Catatan Akhir Tahun (2): ‘Imbang’

  • Whatsapp

Viral lanjutan dari keputusan Trump, Presiden AS, yang mengakui Yerussalem sebagai ibukota Israel, dan akan memindahkan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerussalem, adalah pengakuan penulis buku pelajaran IPS. Buku itu sudah melalui berbagai seleksi dan penilaian yang ketat, hingga hak ekonomi dan terbitnya dibeli Pemerintah menjadi BSE—Buku Sekolah Elektronik. Maka, Kemdikbud, yang dalam hal ini Puskurbuk (Pusat Kurikulum dan Perbukuan) ‘kecolongan’ yang menetapkan Yerussalem sebagai ibukota Israel dalam buku yang disahkan. Jika tidak mau dikatakan kecolongan, maka Tim Penilai ada yang ‘mblelo’—yang sengaja, atau pro-Israel, atau jika mau lebih ekstrem: zionis.

Sebenarnya kasus di atas tidak penting dibicarakan kembali, toch penerbitnya sudah minta maaf, meski tidak berjanji untuk menarik dari peredaran dengan segala resikonya. Sebab, yang umum di negeri ini, jika suatu buku ditarik dari peredaran yang rugi malah pembacanya, yang nota bene mendapatkan buku itu dari hasil merokoh kantongnya sendiri. Pembaca yang nota bene pembeli tidak diganti sejumlah kerugian yang dikeluarkan pembaca ketika buku terlarang itu diserahkan ke pihak berwajib. Alih-alih menarik buku, lalu serta-merta menarik dari peredaran, dan konon malah pembaca ‘ditakut-takuti’ agar tidak menyimpan buku terlarang tadi. Dalam hal ini, yang rugi bukan penerbit atau penulis buku. Penerbit, jika sudah selesai menarik buku terlarang edar, malah bertambah untung karena bisa meng-kilokan buku yang terlarang itu. Ini mungkin lepas dari amatan Pak Menteri, yang mungkin lagi sibuk ngurus penilaian K-13 yang menelan korban guru.

Kasus ini tidak hanya berlaku pada buku terlarang, sembako pun tak luput dari ketidak-imbangan antara produsen-konsumen. Taruhlah mie atau barang siap saji yang mengandung formalin, dan ketika ditarik dari peredaran, yang rugi malah pembeli. Tidak pernah pembeli diganti rupiah, atau setidaknya barang baru yang aman dikonsumsi. Maka, kata Pak Sakerah di tengah sahabatnya, “Inilah Indonesia: keadilan harus terus diperjuangkan. Jika kalian diam, kalian tidak akan pernah mendapatkan keadilan!”

Maka, kata Shahibul Hikayah, pean semua bisa membandingkan hukuman bagi pencuri ketika nama pencuri itu berbeda. Pencuri yang bernama ‘maling’ akan lebih berat hukumannya dari pada pencuri yang bernama ‘koruptor’—sama-sama maling, sama-sama mencuri, sama-sama memperkaya diri sendiri. “Betapa sakitnya,” kata Komat, “seorang nenek tua bangka dibui 2,5 tahun penjara karena dianggap mencuri dua batang pohon pinus seharga Rp100 ribu milik Perhutani.”

“Dan betapa mirisnya hati ini,” sambung Kamit, “seorang koruptor yang mengembat uang negara sampai ratusan miliar, bahkan trilyunan hanya dituntut 4 tahun penjara. Berapa puluh juta batang pohon pinus jika miliaran uang negara itu untuk memborong pohon milik Perhutani. Inilah Indonesia, yang dalam berbagai hal perlu diperjuangkan.”

Kata Pak Sakerah, persoalan negeri ini sering tidak imbang. KPK misalnya, belakangan ini menjadi ‘rujukan’ sebagai lembaga yang dianggap super bersih. Tapi, apakah KPK tidak pernah bermain mata dengan pihak lain, pihak tersangka misalnya, agar meringankan beban korupsi? Apakah KPK tidak pernah korup? Apakah KPK sebersih kain sutera? Sebab, kata Shahibul Hikayah, KPK dianggap bersih karena selama ini belum ada satu pun penegak hukum yang berhak menjaring KPK. Jika KPK berbuat neko-neko misalnya, siapa yang akan memberantas korupsi dalam tubuh lembaga super bersih itu? Bagaimana juga dengan institusi Polri? Dan bagaimana pula dengan institusi kejaksaan dan kehakiman?

“Sekali lagi,” kata Pak Sakerah, “negeri ini belum sepenuhnya ada keseimbangan antara yang satu dengan lainnya.”

Maka, dalam diskusi yang diselenggarakan tokoh fenomenal Madura dapat disimpulkan begini: Semestinya, di akhir tahun, Pak Jokowi melaporkan kerja tahunannya di hadapan DPR yang nota bene wakil rakyat: sejauhmana Pemerintah berhasil membangun infrastruktur dengan modal milik asing yang bernama ‘hutang luar negeri’. Semua menteri, misalnya Menteri KLH, melaporkan kepada rakyat, berapa miliar pohon yang ditanam, dan hanya sekian batang pohon yang hidup. Mendikbud juga menyampaikan laporan tahunannya, berapa juta guru yang sengsara karena administrasi K-13 sangat ribet, dan berapa puluh juta guru honorer yang meratap karena tidak pernah dijanjikan menjadi PNS. Menteri Susi juga melaporkan kerja tahunannya, berapa kapal yang ditenggelamkan oleh kebijakannya, meskipun nelayan tetap miskin. Menteri Riset dan Dikti perlu menyampaikan laporan kerja tahunannya kepada rakyat, berapa banyak riset dosen yang bisa dijadikan rujukan, dan berapa banyak uang negara yang dibayarkan kepada dosen dengan hasil riset yang tidak berguna. Menteri Pekerjaan Umum juga perlu melaporkan kerja tahunannya, berapa juta drum aspal yang dilelehkan untuk memenuhi lubang-lubang jalan raya, dan berapa miliar drum aspal yang diminum rekanan dan birokrat yangn berseliweran di dalamnya. Menteri Tenaga Kerja juga perlu melaporkan kerja tahunannya, berapa juta penduduk Indonesia yang sampai kini tidak kebagian lapangan kerja. Termasuk menteri-menteri yang lain, yang tak sempat disebut dalam simpulan ini.

Di akhir tahun ini, kata Pak Sakerah, mereka semestinya tidak sibuk memikirkan konser akhir tahun di pojok-pojok jalan protokol. Atau menyiapkan pidato-pidato tertulis menyambut tahun baru. Sebab, sampai detik ini kita masih terus memperjuangkan sendi-sendi kehidupan yang belum imbang. Itu saja.**

Em Saidi Dahlan — endydahlan@ymail.com 21122017

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *