Catatan Em Saidi Dahlan: ‘e-KTP…eh..hehe’

  • Whatsapp

e-KTP…eh..hehe

E-KTP yang dipendekkan dari Elektronik Kartu Tanda Penduduk atau KTP Elektronik, pernah membuat gunjang-ganjing jagad raya. Setidaknya, jagad Nusantara. Bagaimana tidak ‘heboh’, e-KTP diprediksi (nantinya) akan menjadi ‘kartu bersama’—semacam central card atau induk dari semua kartu. Jika prediksi itu benar, maka kartu apapun, termasuk kartu kredit, akan menyatu dalam e-KTP tadi. Bahkan, kartu sehat, kartu pintar, kartu diskon, kartu miskin, dan segala jenis kartu yang tidak penting disimpan secara elektronik dalam e-KTP. Jadi, dompet Anda tidak harus tebal hanya karena terlalu banyak menyimpan kartu. Cukup satu kartu saja: e-KTP.

Tapi, kata Pak Sakerah, itu prediksi orang sekolahan. Cara berfikir yang simplistis, menarik dari sisi mamfaat, untung dan ruginya dari sisi materi sudah dikalkulasi. Namun sayangnya, tidak pernah terpikirkan dengan hati nurani. Dan, jadilah proyek besar e-KTP melahirkan 24.000 lembar hasil penyidikan KPK yang besok hari akan digelar di Pengadilan Tipikor. Proyek 6 triliun itu pun akan menyeret orang-orang penting di negeri ini. Dan, menurut kalkulasi sementara, sekitar 2 triliun rupiah ‘menguap’ dan memasuki kantong-kantong pejabat birokrasi dan publik.

Jika dihitung—Pak Sakerah mencoba menghitung uang negara dengan kalkulator 95 digit—uang sebanyak Rp6 triliun = Rp6.000 milyar = Rp6.000.000 juta = Rp6.000.000.000.000,oo. Jika disusun tingginya bermeter-meter. Maka, kerugian negara mencapai Rp2.000.000.000.000,oo. Dan, jika penghasilan sopir taksi sekitar Rp100 ribu setiap harinya, maka uang negara yang ‘menguap’ itu cukup memberi penghasilan kepada 2 juta sopir taksi. Dan, penghasilan abang becak yang maksimal Rp50 ribu per harinya, maka cukup memberi penghasilan sehari pada 4 juta orang abang becak. Bilamana uang itu dibelikan nasi bungkus pagi dengan harga Rp10 ribu per bungkusnya, maka uang negara yang ‘menguap’ itu cukup memberi makan fakir-miskin sebanyak 20 juta orang fakir miskin untuk sarapan pagi.

“Pean,” kata Pak Sakerah, “tidak perlu menghitung dan berandai: jika uang ratusan ribu itu dijahit sambung menjadi tikar, berapa kilometer tikar uang yang pean buat itu. Misalnya, cukup untuk menggelar tempat duduk anggota majelis yang terhormat pada Sidang Istimewa MPR dengan kaki selonjor. Atau, cukup membuat bendera uang dalam jumlah ribuan bendera menyambut kedatangan Raja Salman. Mimpi pean, terlalu berlebihan. Sebab, uang itu sudah di rekening bank-bank para pejabat yang terlibat.”

Begitu unik dan menarik menghitung uang yang bukan haknya. Termasuk yang dilakukan Pak Sakerah. “Sekali lagi, pean semua tidak usah bermimpi untuk menjahit uang ratusan ribu itu untuk jadi tikar uang sampai berkilo-kilo meter panjangnya. Sebab, ternyata sebagian kecil uang itu dikembalikan ke negara. Terkumpul kali ini, kalau belum ada tambahan, sebanyak Rp300 juta. Di antara uang kembalian itu adalah hasil pengembalian anggota dewan yang terhormat,” begitu Pak Sakerah melarang sedulur-nya ikut menghitung uang yang bukan haknya.

“Kalau saya,” kata si Komat pada jamuan makan siang hari ini, “e..KTP bukan karena uangnya. Toch uang negara memang bocor di mana-mana. Tapi yang saya sesalkan itu karena mamfaat dari e…KTP itu sendiri. Apa bedanya KTP jaman bahelo dengan e…KTP sekarang?” begitu kritik si Komat.
Dan, kritik si Komat itu mafhum saja. KTP elektronik hampir seratus persen tidak ada bedanya dengan KTP sebelumnya. Mestinya, pemamfaatan KTP elektronik itu jelas: misalnya, dalam berbagai hal yang berkepentingan dengan KTP tidak perlu pakai foto copy segala. Ada mesin penggesek yang menggantikan foto copy. Jadi, jika pengisian Dapodik butuh KTP, cukup digesek. Jika mau melamar kerja, cukup digesek. Dan jika kepentingan apapun dengan KTP: cukup digesek. Tapi sekarang, KTP tergesek malah lecet. Weleh..weleh..weleh..

Maka, e..KTP telah mengundang sial. Dan besok, nama-nama besar—definisi besar di sini masih belum jelas—di Sidang Tipikor akan disebut oleh mantan pejabat Kemendagri. Nama-nama besar di sini, yang menurut Pak Sakerah, adalah orang-orang yang pejabat publik, yang pejabat karier, yang penghasilannya besar, yang perilakunya sok suci, yang kritisnya minta ampun, yang jauh dengan tuhannya.

“Saya kok malah semakin nggak paham lo, Bang,” si Kamit menyela. “KTP kok ditilep. Padahal, saya jamin, mereka hanya membutuhkan satu KTP saja. Tidak lebih.”
“Benar,” serempak mereka menyahut. Ternyata, penilep uang negara itu hanya butuh satu KTP. “E..KTP, nasibmu..eh…hehehe!”
Mereka tertawa lepas, seakan hutang di warung kopi sudah terbayar, dan harga cabe sudah tak terpikirkan.
(endydahlan@ymail.com Sumenep, 08032017)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *