pasangan calon untuk memberi transaksional dengan menawarkan mahar politik yang lebih besar. Hal ini memberi ruang korupsi politik semakin kuat. Akibatnya, pasangan calon yang direkomendasi semakin jauh dari harapan arus bawah.

Dua, menguatnya politik pragmatis, terutama dari pasangan calon yang membutuhkan kenderaan politik. Para pasangan calon akan mengeluarkan segala sumber daya yang dimiliki untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik. Ini membuat biaya politik untuk mendapatkan rekomendasi semakin besar.

Tiga, sebagian pemilih pada tataran grassroot atau akar rumput (arus bawah-red) kerap memilih paslon yang ‘dermawan’ memberi uang. Situasi demikian dimanfaatkan pasangan calon dengan mengintensifkan politik uang. Tiga penyebab tadi semuanya dapat meningkatkan korupsi politik dan membuat cost politik semakin mahal. Cost politik yang besar inilah yang mendorong paslon setelah memenangkan pilkada akan berpeluang menjadi koruptif.

Untuk mengatasi korupsi politik, tentu sistem sentralistik di partai politik harus diubah menjadi desentralisasi. Untuk paslon bupati/walikota baiknya diberi kewenangan penuh kepada Dewan Pimpinan Cabang (DPC), untuk paslon gubernur diserahkan kepada Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan untuk paslon presiden menjadi kewenangan Dewan Pimpinan Pusat (DPP).

Selain itu, pengawasan politik uang harus diperketat. Bawaslu harus diberi kewenangan lebih besar agar dapat melakukan tindakan. Bawaslu diberi kewenangan seperti KPK, sehingga dapat memutus kasus politik uang dan pelanggaran lainnya lebih otonom.

“KPK juga perlu lebih insten melakukan pengawasan setiap tahap pilkada, terutama pada tahap penetapan paslon, saat kampanye, minggu tenang, dan hari H,” demikian Muhammad Jamiludin Ritonga. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait