Berubahnya Persepsi Atas Agama Di Era Google

  • Whatsapp

– Ringkasan Buku Denny JA: 11 Fakta Era Google: Bergesernya Agama dari Kebenaran Mutlak Menjadi Kekayaan Kultural Milik Bersama (2021)

Oleh Anick HT

Era Google telah dan sedang mengubah sejarah. Era ini melahirkan disrupsi di segala bidang kehidupan manusia: termasuk dalam hal agama dan penghayatan manusia terhadap agama.

 Ini Era internet of everythings. Revolusi digital mengalami kemajuan yang tak terbayangkan sebelumnya. Kemajuan ilmu pengetahuan sudah pada wilayah terdalam perasaan manusia.

Bukan hanya perkara kasat mata yang bisa diukur dan diteliti saat ini. Kebahagiaan pun bisa diukur dengan ilmu pengetahuan.

Dan fakta-fakta temuan ilmu pengetahuan tersebut ternyata mencengangkan: agama tak lagi dianggap penting oleh mayoritas penduduk yang negaranya dianggap paling bahagia.

Justru di negara-negara yang penduduknya menganggap agama faktor penting dalam hidupnya, tingkat ukuran kebahagiaannya biasa-biasa saja.

Fakta-fakta inilah yang ditelaah dan dianalisis dengan tajam oleh Denny JA dalam buku ini.

Dengan piawai Denny JA membedah fakta-fakta yang menggeser posisi dan peran agama dalam kehidupan manusia.

Meski fakta-fakta mencengangkan ini tak juga menggoyang keyakinan manusia terhadap ajaran agamanya, namun ia menyentak kita. Betapa alasan dasar kehadiran agama telah pula bisa dijawab oleh elemen non-agama.

-000-

Buku ini membawa lima gagasan utama yang penting.
 
 
SATU: Pada Top 10 negara yang paling bahagia, paling bersih pemerintahannya, paling sejahtera, mayoritas penduduknya tak lagi menganggap Agama penting dalam hidupnya.

Ada tiga data riset dari lembaga kredibel yang selalu dirujuk untuk membuat kita semua belajar menjadi manusia yang lebih baik.

Riset tentang kebahagiaan manusia (World Happiness Index), Riset tentang kesejahteraan manusia (Human Development Index). Dan riset tentang persepsi korupsi (Corruption Perception Index).

Tiga riset ini kemudian dihubungkan Denny JA dengan riset mengenai seberapa pentingnya agama bagi masyarakat (The Importance of Religions, Based on Countries: World Gallup Poll).

Hasil riset mencengangkan bagi sebagian orang.

Negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi (World Happines Index), yang negaranya paling bersih (Corruption Perception Index), yang kualitas pembangunan manusianya paling tinggi (Human Development Index), mayoritas warganya tidak menganggap agama itu penting bagi hidupnya.

Begitu pun sebaliknya: negara yang mayoritas warganya menganggap agama itu penting, tingkat kebahagiaannya penduduknya, tingkat kebersihan pemerintahannya dari korupsi, dan kualitas pembangunan manusia di sana, hanya di papan tengah hingga di bawah rata-rata.
 
DUA: Arkeolog Memberi Fakta Berbeda Soal Kisah Para Nabi Yang Sebenarnya

Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian rupa, sehingga fakta sejarah peradaban manusia bisa diteliti dan dianalisis, bahkan sejarah ribuan tahun yang lalu.

Penelitian arkeologi dan antropologi sampai pada kesimpulan faktual bahwa beberapa hal yang tertulis dalam kitab suci agama-agama bukanlah fakta sejarah.

Nabi Adam, Nabi Nuh, dan Nabi Musa bukanlah tokoh sejarah. Tak ada bukti arkeologis yang mendukung keberadaan mereka, dengan segala cerita sejarahnya.

Fakta lain yang merupakan salah satu temuan riset Dan Gibson selama tiga puluhan tahun, misalnya. Temuan itu, ditambah bukti arkeologis dan dokumen sejarah lainnya, melahirkan sebuah hipotesis, bahkan klaim.

Bahwa awal kelahiran Islam itu bukan di Mekkah tapi di Petra. Seratus tahun pertama berdirinya Islam, masjid-masjid di Jordania, Irak, Yaman, Suriah, Mesir, hingga India, mempunyai arah kiblat yang sama.

Ketika mesjid itu dipetakan, ia mengarah ke satu kota. Dan kota itu ternyata bukan Mekkah, bukan Jerusalem. Kota itu adalah Petra di Jordania.

Tapi apakah fakta-fakta seperti itu mengubah keyakinan pemeluk Islam? Tidak.

Agama adalah soal keyakinan. Agama-agama masih bertahan ribuan tahun hingga saat ini, dan dipeluk oleh miliaran manusia.

Agama adalah lompatan iman yang menyeluruh. Bagi penganut agama yang yakin, bahkan fakta sejarah yang salah tidaklah mengganggu.

Umat kristen meyakini fakta Yesus (Nabi Isa) wafat disalib. Umat Islam meyakini Fakta Nabi Isa tak mati disalib.

Umat Kristen meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ishak. Umat Islam meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ismail.

Ini dua fakta yang berbeda. Pasti salah satu fakta itu salah. Ternyata kesalahan fakta sejarah tetap bisa diyakini oleh lebih dari satu milyar manusia, dalam kurun waktu lebih dari seribu tahun.
 
TIGA: Hari besar agama mulai juga dirayakan oleh penganut agama lain

Apakah hari besar agama harus dirayakan hanya oleh penganut agama tersebut?

Pada tahun 2013, Pew Research Center mencatat betapa banyak sekali penganut agama lain, juga yang tak beragama, di Amerika Serikat tak hanya hadir. Mereka juga menjadi tuan rumah perayaan Natal.

Di samping dirayakan oleh umat kristiani, kini Natal juga dirayakan oleh 81 persen umat non-Kristen di Amerika Serikat.

Yang dimaksud non-Kristen di sini, tak hanya pemeluk agama Budha, Hindu, Bahai, juga Islam. Tapi juga mencakup mereka yang tak lagi percaya pada agama.

Bahkan mereka yang tak lagi percaya pada konsep Tuhan yang dibawa oleh banyak agama besar. Dengan suka cita mereka ikut menyanyikan lagu Natal. Mereka menghias ruang tamu dengan pucuk pohon pinus. Kadang saling bertukar hadiah.

Hussein Allouch, tokoh muslim di Denmark, juga mengundang para sahabat dari berbagai keyakinan datang ke rumahnya, merayakan Natal.

Apa yang bisa dibaca dari data itu?

Di sebagian segmen masyarakat post-modern kini sudah melampaui tahap kritis, skeptis, dan anti agama. Mereka mengambil sisi positif hari besar agama sebagai pengalaman kultural belaka.

Sebagian tetap tak percaya agama Kristen. Bahkan tak percaya pada agama mana pun. Tapi agama tak lagi mereka dekati dengan pendekatan benar atau salah.

Tahap itu sudah mereka lampaui. Mereka mendekati agama sebagai kekayaan budaya saja. Dan kekayaan budaya itu milik semua manusia.

Di sisi lain, bangkit pula persepsi akan pentingnya komunitas, kebersamaan, persahabatan, dan perayaan.

Banyak temuan dari studi mengenai happiness menekankan itu. Hubungan personal antar-individu, yang hangat, yang saling menghargai, itulah sila pertama kebahagiaan.

Bukan harta. Bukan kekuasaan. Bukan jabatan. Yang membuat bahagia adalah hubungan interpersonal.
 
EMPAT: Setelah pendiri agama tiada, tiada pula otoritas tunggal agama. Percaya pada agama menjadi percaya pada tafsir siapa.

Jumat, 12 Januari 2018 adalah hari yang bersejarah di Arab Saudi. Dan tentu saja bagi Areej Al Ghamdi, salah satu perempuan di negeri itu yang menggemari sepak bola.

Hari itu, di Stadion King Abdullah, dua tim sepak bola bertanding: Al Ahli versus Al Batin.

Areej adalah satu dari 300 perempuan Arab Saudi yang merasakan pengalaman pertama menonton sepak bola langsung di stadion. Sebelumnya, ini adalah larangan keras.

Mengapa aturan yang diyakini sebagai aturan agama itu bisa berubah? Apakah itu bagian dari ajaran, atau hanya interpretasi terhadap ajaran? Atau ini hanya kultur lokal saja? Atau ini hanya aturan pemerintah yang tak ada hubungannya dengan agama?

Atau ini hanya cabang kecil dari aturan agama yang boleh berubah? Lalu apa inti dari agama yang tak boleh berubah?

Bagaimana pula memisahkan agama dengan kultur lokal setempat ketika sudah bercampur dalam praktik budaya yang panjang? Itu agamakah? Itu kulturkah?

Itu gabungan keduanyakah? Itu bolehkah dari kaca mata doktrin agama?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu muncul dalam kasus seperti ini. Tak bisa terhindari bahwa masalah agama adalah masalah interpretasi. Ini semata masalah tafsir.

Dua ahli yang sama-sama mengerti kitab suci, sama-sama meyakini satu agama, sama-sama berniat tulus menjalankan agama karena tanggung jawab individu pada Tuhan, bisa berakhir dengan interpretasi yang berseberangan.

Karena itu, diperlukan cara pandang baru dan kearifan dalam memahami dan memosisikan agama dan segala ajaran turunannya.

Apakah yang boleh di satu tempat dan satu waktu, bisa saja dilarang di tempat dan waktu lainnya.

Semua tergantung argumen dan konteks yang melingkupinya. Kadang kala itu tergantung cara pandang penguasa terhadap ajaran agamanya.
 
LIMA: Inti sari ajaran 4300 agama

Apa yang bisa disebut sebagai intisari dari agama-agama yang hingga kini tercatat berjumlah 4.300?

Sejarah homo sapiens juga adalah sejarah pencarian makna hidup. Begitu banyak agama dan kepercayaan yang dilahirkan. Sebagian juga sudah terkubur karena tak lagi sesuai dengan kesadaran zaman.

Lalu apa kesamaan prinsip hidup di antara banyak agama dan aliran itu? Apa harta karun yang menjadi irisan semua agama?

Setidaknya ada tiga nilai terpenting yang muncul dari banyak agama besar dan Stoic Philosophy.

Nilai spritualitas itu tidak di mana-mana. Ia berada di dalam diri kita sendiri.

Sebut saja dengan Spiritual Blue Diamonds. Tiga berlian biru. Berlian biru adalah batu termahal yang ada di bumi.

Pertama adalah prinsip The Golden Rule. Prinsip kebajikan. Prinsip utama moralitas. Lakukan pada orang lain serbagaimana yang kau harap orang lain lakukan padamu. Atau, jangan lakukan pada orang lain apapun yang kau tak ingin orang lain lakukan padamu.

Prinsip ini tertulis di semua kitab suci agama besar. Bahkan prinsip kebajikan juga menjadi ajaran utama Stoic Philisophy, yang sudah ada tiga ratus tahun sebelum kelahiran agama Kristen, dan 900 tahun sebelum kelahiran agama Islam.

Kedua adalah prinsip Power of giving. Berikan apa yang kau bisa untuk menolong orang lain, untuk menumbuhkan orang lain, untuk membahagiakan orang lain. Lakukan prinsip ini terutama kepada mereka yang tak beruntung.
Ini harta karun lain yang ada di semua agama besar.

Dirimu hidup dari apa yang kau ambil. Tapi dirimu bahagia dari apa yang kau beri. Derma atau pemberian tak selalu berarti materi.

Tapi yang utama adalah dedikasi untuk ikut menumbuhkan orang lain. Prinsip ini juga ada di begitu banyak agama dan aliran spiritualitas.

Ketiga adalah prinsip the Oneness. Prinsip segala hal itu satu. Prinsip saling keterkaitan satu sama lain.
Sesama manusia itu satu. Di balik perbedaan identitas sosial, lebih mendasar persamaannya sesama homo sapiens.

Melukai satu manusia itu sama dengan melukai bagian tubuh kita sendiri.

Antara manusia dan lingkungan sekitar juga satu. Sungai, pohon, udara, mereka semua bagian dari keluarga manusia. Rawatlah lingkungan sebagimana kita merawat keluarga sendiri.

Antara manusia dan alam semesta juga satu. Bumi hanya setitik debu saja. Tapi ia bagian tak terpisahkan dari keluasan alam semesta.

-000-
 
Buku karya Denny JA ini dengan apik memotret perubahan itu. Buku ini tidak sedang berteori, apalagi berimajinasi.

Fakta-fakta perubahan peradaban dipotret menggunakan banyak hasil riset berbasis ilmu pengetahuan.

Perubahaan cara beragama adalah fenomena faktual.

Semakin banyak manusia yang memosisikan agama lebih sebagai kekayaan kultural milik semua manusia. Mereka beragama atau mereka tidak beragama secara rileks saja.

Mereka lebih rileks bahkan untuk ikut menikmati perayaan hari besar berbagai agama.

Bersama mereka merayakan Tahun Baru. Bersama merayakan Thanks Giving Day. Bersama merayakan Gong Xi Fat Chai. Bersama pula merayakan Natal. Pada waktunya, bersama pula merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Bulan Ramadan.

Bagi komunitas di level kesadaran ini, semua agama adalah kekayaan peradaban milik semua. Nikmatilah. Bersahabatlah. Bahkan: Rayakanlah.

Buku ini menganalisis dengan cermat perubahan peradaban itu, lalu merekomendasikan seperangkat kearifan penting dalam melihat masa depan agama, masa depan manusia.

Sebelas fakta era Google yang perlahan akan mengubah pemahaman agama dari kebenaran mutlak menjadi kekayaan kultural milik bersama, bisa disebut Denny JA’s Law of The Future of Religions.*
 
Januari 2021

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait