SURABAYA – beritalima.com, Sidang Kasus penipuan jabatan dengan terdakwa notaris Lutfi Afandi, kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya.
Kali ini jaksa penuntut Juariyah dan Lujeng meleset perkiraanya, saat menghadirkan Kasubsi Pendaftaran Tanah BPN Sidoarjo, sebagai saksi.
Saksi yang diharapkan jaksa penuntut mampu menguak fakta baru soal hilangnya buku tanah Sertifikat Hak Mikik (SHM) No 64, desa Gebang, Sidoarjo tersebut, ternyata malah berbalik arah memberikan keterangan yang meringankan posisi terdakwa.
Dihadapan ketua majelis hakim Pesta Sirait, saksi menyatakan bahwa dirinya pernah diperiksa oleh penyidik Polda Jatim. Penyidikannya menyangkut hilangnya SHM No 64 milik H Choion, “Pernah diperiksa satu kali di Polda Jatim, menyangkut hilangnya SHM No 64. Kepada penyidik saya terangkan tidak ada yang hilang, buku tanah untuk SHM itu ada di BPN Sidoarjo, namun hingga sekarang belum ditemukan. Buku tanah itu seharusnya disimpan diarsip BPN dan seharusnya tidak boleh keluar. ” kata saksi kepada majelis hakim. Kamis (15/3/2018).
Ditanya majelis hakim apakah saksi selama menjabat sebagai kasubsi pendaftaran tanah ada PPAT yang pernah datang ke BPN Sidoarjo untuk pemecahan SHM No 64.? Saksi pun menjawab pernah, “Pernah ada yang datang, namun tidak tau apakah yang datang itu terdakwa atau PPAT lainnya. Prinsipnya, BPN melayani semua yang datang untuk pendaftaran tanah, asal ada surat kuasanya,” jawab saksi.
Masih soal seputar buku tanah yang hilang, saksi mengatakan, bahwa bila sampai dengan batas waktu tertentu, ternyata tidak ditemukan, maka BPN akan menerbitkan lagi buku tanah yang baru. Pasalnya, atas SHM No 64 tersebut sebelumnya sudah ada pengajuan pengukuran, “Sertifikat adalah salinan buku tanah, pengukuran itu bentuk fisiknya, sedangkan bentuk yuridisnya adalah buku tanah. Tapi saya tidak tau siapa yang mengajukan permohonan pengukuran SHM No 64,” tandas saksi.
Sesuai berkas perkara No 103/Pid.B/2018/PN SBY tanggal register 16 Januari 2018, Notaris Lutfi Afandi SH.M.Kn diduga melakukan penipuan jabatan terhadap Hj. Pudji Lestari , SE, Mm.
Kasus ini berawal dari terjadinya pembelian sebidang tanah tambak yang berlokasi di desa Gebang, Kabupaten Sidoarjo, sesuai Sertifikat Hak Milik No. 64 dengan luas total 34 hektar. Pembelian tersebut terjadi pada Mei 2011.
Tanah yang dibeli Pudji Lestari itu luasnya 24 hektar. Tanah itu milik empat orang. Sebenarnya, di dalam sertifikatnya, total tanah tambak itu adalah 34 hektar, milik enam orang. Namun, dua orang lainnya tidak menjual tanah tambak sisanya, yakni 10 hektar ke Pudji.
Atas pembelian tersebut Hj. Pudji Lestari kemudian ke notaris Lutfi Afandi, dikantornya yang beralamat di Jalan Raya Waru, Sidoarjo, untuk membuat Akta Jual Beli (AJB) dan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB), Hj. Pudji sempat meminjam sertifikat induk ke notaris Lutfi. Lama ditunggu, ternyata AJB dan APHB itu tak kunjung selesai.
Di tahun 2013, Hj. Pudji Lestari mengetahui adanya sebuah AJB dan APHB atas tanah tersebut. Ironisnya, akte-akte itu dibuat notaris Sugeng Priadi, bukan notaris Lutfi Afandi. Dan itu terjadi tahun 2013.
Hj. Pudji pun berusaha untuk mengecek kebenaran hal itu namun selalu gagal. Hingga akhirnya, Hj. Pudji Lestari mendapatkan informasi jika pada tahun 2011 itu, notaris Lutfi Afandi belum mempunyai ijin Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT). Ia hanya seorang notaris biasa. Kendati sebelumnya Hj. Pudji Lestari, SE, MM pada tanggal 19 Agustus 2010 lalu pernah membuat Akta Jual Beli dan diberikan tanda terima yang Stempelnya adalah Notaris / PPAT oleh terdakwa Lutfi Afandi. (Han)