Catatan Akhir Tahun (9) : “Da’i”

  • Whatsapp

Catatan Akhir Tahun (9) :

Da’i

Da’i atau muballigh, dalam bahasa Arab berposisi sebagai fa’il, orang yang melakukan suatu pekerjaan ‘dakwah’ atau ‘tabligh’. Dalam bahasa yang berbeda, kedua kata itu setara dengan penceramah, pendakwah (bukan jaksa dalam ruang pengadilan), pengkhotbah, orator, narator atau provokator. Untuk kata yang terakhir, provokator, jarang digunakan karena nasibnya berbeda dengan kosakata yang lain: dikonotasikan jelek, culas, ancaman, dsb. Meski kata asalnya bisa didefinisi sebagai pemprovokasi pada hal-hal yang baik, bijak dan manusiawi. Berbeda dengan kata penghotbah, fa’il-nya adalah Khatib. Dalam ritual ‘ubudiyah Islam, Khatib adalah penceramah dalam area khusus, misalnya dalam ritual shalat Jumat, dan shalat ‘Id. Dan, orator pada akhirnya hanya milik Bung Karno, sebab pembaca atau pembawa orasi ilmiah dalam dunia kampus cenderung tidak disebut orator.

Da’i berbeda dengan kiai atau ulama dalam Islam; pandhita atau bikkhu dalam Budha; pamangku atau resi dalam Hindu; jiao sheng atau zheng lao dalam Khong Hu Cu; biarawan atau pastor dalam Katolik; pendeta dalam Kristen; atau rabi dalam Yahudi. Ia memiliki massa, tapi tidak memiliki wilayah ‘adiministrasi’. Massa berbeda dengan masyarakat, yang dalam berbagai hal tidak ada ikatan emosi atau kependudukan. Ia penyambung lidah rasul sebagai utusan Tuhan; penebar kebaikan; atau di ‘zaman now’ sebagai WhatsApp, facebook, tweet atau aplikasi medsos sebagai penyebar berita baik dan buruk, bahkan jika tidak diperkarakan karena pilihan istilah, sebagai provokator—pemprovokasi orang untuk berlaku baik, yang prosesnya bisa santun, bengis, atau norak.

Di awal-awal perkembangan Islam di Indonesia, da’i atau muballigh (kita sebut da’i saja) mempunyai induk semang: Pesantren, namanya. Dalam pesantren, dihuni oleh pengasuh yang memiiki tanggung jawab penuh terhadap anak asuhnya, yang bernama kiai. Ia dibesarkan, dididik dan ditempa dalam pesantren dengan berbagai pengetahuan dan strategi, dengan berbagai pengalaman dan karakter, sebelum akhirnya terjun ke tengah masyarakat. Ia tidak datang dengan tiba-tiba. Bahkan dalam sejarahnya, da’i tidak hanya berbekal alim dan strategi, kemampuan beretorika, atau improvisasi dalam mengolah kalimat dan nada, bahkan dulu-dulunya mesti anak kiai. Ayah dan bundanya menjadi rujukan orang untuk patuh dan menurut, bukan hanya isi dakwah sang da’i, sebab ia mewakili berita agama. Maka, ia lahir dari pesantren yang kemudian lahir adagium ‘Dari pesantren untuk umat’.

“Tapi itu dulu,” kata Pak Sakerah, tokoh fenomenal Madura di depan santri calon da’i di sebuah pesantren yang tidak perlu disebut namanya. “Di zaman now, untuk menjadi seorang da’i harus memenuhi satu syarat: terkenal. Sang calon harus menjadi public figure dulu, lalu beranjak profesi sebagai da’i. Jadi, artis lebih meyakinkan untuk menekuni profesi da’i dari pada seorang alim, anak kiai, orang pesantren, atau tetek bengek yang berurusan dengan kiai dan pesantren. Alim, atau berpengetahuan luas tentang agama, tidak menjadi penting.”

Para kiai, ustadz, dan tokoh agama yang hadir tersentak mendengar wejangan Pak Sakerah di depan santri dan calon da’i. Tapi ia melanjutkan kalimatnya, “Sebab penonton, atau pemirsa, hanya ingin tahu wajah dari pada mendengar isi ceramah. Maka, ini menjadi tantangan pean semua sebagai calon da’i yang akan terjun ke masyarakat. Untuk itu, belajarlah kepada tiga figure: kepada artis agar pean berpenampilan menawan, kepada wartawan agar semua kegiatan pean ditulis di media dan koran, dan kepada kiai agar isi ceramah pean benar-benar ‘amar ma’ruf nah munkar.”—dan mereka mengangguk-angguk, entah membenarkan atau kecewa.

Di arena lapangan terbuka, kata seorang peneliti yang melakukan survey kemamfaatan ‘Pengajian Akbar’, peserta pengajian hanya sekitar separoh memahami isi cermah da’i, sedangkan separohnya hanya memadati arena, menambah sampah, dan kericuhan publik—apalagi pengajian yang bernuansa kampanye. Tetapi sebaliknya, di arena tertutup, seperti ceramah di Youtube, tweet, facebook, dan lainnya, malah seluruhnya sangat difahami, dan sayangnya setiap pendengar mendapatkan tafsirnya sendiri-sendiri. Apalagi ketika si da’i tadi saling ejek, menyalahkan, bahkan sampai memurtad-kafirkan da’i lain. Pendengar terbelah, hatinya terusik untuk ikut da’i yang satu, dan menentang da’i lainnya. Mereka berkelompok, berkompetisi, merasa benar sendiri, dan ujung-ujungnya mereka menjadi beringas dengan dalih agama dan Tuhan. Maka, arena dakwah atau tabligh, bukan malah menyejukkan. Oleh karena itu Pak Menteri Agama merasa perlu membatasi isi ceramah, dan da’i harus bersertifikat—jika perlu harus disertifikasi, sebagaimana layaknya guru yang menghadapi uji kompetensi.

Tesis di atas, barangkali tidak penting dipanjanglebarkan. Toch Pak Menteri tidak jadi melakukan uji kompetensi. Sementara da’i terus berdatangan di berbagai media, tapi tidak dari pesantren. Oleh karena itu, kata Pak Sakerah, yang ditampilkan da’i di zaman now ini, adalah style dalam berbaju, mengatur retorika, dan berimprovisasi, dengan tekanan lagu dan nada kalimat yang elegan. Jangan ditanya soal mahrojul huruf dalam barisan ayat yang dibacanya, apalagi tafsir dan ashbabun nuzul-nya, sebab mereka lebih fasih berbahasa Inggris dan Mandarin dari pada bahasa Arab.

Di sesi pamungkasnya, Pak Sakerah menyimpulkan, “Da’i di televisi itu ada dua: da’i yang terkenal duluan karena ia public figure, misalnya karena artis, mantan anak jalanan, atau gagal jadi pemain band, lalu beralih profesi, atau menambah profesi, menjadi da’i. Mestinya, da’i semacam ini jangan keburu bertabligh di media, sebab ia belum masuk pesantren, dan belajar agama. Dan gilanya lagi, da’i seperti ini memasang tarif, sekali bicara sampai ratusan juta. Sedangkan da’i lainnya karena ia dikenal sebagai penceramah di luar sana sebelum masuk televisi. Ia alim, karena lama berkhikmad di pesantren, disuka pendengar, lalu diundang televisi dengan tayang dalam kontrak. Jika diundang di luar sana, tak ada tarif yang diminta, kecuali hanya makan dan jangan sampai lapar. Entah berapa hari jatah makannya, dan untuk berapa orang,” kata Pak Sakerah panjang lebar. Mereka tertawa, terpingkal-pingkal.

“Bagaimana dengan calon-calon da’i ini, Bang?” Kamit bertanya, sebelum akhirnya Pak Sakerah menutup ceramahnya.

“Terserah calon da’i, mau jadi da’i tanpa pasang tarif, atau sebaliknya. Jika pean semua jadi da’i sebagaimana sahabat-sahabat dulu berdakwah, pean miskin. Itu saja!”

“Ha?”

Em Saidi Dahlan — endydahlan@ymail.com — 31122017

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *