JAKARTA, Beritalima.com– Legislator dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak meminta agar pasal-pasal mengenai pengawasan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diperkuat dalam rancangan revisi Undang Undang (RUU) BUMN yang tahun ini masuk Prolegnas Prioritas DPR RI.
Hal itu didasari kenyataan masih banyaknya kasus korupsi di BUMN yang merugikan keuangan negara. Kasus paling menyita perhatian publik saat ini adalah skandal Jiwasraya. Mengacu laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun.
BPK menggunakan metode total loss dalam perhitungan kerugian negara.
“Kebanyakan kasus di BUMN yang merugikan negara disebabkan moral hazard pengelolanya,” kata anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam keterangannya, Selasa (16/2).
Dikatakan anggota Komisi VI DPR RI ini, dalam skandal Jiwasraya, negara dua kali dirugikan. Pertama, kerugian akibat penyimpangan Rp 16,81 triliun. Kedua, negara harus memberikan suntikan penyertaan modal negara (PMN) melalui Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Rp 20 triliun agar Jiwasraya tetap dapat menjalankan usaha. “Itu menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat tentang peran lembaga yang melakukan pengawasan kepada BUMN.”
Dalam UU No: 19/2003 tentang BUMN, pengawasan BUMN diatur pasal 71 ayat 1 ‘Pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor eksternal yang ditetapkan oleh RUPS untuk Persero dan oleh Menteri untuk Perum’. Pasal 71 ayat 2 berbunyi ‘Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan’.
Dalam pelaksanaannya UU No: 19/2003 tak bisa berdiri sendiri karena ada UU No: 40/2007 tentang Perseroan Terbatas yang pasal 68 dinyatakan bahwa laporan keuangan perusahaan yang berbentuk PT diaudit Akuntan Publik.
Untuk industri Jasa Keuangan masih ada lembaga pengawas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam UU No: 21/2011. “Keberadaan beberapa lembaga pengawasan itu kenyataannya, pengawasan yang ada belum cukup mampu mencegah terjadinya korupsi di BUMN.” kata Amin.
Karena itu, dia mengusulkan, terkait sistem dan mekanisme pengawasan BUMN ini, agar ada pembahasan khusus rancangan revisi UU BUMN dengan BPK, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Ini penting agar bisa dirumuskan bersama model pengawasan yang tepat agar kasus-kasus korupsi di BUMN bisa dicegah. Hal yang paling menjadi perhatian terkait peran lembaga pengawasan dalam mencegah terjadinya korupsi di BUMN yaitu profesionalitas dan independensi,” tegas Amin.
Karena itu, ketika terjadi kasus korupsi di BUMN yang harus dimintakan tanggung jawab bukan hanya para pelaku korupsi dari unsur manajemen, tapi lembaga pengawasan yang mengaudit juga perlu diberi sanksi terkait profesionalitas dan independensinya dalam melakukan pengawasan.
Sesungguhnya pengelola dan auditor/pengawas BUMN terikat dengan UU No: 28/1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi Nepotisme (UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih), khususnya pasal 3 UU tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih.
“Kalau terjadi kasus korupsi yang merugikan negara di BUMN, selain para pengelola yang melakukan fraud secara langsung, lembaga pengawasan juga harus dimintakan pertanggungjawaban,” demikian Amin Ak. (akhir)