SURABAYA, Beritalima.com|
Kenaikan harga beras telah menjadi topik yang diperbincangkan dalam beberapa waktu terakhir. Kenaikan harga beras tidak hanya menjadi permasalahan ekonomi semata, tetapi juga memiliki implikasi yang mendalam dalam konteks sosiologi budaya.
Beras, sebagai salah satu komoditas pangan utama yang memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia, memiliki makna simbolis dan nilai budaya yang mendalam.
Fenomena ini dapat mencerminkan dinamika sosial yang kompleks yang ada pada masyarakat. Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati DFM PA(k), Pakar Paleoantropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Airlangga itu memberikan keterangan.
Alih-alih ketergantungan akan bahan pokok beras menjadi semacam nilai bahwa jika tidak makan beras sama halnya dengan ketidakmampuan ekonomi.
“Beras tampaknya menduduki tingkat paling tinggi dalam urutan bahan pokok karbohidrat. Sehingga jenis penggunaan dan pengelolaan pun mencerminkan kelas sosial,” tuturnya.
Asal-Usul Penyebaran Bahan Pokok di Indonesia
Sejarah domestikasi makanan pokok mencatat bahwa biji-bijian seperti gandum, sorgum, jewawut, dan jagung telah dikenal sejak zaman kuno, dengan kultivasi awal dilakukan oleh masyarakat Mesir dan Mesoamerika.
Sementara itu, padi, sebagai sumber karbohidrat utama, didomestikasi di mainland Asia, terutama di China, Thailand, dan Vietnam sekitar 10-11 ribu tahun yang lalu.
Pengaruh dari budaya Austronesia yang menyebar dari Asia Timur, termasuk melalui Taiwan dan Filipina. Dari sini, pengetahuan tentang kultivasi padi menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Masyarakat Austronesia juga membawa pengaruh tanaman karbohidrat lain seperti jagung dan biji-bijian lain. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah terbiasa dengan jenis sumber makanan karbohidrat non beras seperti sagu dan umbi-umbian.
Urgensi dan Kedudukan Beras
Guru Besar FISIP Unair
mengungkapkan, konsumsi beras dalam sejarah Indonesia mencerminkan upaya menuju swasembada beras yang sering menjadi fokus pembangunan jangka panjang.
Meskipun berhasil beberapa kali, pencapaian swasembada tidak berlangsung lama. Beras juga menjadi simbol hubungan sosial, menjadi simpati di masa duka dan kompensasi dalam konteks administrasi negara.
Ketergantungan pada beras menciptakan rasa tidak nyaman jika persediaan berkurang, tercermin dalam ungkapan “mencari sesuap nasi”. Oleh karena itu, kepanikan atas kenaikan harga beras menjadi hal yang dapat dimengerti.
Sekalipun kesadaran memanfaatkan bahan pokok alternatif selain beras sudah banyak didengungkan, namun kesadaran untuk memanfaatkan bahan pokok pengganti beras tampaknya kurang diminati.
“Maka perlu diapresiasi ketika sekelompok etnis menyerukan kembali konsep paleo diet, yaitu mengadaptasi pola makan manusia pada zaman dulu tanpa harus memerlukan beras. Bisa dengan pengelolaan bahan minim lemak, tanpa harus digoreng maupun proses memasak yang lama seperti biji-bijian dan umbi-umbian,” paparnya.(Yul)