SERDANGBEDAGAI, Beritalima.com-
Dalam rangka mendukung perkembangan ekonomi daerah dimana komoditas padi yang berkontribusi terhadap tekanan inflasi/volatile foods merupakan hal yang perlu dikembangkan dalam pengelolaanya.
Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) sebagai salah satu anggota Asia Local Government For Organic Agriculture (ALGOA) terus berkomitmen untuk memberi dukungan terhadap peningkatan pertanian organik. Di sisi lain, Pemkab Sergai juga terus berupaya meningkatkan berbagai program desa dan menjadikannya sebagai produk unggulan di setiap desa.
Hal ini dikemukakan Bupati Sergai Ir. H. Soekirman yang disampaikan kepada Kadis Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Ikhsan, AP melalui WhatsApp usai menghadiriRound Table Discussion bertajuk “ Seize an Organic Market Opportunity ” bertempat di Auditorium Kementrian Perdagangan RI di Jakarta, Senin (19/3) malam.
Dalam diskusi tersebut, Bupati Soekirman menyampaikan bahwa Kabupaten Sergai sudah menjalankan program pertanian organik. Namun, terlepas dari berbagai keberhasilan dan pencapaian yang diraih para petani padi organik, terdapat beberapa kendala yang dialami para petani.
“Pertama adalah soal sertifikat organik yang merupakan hal terpenting guna meningkatkan kepercayaan bagi para konsumen. Akan tetapi untuk memperoleh sertifikat khususnya beras organik para petani harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 30 juta yang hanya berlaku 2 (dua) tahun saja dan jika ingin diperpanjang akan dikenakan biaya lagi,” ungkap Soekirman.
Permasalahan yang dihadapi petani secara kelompok lanjut Bupati, tidak bisa membeli sertifikat karena akan meninggikan cost produksi. Oleh karenanya Bupati merasa jika tidak ada upaya intervensi dari pemerintah maupun lembaga terkait, maka jika sertifikasi tersebut jadi syarat utama hal ini justru akan menyulitkan para petani itu sendiri.
Permasalahan berikutnya adalah kelompok pertanian organik ini pada dasarnya masih lemah secara ekonomi. Bupati mencontohkan kelompok petani di daerahnya mempunyai luasan 20 hektar lahan padi organik. Jika luasan lahan tersebut dikali 5 ton saja maka hasilnya sudah 100 ton, jika dijual dengan harga Rp. 5.000 gabah kering panen bisa sampaiharganya Rp. 500 juta.
“ Tapi para petani tidak mau menunggu, maunya hari ini panen hari ini jual, karena memang situasi di Sergai seperti ini,” jelas Bupati.
Ditambahkan Bupati bahwa permasalahan lainnya seperti petani kelompok pemroses gabah organik tidak mempunyai modal Rp. 500 juta untuk beli ke petani produksi, maka gabah organik itu terpaksa dijual ke penggilingan biasa yang tidak dipakai label organik dengan harga yang biasa pula.
“ Saya sangat menyayangkan kondisi dimana ada produk yang begitu bagus namun akhirnya dibeli dengan harga biasa. Pemerintah sendiri mengaku memiliki Program Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) untuk membantu para petani organik, namun hal ini hingga saat ini belum maksimal mengatasi permasalahan yang terjadi, tukasnya.
Sementara itu permasalahan yang paling mengganjal adalah soal petani belum bisa memiliki sarana dan prasarana yang besar untuk menyimpan hasil pertanianya. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kilang padi yang sudah mumpuni dengan segala kesiapan yang dimilikinya, tambah Bupati.
Selain Bupati Soekirman hadir juga beberapa pembicara seperti Sebastian Saragih (Advisory Board of BIOFACH Southeast ASIA), Prof. Zhou Zejiang (Presiden IFOAM Asia), Fajarini Puntodewi, SH, M.Si (Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional), Ir. Siti Bibah Indrajati, M.Sc (Kasubdit Pemasaran Hasil dan Investasi Kementrian Pertanian), Jennifer Chang (Direktur Eksekutif IFOAM Asia).(Siti)
ROUND TABLE DISCUSSION : Bupati Sergai Ir. H. Soekirman saat menjadi pembicara pada kegiatan Round Table Discussion bertajuk “ Seize an Organic Market Opportunity ” bertempat di Auditorium Kementrian Perdagangan RI di Jakarta,(Siti)