Oleh: Saiful Huda Ems
Novel Baswedan yang merupakan salah seorang anggota penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan merupakan seorang cucu dari anggota BPUPKI Abdurrahman Baswedan, tidaklah patut kita salahkan manakala ia telah memilih jalan keras atau radikal untuk setiap aksi penyidikan dalam usaha pemberantasan korupsinya, terlebih setelah beberapa kali Novel telah mendapatkan teror dari oknum yang tidak bertanggung jawab. Apa yang dilakukan oleh Novel merupakan cerminan dari ketegasan moralnya yang tidak menyukai korupsi tumbuh subur di negeri ini.
Jalan keras yang dilakukan oleh Novel juga tidak bisa dilepaskan dari latar belakang dirinya sebagai komisaris polisi sebelum masuk menjadi bagian dari anggota penyidik KPK. Novel yang kerap kali menerima ancaman dan teror karena kegigihannya dalam menyidik kasus korupsi yang dilakukan oleh para oknum elit politisi, oknum pengusaha hitam dan oknum pejabat kepolisian bahkan oknum TNI, seakan telah “berniaga” dengan Tuhan, dengan memantapkan dirinya untuk berperang melawan koruptor hingga tetes darah penghabisan. Ini bagi penulis merupakan suatu kepribadian yang sangat mulia dan patut didukung, dengan catatan keras atau radikal tidak dalam konteks memaksakan keyakinan agamanya pada orang lain, melainkan keras atau radikal dalam konteks perlawanannya terhadap koruptor.
Yang menjadi persoalan kemudian manakala Novel setelah mendapatkan teror berupa penyiraman air keras yang membuat matanya cacat secara permanen, Novel merubah penampilannya yang terkesan seperti penampilan kaum radikalis Islam dan dekat dengan para politisi yang bermasalah dengan hukum. Kalau Novel Baswedan hanya sekedar sebagai saudara sepupu dari Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta, tentulah tidak bermasalah karena itu sudah menjadi takdirnya, yang menjadi masalah adalah manakala Novel akhir-akhir ini seolah-olah lebih condong dukungan politiknya pada kubu Prabowo, Uno dan Anies yang berkomplot dengan para ekstrimis Islam.
Sebagaimana karakter seseorang, pilihan politik seseorang pun memang sama-sama tidak bisa disalahkan karena banyaknya faktor yang melatarbelakanginya, namun jika pilihan politik itu jatuh pada pihak yang benar-benar sudah banyak terbukti menjadi bagian terbesar dari persoalan bangsa, tentulah hal itu sangat patut kita pertanyakan. Terlebih untuk seorang Novel yang merupakan bagian dari institusi KPK dan yang dilarang keras untuk berpolitik, semestinya harus tetap netral dan hanya fokus pada tanggung jawab jabatannya.
Kendatipun demikian, penulis mencoba berusaha untuk memahami tentang apa yang sebenarnya terjadi, dan menjadi penyebab kerisauan dan ketidak percayaan diri Novel, hingga Novel harus merapat ke kubu sebrang (lawan-lawan politik pemerintah). Mungkin karena ketidak jelasan pengungkapan kasus teror yang menimpanya, hingga sampai detik ini masih belum jua ditemukan siapa pelakunya, apalagi ditangkap orangnya. Mungkin juga karena Novel telah mengerti bahwa di pihak kepolisian masih ada orang-orang lama yang menyimpan dendam pribadi padanya, maka Novel mencoba untuk membuat manuver-manuver politik yang didukung oleh sebagian anggota KPK lainnya. Tetapi sayangnya kita semua tau, di mata hukum apa yang dilakukan oleh Novel ini tidaklah etis, bahkan dilarang, mengingat KPK seperti yang di atas penulis katakan tidaklah boleh berpolitik.
Sungguh apa yang telah terjadi pada Novel ini merupakan suatu hal yang sangat dilematis, dan kita sangat paham akan hal itu. Dipasrahkan kasusnya pada pihak yang berwenang kok penanganan kasusnya tidak segera tuntas-tuntas, dan kalau toh Novel dan simpatisannya di KPK mau memaksa dengan cara menekan pada pihak yang berwenang (POLRI) melalui gerakan politik itu jelas tidak dapat dibenarkan oleh hukum. Kecuali gerakan politik itu dilakukan oleh kita yang tidak memiliki jabatan apa-apa di institusi KPK dan POLRI tentulah tidak menjadi masalah.
Akhirnya sekali lagi penulis berharap pada semua pihak, khususnya Novel, KPK dan POLRI untuk melakukan introspeksi diri. Bekerjasamalah satu sama lain dengan baik agar kasus teror yang menimpa Novel dapat segera diselesaikan, dan perburuan terhadap koruptor dapat segera dituntaskan.
Kita semua harus segera bangkit menjadi bangsa yang dewasa, bangsa yang selalu berdiri dengan tegak menunjukkan rasa hormat pada kebenaran dan keadilan, bukan bangsa yang kerdil, kekanak-kanakan yang selalu lari dari tanggung jawabnya. Akhirul kalam, penulis berdoa semoga kiranya Tuhan senantiasa memberikan bimbingan dan perlindungan pada Novel Baswedan, KPK dan POLRI, Kejaksaan para Advokat dan kita semua dalam menegakkan keadilan. Wallahu a’lamu bishawab…Salam takzim !…(SHE).
Jakarta, 14 Juni 2019.
Sauful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis pemerhati hukum dan politik Indonesia.