KUPANG, beritalima.com – Perubahan iklim menjadi suatu isu global yang semakin mengkhawatirkan di berbagai penjuru dunia. Petani skala kecil menengah merupakan salah satu pihak yang merasakan imbas terbesar dari perubahan iklim tersebut.
Sayangnya di kalangan petani, informasi mengenai perubahan iklim, adaptasi dan aktivitas pencegahan perubahan iklim lebih lanjut masih sangat minim. Oleh karena itu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bekerja sama dengan PT Sustainability Resilience (su-re.co) dan Stockholm Environmental Institute Asia (SEI Asia) menginisiasikan Climate Field School atau Sekolah Lapangan Iklim Kopi dan Kakao di Indonesia, yang pada tahun 2019 ini dimulai pada 26 Juni 2019 di Stasiun Klimatologi Kelas II Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Demikian Press Release dari Junior Research Assistant su-re.co, Mayun Bary yang diterima wartawan media ini di Kupang, Rabu (26/6).
Ia mengatakan, SLI Kopi Kakao tahun ini dijalankan dengan metode Training of Trainer (TOT), dimana target pelatihan ditujukan kepada sumber informasi pertanian di masyarakat petani kopi. SLI Kopi Kakao 2019 bekerja sama dengan Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat (LAPMAS) Ngada.
LAPMAS Ngada awalnya dibentuk untuk memberikan advokasi kepada masyarakat terkait status lahan di kawasan konservasi. Namun sejak tahun 2008 dukungan LAPMAS difokuskan kepada pengembangan rantai produksi petani melalui sekolah lapangan dan peningkatan mutu paska panen. Kopi produksi petani binaan LAPMAS dipasarkan melalui Koperasi Sekunder Arabika Flores Bajawa.
“ Cuaca dan iklim yang tidak menentu itu pastinya sangat berpengaruh terhadap mutu kopi dan kemudian dapat menyebabkan anomali harga. Makanya itu juga berpengaruh terhadap pendapatan petani. Misalnya jika akan terjadi hujan lebat, karena pengetahuan pengertian rendah mereka tidak bisa mengantisipansi untuk masa panen, dan penjemuran. Oleh karena itu bisa saja gagal panen atau kualitasnya rendah.” Jelas Albert, Direktur Koperasi Sekunder Arabika Flores Bajawa.
Sekolah Lapangan Iklim (SLI) sendiri merupakan program BMKG yang dimulai sejak tahun 2014 dan diaplikasikan oleh seluruh stasiun iklim BMKG di seluruh Indonesia pada tanaman pokok pangan seperti padi dan jagung.
Su-re.co beserta SEI Asia melihat peluang yang sangat besar pada tanaman perkebunan komoditas ekspor Indonesia, antara lain kopi dan kakao, sehingga, bekerja sama dengan BMKG. Kemudian sejak tahun 2018 di Jembrana, Bali, dilakukan proyek pilot SLI Kopi Kakao, yang diteruskan di Nusa Tenggara Timur.
Keberlangsungan program sebagai kunci dari keberhasilan proyek
Tidak hanya pelatihan, su-re.co, sebagai salah satu penyelenggara SLI Kopi menekankan pentingnya usaha pengembangan petani agar dihubungkan dengan pasar yang akan membeli produk hasil pertanian.
“Dari pengalaman sebelumnya, sebagai peneliti pengembangan masyarakat dan perubahan iklim, saya berkali-kali melihat pelatihan masyarakat yang berakhir begitu saja setelah acara selesai. Pelatihan petani tidak bisa berjalan sendiri, harus ada yang membeli produk yang dihasilkan petani tersebut. Su-re.co memberikan bantuan pemasaran kepada petani yang berkontribusi untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui green business kami su-re.coffee yang dipasarkan di Bali, Eropa, Jepang dan Amerika.” Jelas Takeshi Takama, CEO dari su-re.co
Proyek SLI Kopi Kakao akan terus berjalan selama tahun 2019 di Bali dan Nusa Tenggara Timur selama periode Juni hingga September 2019. Penyelenggara berharap program ini akan diadopsi sebagai program nasional dan diimplementasikan ke berbagai komoditas lainnya. Maka dari itu, dibutuhkan sinergi dan kolaborasi dari pihak peneliti, pemerintah dan industry untuk mendukung perkembangan Indonesia ke arah Climate Smart Agriculture. (L. Ng. Mbuhang).