Bolehkah Mantan Narapidana Korupsi Menjadi Caleg ?

  • Whatsapp

Oleh: Asban Sibagariang

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Jayabaya dan tim ahli fraksi PPP DPR RI

Pesta demokrasi untuk pemilu serentakTahun 2019 sudah didepan mata. Dan sekarang sudah masuk pada tahap pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab./Kota. Tahapan penjaringan bakal calon legislatif sudah dibuka secara internal oleh partai politik guna menempatkan caleg-calegnya mengisi alokasi kursi setiap dapil yang telah ditetapkan.

Dalam proses penjaringan bakal calon legislatif tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membuat rancangan Peraturan baru untuk teknis larangan bagi mantan narapida tipikor menjadi caleg yang disampaikan ke Komisi 2 DPRI dan Pemerintah untuk dibahas secara bersama guna mendapatkan persetujuan dari lembaga tersebut.r

Argementasi KPU dalam mengeluarkan peraturan tersebut, bahwa berdasarkan Pasal 75 ayat  UU Nomor: 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU diberikan kewenangan sacar mandiri oleh Undang-undang untuk membentuk PKPU yang menurutnya sejalan dan dianggap perlu sesuai dengan kebutuhan dilapangan sebagai petunjuk pelaksana teknis dari turunan UU yang berlaku pada pemilu ini. KPU juga menjadikan UU Nomor 28 Tahun 1999 sebagai acuan untuk menyusun aturan Pelarangan mantan narapida korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif pada pemilu  2019 ini, dimana UU ini mengatur tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN). Disamping itu, merupakan upaya KPU untuk menjadikan pemilu lebih baik.

Keinginan KPU untuk membuat peraturan itu tentu bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 240 Ayat (1) huruf g yang berbunyi:

“tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.

Berdasarkan dari ketentuan dalam pasal 240 Ayat (1) huruf g tersebut, bahwa tidak terdapat ada larangan mantan narapidan pada kasus apapun dilarang menjadi calon legislatif. Apalagi mantan narapidana tersebut telah selesai menjalani masa hukumannya atau menebus seluruh kesalahannya, maka orang tersebut semestinya  hak sipilnya sama dengan orang yang tidak pernah menjalani hukuman (narapidana) yaitu memiliki hak untuk dipilih. Bukankah prinsip keadilan dan atau kesetaraan (a qual) dijamin oleh undang-undang?.

Menurut pendapat saya yang pertama, bahwa mantan narapidana korupsi tetap punya hak yang sama untuk dipilih dalam kontestasi demokrasi, selama hak politiknya tak dicabut oleh pengadilan. Dan keputusan mengenai hak mantan narapidana korupsi tersebut harus diputuskan melalui pengadilan, karena narapidana kasus korupsi telah dijatuhi hukuman, dan dicabut pula hak politiknya maka disitulah letak keadilan itu ditegakkan.

Kemudian bahwa tidak semua yang pernah dan sedang menjalani hukuman kasus tindak pidana korupsi hak-hak politinya tidak dicabut, maka oleh karena itu mereka tetap berhak untuk dipilih.

Kedua Bahwa pelarangan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), itu sama saja mencabut hak asasinya. KPU mestinya dalam membuat suatu peraturan harus memperhatikan apa yang menjadi kesepakatan dalam Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi dengan penetapan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005.

KPU telah membuat draf aturan pelarangan tersebut untuk dibahas bersama DPR dan Pemerintah,  dalam draf itu dinyatakan bahwa mantan narapidana korupsi tidak diperbolehkan untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon legislatif, selain itu, dalam drafnya juga terdapat bahwa seseorang yang jadi tersangka dan masih dalam menjalani proses hukum maka orang tersebut masih bisa dicalonkan menjadi caleg. Kemudian KPU menyiapkan dua opsi yang tentu sesuai dengan rancangan PKPU tentang Pencalonan, yakni opsi pertama, bahwa berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) huruf j rancangan PKPU menyebutkan bakal calon anggota legislatif (caleg) bukan mantan narapidana korupsi.

Dan opsi yang kedua bahwa KPU memberikan persyaratan kepada partai politik peserta pemilu untuk merekrut calon legislatif harus berasal dari orang yang bersih, artinya terbebas dari orang-orang yang terpidana kasus korupsi. Kalau berdasarkan kedua opsi yang ditawarkan oleh KPU tersebut, saya lebih setuju bahwa aturan pelarangan itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang diatasnya, dan lebih memilih opsi menyerahkan kepada partai politk untuk menyeleksi dan mengatur persyaratan melalui mekanisme secara internal dalam perekrutan bakal calon legislatif apakah mantan narapidana Korupsi  dibolehkan atau dilarang  menjadi calon legislatif/wakil rakyat.

Jika KPU tetap memberlakukan Peraturan itu seharusnya dilakukan dulu revisi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dimana hak untuk merevisi atau membuat suatu UU adalah kewenangan DPR bersama Pemerintah, dan berpeluang dikabulkan jika diuji materi Ke MK.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *