Malang, beritaLima – Kemarin pagi, sekitar pukul 10.15 WIB, saya tiba di Stasiun Kota Baru Malang, naik kereta api Majapahit dari PS. Senen, Jakarta. Setelah turun dari kereta api, saya langsung ke Warung Bu Tawar, yang bertempat di dalam Stasiun Kota Baru Malang. Yang lokasinya berdekatan Area Music Stasiun.
Begitu masuk ke dalam Warung Bu Tawar, saya langsung melihat Pakdhe Tawar sedang mengisi Kolom Polling “Siapa Layak Pimpin Kota Malang” di Koran Harian Radar Malang. Yang membuat terharu adalah ketika Pakdhe Tawar menuliskan nama saya “Wahyu Eko Setiawan” dalam pilihannya.
“Saya sangat mantap mendukung Sampean Sam WES. Saya akan berlangganan Koran Radar Malang. Dan setiap hari akan mengisi kolom pilihan polling dengan nama Sampean. Bu Tawar dan keluarganya juga sudah woro-woro mendukung Sampean.” Ujar Pakdhe Tawar.
Setelah itu, Bu Tawar muncul dari dalam dapur warungnya. Dan tiba-tiba memeluk saya sambil nangis mbrebes mili. Katanya, “Sampean kok becik men sih. Aku kepikiran Sampean terus. Setiap hari aku mendoakan Sampean. Semoga Allah mengijabahi niat tulus Sampean.”
Sambil mengusap air matanya, Bu Tawar meminta anaknya untuk membuatkan secangkir kopi hitam. Tak terasa, mataku pun berkaca-kaca. Demi melihat aku mbrabak, Pakdhe Tawar berkata, “ojok nangis Sam. Ojok gembeng. Sing kuat dan semangat. Perjuangan masih panjang. Ojok lali sholate. Tirakat poso Senin Kamis dan Dino Weton, lek iso Sampean lakoni. Mugi Gusti Allah ngijabahi. Aku mek iso ndukung ngene iki karo ndungakno Sampean. Bolo-boloku dan dulur-dukurku kabeh wis tak kandani. Wis tak critani lakune Sampean.”
Aku pun semakin terdiam. Terharu. Tidak bisa bicara apa-apa. Sambil menahan air mataku. Benar-benar menahan segenap jiwa.
Untuk menutupi rasa haruku, aku nikmati kopi yang sudah disajikan oleh anaknya Bu Tawar. Setelah aku agak bisa menguasai diri agar tidak menangis, lalu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, sambil memeluk Bu Tawar dan Pakdhe Tawar.
Bu Tawar dan Pakdhe Tawar, adalah keluarga sederhana. Mereka menghidupi diri dari sebuah warung di dalam Stasiun Kota Malang. Tapi apa yang telah mereka lakukan padaku itu, dengan segenap ketulusan dan rasa kekeluargaan yang begitu kuat, telah semakin membuat semangatku berkobar-kobar terang. Aku melihat Bapak dan Ibuku sendiri, dalam diri Pakdhe Tawar dan Bu Tawar. Aku bersumpah, tidak akan mengecewakan mereka.
Dan aku pun masih tidak kuat menahan rasa haru yang begitu bergelombang di dalam diriku. Akhirnya, aku harus segera pamit dengan alasan bahwa istriku sudah datang menjemput di depan stasiun. Padahal, istriku masih dalam perjalanan menuju stasiun untuk menjemputku. Aku trgesa pamit, hanya karena tidak ingin Pakdhe Tawar dan Bu Tawar melihat air mataku yang hampir deras menjebol hendak keluar. Aku berpanitan. Sambil salim sungkem dan memeluk mereka. Lalu segera keluar dari warung Bu Tawar, bergegas keluar dari stasiun Kota Baru Malang.
Sesampainya di luar stasiun, aku baru sadar kalau kopi yang sudah aku minum tadi, masih belum sempat aku bayar. Aku kembali masuk ke stasiun, kembali ke Warung Bu Tawar. Sesampainya di depan warung, Pakdhe Tawar langsung berkata, “wis kopine gak usah dibayar. Jarno ae. Sampean ndang moleh. Wis dienteni anak bojone ndik omah.”
Aku kembali memeluk Pakdhe Tawar, sambil mengucapkan terima kasih. Lalu kembali keluar stasiun Kota Baru Malang.
Di depan stasiun, aku duduk menunggu istriku datang menjemputku. Sambil melihat puluhan angkot dan taksi yang berjajar di sepanjang jalan Kertanegara. Ah iya, hari itu ada demo beritanya.
“Ah, Kota Malang. Ke depan sangat penuh tantangan dan problematika yang harus diselesaikan. Tugas berat. Tanggun jawab besar. Semoga aku kuat. Semoga mampu.” Bisikku dalam bathin. Dan doa-doa pun mengalir dalam kesunyian bathin.
Matur sembah nuwun sanget Pakdhe Tawar dan Bu Tawar.
(Red)