SURABAYA – beritalima.com, Dokter Sudjarno, mantan direktur Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya menjalani sidang perdana kasus pencemaran nama baik dan fitnah di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (19/5/2020).
Sidang perdana yang digelar diruang sidang Candra ini diisi pembacaaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Tanjung Perak I Gede Willy,
Dijelaskan Jaksa Gede Willy, bahwa pria berusia 60 tahun ini didakwa melanggar pasal 310 ayat (2) KUHP dan pasal 311 ayat (1) KUHP.
Kasus ini bermula saat terdakwa memberikan sanksi secara tertulis kepada saksi dr Lidya Nuradianti (pelapor).
Dalam teguran tertulis itu, terdakwa dr Sudjarno menyebut jika saksi telah melakukan pelanggaran prosedur kerja dan etika profesi dalam penanganan terhadap salah seorang pasien yang melakukan operasi incisi hordeolum pada 29 November 2107 lalu. Dimana operasi tersebut dikeluhkan oleh pasien, karena dilakukan oleh seorang perawat.
“Padahal terdakwa dalam kapasitasnya sebagai direktur Rumah Sakit Mata Undaan tidak memiliki kewenangan untuk menilai pelaksanaan etik kedokteran dan menyatakan adanya suatu pelanggaran etika profesi kedokteran,” papar JPU Willy diruang sidang Candra.
Selain itu, masih terang Willy, tudingan pelanggaran etika profesi tersebut dilakukan secara sepihak tanpa adanya pembuktian dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Surabaya melalui Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
“Sesuai keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Nomor : 06/MKEK/IDI-SBY/VII/2018 Tanggal 20 Agustus 2018, menetapkan saksi dr Lidya Nuradianti tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik,” sambung Willy.
Atas dakwaan tersebut, tim penasehat hukum terdakwa tidak mengajukan eksepsi. Majelis hakim yang diketuai Cokorda Gede Arthana menunda persidangan selama dua pekan.
“Karena tidak mengajukan eksepsi, sidang lanjut ke pembuktian. Silahkan penuntut umum menghadirkan saksi saksi pada hari Selasa tanggal 2 Juni,” kata hakim Cokorda sambil menutup persidangan.
Terpisah, Soemarso selaku penasehat hukum terdakwa mengatakan, perbuatan terdakwa bukan merupakan pelanggaran hukum.
“Menurut saya ini tindakan administrasi antara pimpinan dan bawahan,” katanya usai persidangan.
Terkait surat teguran yang ditudingkan dalam dakwaan jaksa, lanjut Soemarso, telah dicabut jauh sebelum proses hukumnya berlanjut ke pengadilan.
“Surat itu masa berlakunya 6 bulan dan sudah dicabut sejak 2017,” sambungnya.
Sementara rekan Soemarso, Nur Yahya mengatakan bahwa kasus hukum yang membelit kliennya merupakan sebuah kriminalisasi, sebab surat teguran yang diberikan ke saksi pelapor telah sesuai dengan prosedur dan bukan kehendak terdakwa.
“Proses pidana ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap klien kami. Surat teguran itu diberikan berdasarkan keputusan komite medik,” ungkap Nur Yahya.
Terkait keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang menyatakan saksi pelapor tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik, kata Nur Yahya, tidak dilakukan secara fair.
“Pasien yang mengeluhkan atas tindakan operasi tidak pernah diperiksa. Ini yang tidak fair, saya akan buktikan itu di persidangan,” tandasnya.
Diketahui, perkara ini terjadi Desember 2017, ketika Dokter Sudjarno memberikan peringatan tertulis kepada Dokter Lidya, sebagai bawahannya di Rumah Sakit Mata Undaan. Dalam peringatan tersebut, disebutkan bila Dokter Lidya telah melanggar kode etik dan profesi kedokteran.
Dokter Lidya merasa tuduhan tersebut tidak berdasar karena dirinya tidak pernah melakukan pelanggaran etika dan profesi. Pelapor juga tidak pernah diadili oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Merasa benar, Dokter Lidya melaporkan dokter atasannya tersebut ke Polrestabes Surabaya. (Han)