SURABAYA – beritalima.com, Istiawan Witjaksono alias Tatang Istiawan, Bos Media di Surabaya diadili di Pengadilan Tipikor Surabaya, ia jadi terdakwa korupsi pengadaan mesin percetakan yang sumber dari dananya dari penyertaan modal Perusahan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Kabupaten Trenggalek tahun 2007. Jum’at (1/11/2019).
Surat dakwaan terdakwa Tatang Istiawan ini dibacakan Kasi Pidsus Kejari Trenggalek, Dody Novalita bawa kasus ini bermula saat terdakwa Tatang Istiawan menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Bangkit Grafika Sejahtera (BGS).
Saat menjabat, Ia mengajukan kerjasama pengadaan mesin percetakan Heindelberg Speed Master 102 V tahun 1994 seharga Rp 7,3 miliar yang bersumber dari dana penyertaan modal PD Aneka Usaha sebesar Rp 10,8 miliar.
Namun, mesin percetakan yang dibeli oleh terdakwa Tatang dari UD Kencana Sari bukanlah mesin percetakan baru, melainkan rekondisi atau dalam keadaan rusak.
“Mesin yang dibeli dalam kondisi rusak parah, sering trouble, hasil cetakan tidak presesi, banyak sensor yang mati dan tidak berfungsi, kondisi spare part sudah tambal sulam,” terang JPU Dody Novalita saat membacakan surat dakwaannya.
Tak hanya itu, terdakwa Tatang Istiawan juga disebut tidak menyetorkan modal awal ke perusahaan sebesar Rp 1,7 miliar sebagaimana tertuang dalam perjanjian antara PT BGS dengan PD Aneka Usaha.
“Faktanya, terdakwa Tatang Istiawan tidak pernah menyetorkan modalnya dan ini bertentangan dengan Pasal 33 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas,” sambung JPU Dody Novalita.
Dalam kasus korupsi ini, terdakwa Tatang Istiawan didakwa bersama sama dengan Mantan Bupati Trenggalek, Soeharto (Dalam berkas perkara terpisah) telah memperkaya diri sendiri atau orang lain korporasi yang merugikan keuangan negara.
“Dalam dakwaan primer, Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 KUHP, jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,” tandas JPU Dody Novalita.
“Dalam dakwaan subsider, Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 KUHP, jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,”sambung JPU Dody Novalita.
Atas dakwaan JPU ini, terdakwa Tatang Istiawan mengaku akan mengajukan eksepsi yang akan dibacakan, Kamis (8/11/2019) mendatang.
Terpisah, Adil Pranajaya selaku penasehat hukum terdakwa Tatang Istiawan mengungkapkan, Pengajuan eksepsi tersebut dilakukan karena menganggap surat dakwaan JPU tidak lengkap terkait peristiwa tindak pidana yang dilakukan kliennya.
“Misalnya seperti ini, berdasarkan telpon gelap kepada Pak Soeharto kemudian menambahkan biaya untuk percetakan. Yang jadi dasar pertanyaan satu kantor seperti kabupaten menganggarkan satu peristiwa berupa percetakan dasarnya telepon gelap. Berarti jaksa tidak bisa membuktikan secara jelas pertistiwanya. Jaksa harus buktikan siapa yang menelpon. Ini masuk materiil ya,”kata Adil Pranajaya usai persidangan.
Sedangkan terkait formil dakwaan, Adil menyebut bahwa peristiwa korupsi ini masuk ke ranah perdata. Karena dana tersebut sudah masuk ke Perusahaan sehingga menjadi kekayaan Perusahaan.
“Kalau ada kerugian atas PT tersebut harusnya bukan kerugian negara tapi menjadi ranah hukum perdata,” papar Adil.
Selain itu, Adil membantah Tatang tidak menyetorkan modal awal saat mendirikan PT BGS.
“Jadi gini, sebelum PT itu lahir ada perjanjian kerjasama dan situ dijelaskan ada Good Will yang diserahkan. Good Will dalam hukum Perseoran termasuk dalam bagian penyertaan modal. Ini oleh jaksa disebut bukan setor modal, ini keliru lagi,” pungkasnya. (Han)