Review Buku Denny JA : MEMBANGUN LEGACY, 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek
BERSANDAR PADA SCIENCE,MEMBANGUN LEGACY POLITIK Dr. Firman Noor, MA (Hons) Kapan, pertama kali dalam sejarah, survei digunakan untuk membuat kebijakan?
Di Inggris bahkan telah dimulai sejak awal abad ke-11. Itu era William The Conqueror (Sang Penakluk), seorang bangsawan dari Prancis yang akhirnya menjadi Raja Inggris.
Survei pertama dalam sejarah Kerajaan Inggris dilakukan untuk mendapatkan gambaran. Apa yang menjadi aspirasi penduduk terkait dengan keberadaan Raja William I, sebagai penguasa baru di tanah Inggris? Sementara, survei sekadar sebagai sebuah sensus, hal ini telah pula dilakukan oleh Kekaisaran Romawi. Itu sekitar dua ribu tahun lalu.
Kelahiran Isa Al-Masih diyakini oleh sebagian kalangan terjadi pada saat tengah dilakukannya survei di wilayah jajahan Romawi. Termasuk dalam wilayah itu: Bethlehem, sebuah kota di selatan Yerusalem. Eksistensi survei secara prinsipil bukanlah hal baru. Namun sebagai sebuah metodologi ilmiah, terkait dengan marketing politik sebagai bagian dari kontestasi elektoral, survei memang merupakan fenomena baru.
Di Indonesia, kehadiran marketing politik lebih baru lagi. Tradisi ini dibawa oleh lembaga survei di Era Reformasi, setelah tahun 1998. Buku berjudul “Membangun Legasi 10P untuk Marketing Politik: Teori dan Praktik” ini sarat dengan pesan. Ia terkait dengan rasionalitas dan manfaat cabang keilmuan, marketing politik, bagi kehidupan politik praktis di Indonesia.
Marketing politik dapat didefinsikan sebagai upaya mendapatkan gambaran atau pemetaan karakteristik pemilih. Termasuk dalam pemetaan itu adalah inspirasi dan harapan publik atas kandidat dan agenda politiknya. Buku ini dengan apik menjelaskan bahwa aspirasi inilah akan menjadi “bahan dasar” pengelolaan citra. Itu bagian dari pemasaran seorang kandidat berikut beragam strategi dalam berkontestasi guna meraih kemenangan.
Dengan kata lain, inilah upaya kandidat menguak aspirasi pemilih melalui pendekatan ilmiah, untuk menang dalam sebuah konstestasi politik melalui pemilu. Puncak kemenangan, ditegaskan dalam buku ini, bukan sekedar menang pemilu. Lebih dari itu, menang adalah lahirnya sebuah warisan (legacy). Yaitu warisan dari sosok pemimpin yang aspiratif, yang memiliki integritas, kredibilitas dan kapabilitas mumpuni. Pemimpin itu membuat kebijakan yang menghantarkan rakyat hidup lebih baik. Hidup lebih paripurna. * * *
Telah datang era baru. Dunia konstestasi politik sudah berubah. kehidupan politik tidak lagi sama. Dunia sudah berbeda, khususnya dalam konteks kontestasi politik elektoral.
Hadir lembaga survei. Mereka melengkapi atau bahkan menggantikan peran intuisi politik (political intuition).
Kehadiran era baru ini sejatinya menguntungkan kehidupan demokrasi. Terutama terkait dengan makna partisipasi publik.
Bisa dikatakan publik sudah berpartisipasi sejak mereka diriset oleh lembaga survei. Saat itu, aspirasi mereka sudah dijadikan pegangan dalam berkontestasi. Partisipasi masyarakat sejak dini, sejak mereka diriset, disurvei, ini yang menjadi inti pembeda dengan masa sebelumnya.
Memang tidak semua aspirasi itu benar-benar diperhatikan. Kandidat biasanya hanya mengambil pokok-pokok yang memiliki “nilai jual.” Melalui survei, kepentingan masyarakat terpetakan dengan lebih jelas. Dari pemetaan itu, aneka respons politik diberikan. Baik respons pada saat kontestasi berlangsung. Maupun respons saat menyusun berbagai agenda kebijakan pemerintah pasca pemilihan. * * *
Marketing politik secara mendasar bergantung pada persepsi atau aspirasi masyarakat. Perilaku publik selalu menjadi sumber sekaligus target sasaran.
Tapi apakah aspirasi rakyat itu? Apakah aspirasi itu murni suara batin masyarakat? Atau aspirasi itu ternyata hanya hasil rekonstruksi kepentingan-kepentingan politik dari luar mereka?
Jika kita bicara paradigma strukturalis maka akan terlihat. Persepsi dan aspirasi tidak tumbuh atau ditumbuhkan dari masyarakat sendiri. Namun aspirasi itu dikondisikan oleh pihak lain. Tentu saja pihak lain itu memiliki kepentingan terkait kekuasaan. Kenyataannya, tidak jarang justru ditemukan fenomena electoral blind spot. Istilah ini merujuk pada kondisi masyarakat yang tidak paham persis. Mereka bahkan buta. Mereka tak tahu apa yang sesungguhnya menjadi kepentingan politik dirinya.
Alih-alih mampu merekonstruksi kepentingannya, masyarakat pada umumnya tidak cukup waktu dan kesempatan. Mereka tak dapat mengevaluasi dengan tepat kandidat atau partai politik yang akan mengawal aspirasinya. Persepsi pemilih tentang baik-buruknya seorang kandidat, misalnya, bisa jadi baru “ditemukan” dan “diamini” pemilih justru setelah mereka melihat hasil survei. Itu pun mereka peroleh dari pemberitaan-pemberitaan yang tendensius.
Apalagi sudah menjadi sebuah kepentingan lembaga survei untuk juga membangun opini dalam rangka memperoleh hasil dari bandwagon effect dalam konteks elektoral. Dengan kata lain, dalam konteks elektoral, bisa tercipta “akumulasi persepsi” yang didesain. Itu adalah pencitraan yang didorong dan dikuatkan justru oleh instrumen marketing.
Ini dilakukan dalam rangka mempengaruhi persepsi masyarakat (dan bukan semata membangun agenda politik seorang kandidat). Dalam konteks inilah sebenarnya lembaga survei sebagai pelaku marketing politik berpeluang menjadi tidak bebas nilai.
Bak pedang bermata dua, dalam segenap aktifitasnya tercampur antara kepentingan saintifik dan kepentingan politik. Perpaduan antara keilmiahan dan kepentingan politik inilah yang kemudian memunculkan fenomena lain dari keberadaan lembaga-lembaga survei.
Kajian dengan kacamata post-democracy mengisyaratkan adanya korelasi antara eksistensi “penasihat politik” dengan kondisi partai yang semakin menjadi elitis. Pimpinan partai semakin bergantung pada penasihat politiknya, termasuk lembaga survei. Di sisi lain, kader partai menjadi gamang untuk turun ke masyarakat. Mengingat bahwa tujuan yang paling utama kegiatan partai adalah lebih diarahkan pada menciptakan kemenangan (kadang dengan prinsip by all means necessarily).
Partai semakin tidak mengokohkan basis ideologis. Yang penting menang. Bisa jadi inilah yang turut mempengaruhi berakhirnya era ideologi (the end of ideology). Buku ini secara jelas menunjukkan meredupnya politik atas dasar ideologi. Itu terlihat dari sikap pragmatis masyarakat dan semakin tergerusnya Party ID.
-000-
Situasi ini sejalan dengan meningkatnya sikap permisif masyarakat dalam kehidupan politik kita. Ini memunculkan demokrasi tanpa makna substansial. Maka mengembalikan hakikat partai sebagai lembaga pendidikan dan sosialisasi politik, itu perlu adanya. Partai harus juga turut aktif mewarnai aspirasi rakyat itu dengan nilai-nilai dan idealisme. Selain itu, partai dan kandidatnya juga harus terikat secara moral pada kepentingan membangun legasi. Dalam hal menghasilkan legai, ini harus juga tanggung jawab moral lembaga survei. Fungsi lembaga survei tidak semata sekadar “menjual seorang kandidat.” Lembaga survei harus turut mengawal agar legasi yang diharapkan benar-benar terwujud.
Hingga kini tidak jarang kontestasi elektoral menghasilkan sosok-sosok medioker yang akhirnya sama sekali tidak ambil pusing dengan legasi. Hal menarik lainnya adalah adanya fenomena kegagalan marketing politik sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah. Contohnya: pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta dan Jawa Barat.
Ini menunjukan meskipun design kampanyenya dirumuskan secara saintifik , namun Ia bisa kedodoran juga saat dipraktikkan. Terdapat sisi-sisi lemah dalam marketing politik yang tidak seutuhnya dapat memotret atau mengungkap dinamika atau pergeseran aspirasi menjelang hari-H pemilihan.
Yang kerap kemudian memunculkan spekulasi akan adanya kepentingan-kepentingan di luar semangat sains. Ini menyebabkan munculnya kesimpulan yang misleading. Berbagai problem di atas bagian dari problematika marketing politik.
Problem di atas tampaknya belum terbahas secara terbuka dan mendalam di buku ini. * * *
Setidaknya ada tiga kontribusi utama dari buku Denny JA ini.
Pertama, buku ini berpotensi besar menginspirasi bagi siapa saja yang berminat terjun dalam politik praktis dalam konteks kekinian. Buku ini memberikan peringatan, gambaran atau pemetaan sekaligus masukan atau saran atas apa yang tengah terjadi dalam kehidupan politik saat ini.
Di antara peringatan yang utama adalah bahwa saat ini merupakan era “politik berorientasi pasar”. Bagi mereka, terutama partai politik, yang masih menitikberatkan pada ideologi dan menggantungkan arah, sikap dan strategi politiknya pada ideologi dan asumsi-asumsi elite atau ideologi semata, niscaya akan menghadapi tantangan yang berat.
Buku ini menganjurkan sikap untuk lebih terbuka dan responsif atas aspirasi pasar (demand driven). Penting untuk terjun langsung ke masyarakat. Ini berguna mendapat gambaran yang lebih persis lagi tentang kehendak pasar. Kedua, buku ini juga menjadi penjelas atas cara kerja marketing politik dengan segenap tahapan-tahapan didalamnya.
Buku ini kupasan yang sangat mendalam dan kaya ilustrasi. Terasa Ia ditulis oleh seorang dengan jam terbang tinggi di area marketing politik.
Segenap sisi marketing politik dijelaskan. Diperkaya dengan kasus-kasus yang relevan baik pada level nasional maupun di negara lain. Ini memudahkan pembaca memahami esensi dari setiap tahapan itu. Pendekatan induksi yang dilakukan oleh Denny JA berujung pada sebuah teori tentang marketing politik dengan formula 10P.
Teori ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari teori-teori marketing yang ada. Denny menyatukan aneka teori itu dengan kondisi empiris kekinian.
Di dalamnya terdapat rumusan mengenai langkah-langkah marketing politik dalam kontestasi elektoral, mulai dari masa prapemilu, hingga pascapemilu. Kesepuluh langkah atau tahapan itu merupakan pakem dari tesis utama dari buku ini yang harus diperhatikan. Ini penting agar kontestasi politik dapat berujung pada kemenangan dan terciptanya sebuah legasi politik.
Dari penjelasan tersebut dapat terlihat problematika apa yang muncul dalam kehidupan politik praktis di Era Industri 4.0 saat ini.
Ketiga, buku ini memberikan insight baru mengenai hakikat atau maksud marketing politik. Termasuk di dalamnya keberadaan lembaga-lembaga survei, konsultan politik, tujuan-tujuan asasi marketing politik ataupun normatifnya.
Buku ini dapat memperkaya persepsi masyarakat, baik yang meyakini keniscayaan marketing politik dan lembaga survei, maupun yang kritis bahkan curiga dengan keduanya. Bagi mereka yang telah lama meyakini dan mempraktikkan marketing politik, buku ini merupakan pelengkap keyakinan.
Sementara untuk mereka yang curiga, buku ini dapat memberikan sebuah perspektif yang menunjukkan sisi rasional-objektif dan idealisme dari marketing politik.
Akhirulkalam, selamat dan apresiasi yang tinggi kepada Denny JA yang telah berkenan berbagi opini dan ilmunya.
Dalam konteks konsep dan kepentingan praktis, inilah buku dengan segudang ilmu.***