Kunjungan Raja Salman ke Indonesia tidak dengan tangan kosong. Tapi, beliau membawa banyak kerja sama yang bermuara pada ‘pemulihan’ ekonomi Indonesia. Ada banyak kerja sama di luar dua istana: misalnya KADIN dengan Kamar Dagang Arab Saudi, pihak swasta Indonesia dengan swasta Saudi, dan masih banyak lagi. Dalam waktu yang singkat, konon kedatangan Raja Salman itu membawa ‘berkah’, dan perputaran ekonomi di beberapa tempat meningkat. Ini pendapat yang masuk di akal sehat—bagaimana tidak, wong puteri raja berbelanja dalam sehari saja menghabiskan puluhan miliar. Dan tentu, keuntungan bisa diraih pedagang Indonesia. Berkah itu ditebar, meski orang-orang Madura hanya bisa melongo karena tak kejepretan perputaran ekonomi langsung itu.
Dalam perjumpaan kali ini, di tengah lautan pasir Slopeng, di bawah purnama, Pak Sakerah tidak ingin membicarakan perputaran ekonomi dari dampak kunjungan kenegaraan dan liburan Raja Salman. Tapi ia ingin menjelaskan cinderamata raja kepada dua institusi: Polri dan Istiqlal.
Pertama, Raja Salman melalui Dubes Saudi di Jakarta memberikan cinderamata kepada Polri berupa pedang emas. Konon, pedang emas itu sebagai bentuk apresiasi raja terhadap institusi Polri yang selama ini dianggap ‘berhasil’ melemahkan terorisme di Indonesia. Cinderamata itu diikuti dengan hadiah lainnya, misalnya hadiah haji kepada keluarga Densos 88, ‘penumpas’ terorisme yang menjadi korban.
Siapa pun suka dengan cinderamarta itu. Apalagi terbuat dari emas, atau setidaknya disepuh emas. Meski institusi Polri harus ‘menyelamatkan’ pedang emas itu diuji KPK. Artinya, urusan KPK nantinya, apakah benda itu termasuk gratifikasi, atau memang benar-benar hadiah. “Dan saya pastikan,” kata Pak Sakerah, “pedang itu bukan Dzulfaqqor, pedang nabi yang bermata dua. Senjata nabi dalam membela Islam.”
“Bukan Dzulfaqqor, memang,” Komat mempertegas. “Tapi, sebenarnya memiliki simbol yang hampir sama,” tambahnya.
Pasti pean semua tidak paham arah ‘cuitan’ si Komat. Simbol adalah kata yang mengundang makna yang berbeda-beda. Dua Presiden Indonesia, Bung Karno dan Gus Dur selalu memperhatikan simbol-simbol dan lambang. Bagi kedua negarawan itu, simbol dan lambang selalu memiliki makna dan sejarahnya masing-masing. Taruhlah seperti Nawaksara, istilah Berdikari dan beberapa pidato Bung Karno yang selalu berjudul. Judul pidato itu pun tidak lepas dari simbol yang penuh makna.
Gus Dur berani mengubah nama Provinsi Irian Jaya menjadi Papua. Irian Jaya, sebuah perlambang kejayaan telanjang. Menteri Peranan Wanita diganti menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan.
Alasannya sederhana: nama adalah simbol sebuah karakteristik. Wanita dalam bahasa Sangskrit bermakna nafsu, dari kata ‘wana’ atau ‘wanasa’. Sedangkan perempuan dari kata ‘mpu’ yang bermakna hormat. Wanita berarti orang yang dinafsui, sedangkan perempuan bermakna orang yang dihormati.
Simpulan diskusi di tengah lautan pasir itu begini: Ada simbol di balik pedang itu. Setidaknya, simbol penghargaan atas keberhasilan institusi Polri dalam memadamkan gerakan terorisme. Bisa saja sebagai pesan ‘keadilan’ dari seorang Raja Saudi. Sebab, sebagaimana kita tahu, Indonesia sebagai negara berpenduduk pemeluk Islam terbesar di dunia. Dan, imajiner si Kamit berkata: “Kuserahkan pedang emas ini, dan tegakkan keadilan,” kata Raja melalui Dubesnya di Jakarta.
Imajiner si Kamit semakin liar. Sebab, juga masih mungkin, rombongan raja itu paham, bahwa semua keadilan bisa ditegakkan dan dimulai dari institusi Polri. Hal ini karena institusi bhayangkara ini sebagai penyidik dalam berbagai macam perkara, kecuali beberapa perkara yang langsung ditangani institusi lain, semisal KPK.
Kemungkinan lain dari kisah imajiner itu: Raja Salman ingin mengulang kisah Kholifah Umar bin Khatab yang hanya mengirimkan tulang kepada Gubernur Syam, Amr ibn Ash, yang di atas tulang itu dicoret dengan pedang. Sebuah huruf alif—orang Sufi memaknai sebagai simbol keadilan, atau segala sesuatunya harus bermuara kepada Tuhan—dicoretkan dengan pedang di atas tulang. Dan Gubernur Syam siap melaksanakan simbol coretan pedang di atas tulang, kiriman kholifah. Maka, pesan pedang itu, tegakkan keadilan meski kepada gubernur sekali pun. Jadi, keadilan itu tidak memandang kepada siapa harus ditegakkan. Kisah di atas, adalah tuntutan seorang Yahudi kepada Umar. Dan kholifah itu menegakkan keadilan. “Hanya saja,” kata Kamit, “mengapa Mendagri kita tidak mendapatkan cinderamata pedang juga ya?”
“Kemendagri bukan penegak hukum broo!” Komat bersungut-sungut. “Maka, berlebihan jika mendapatkan simbol pedang.”
“Iya.. jangan pedanglah. Tapi yang lebih kecil, misalnya golok emas! Apa aku yang hadiahkan celurit emas ya?”
“Emas mbah-mu Cong. Wong rokok saja kamu ngecer. Ngopi di warung bayarannya tiga hari sekali. Dari mana kamu dapat emas?” si Komat ngomel. Itulah kira-kira simpulan pertama dari diskusi orang awam di malam purnama, di atas hamparan pasir pantai, semalam sebelum Raja Salman meninggalkan Indonesia.
Kedua, Raja Salman memberikan cinderamata kepada Khodim Masjid Istiqlal berupa potongan kiswah. Beliau menyerahkan sendiri potongan kiswah itu kepada Takmir Masjid. Panjangnya sekitar 3 meter dengan lebar 1 meter. Sebuah kehormatan yang tak terkira, sebab biasanya potongan kiswah itu dihadiahkan raja kepada tamu negara yang berkunjung ke Saudi Arabia.
Kiswah adalah selubung Ka’bah memiliki ukuran 658 meter persegi. Kain itu dirajut dari 670 kg sutra serta 150 kg benang emas. Kiswah terdiri dari 47 bagian. Masing-masing dari kiswah memiliki panjang 14 meter dan lebar 101 meter. Pembuatan Kiswah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengingat bahan yang sangat eksklusif serta pembuatannya yang rumit. Setiap tahun, pemerintah Arab Saudi menggelontorkan sekitar 4 juta dollar AS, untuk pembuatan kain ini. Kiswah terdiri dari tiga bagian. Sitaar adalah bagian utama dari Kiswa yang terletak di pintu Ka’bah. Bagian ini memiliki panjang 6.5 meter dan 3.5 meter. Kaligrafi potongan ayat Alquran tertulis di bagian Sitaar ini. Selanjutnya adalah lapisan di dalam Kabah dan Hizam yang mengelilingi Kakbah.
“Lho, kok ya pas, pedang untuk keadilan, dan kiswah di Istiqlal sebagai simbol kegiatan Islam,” Pak Sakerah berujar.
“Apa yang pas, Bang?” kedua rekannya heran.
“Maksudku, apa Raja Salman paham bahwa tuntutan keadilan jutaan umat Islam beberapa waktu lalu dimulai dari Istiqlal?”
Mereka diam. Lalu, si Komat berujar: “Jika tidak paham, kita paham-pahamkan sendirilah…”
(endydahlan@ymail.com – Sumenep, 12032017)