Catatan Em Saidi Dahlan : ‘Guru’

  • Whatsapp

beritalima.com , Saya tidak kaget ketika gaji guru disunat, TPP tak kunjung tiba, tak ada kenaikan gaji, administrasi segebuk, pekerjaan membimbing siswa menjadi utama, dan kerap di-‘teror’ dari orang tua siswa. Atau pengangkatan guru PNS yang terhadang oleh moratorium, dan ujug-ujugnya sekolah negeri dipadati GTT—yang jika GTT itu melakukan aksi mogok masal, pendidikan di Indonesia menjadi lumpuh. Itu pasti. Tapi saya tidak kaget, itulah potret guru kita: Indonesia–yang tak pernah ‘ramah’ dengan profesi yang amat mulia.

Tapi saya sangat kaget, dan tak terasa air mata menitik, ketika mendengar Ahmad Budi Cahyono, guru seni rupa yang masih GTT di SMAN I Torjun, Sampang, Madura meninggal dunia di tangan bokem siswanya pada Kamis (01/2) kemarin. Naif, dunia pendidikan kita tercoreng kembali, dan menambah panjang deret perlakuan kasar bagi pelaku profesi mulia ini. Dan ini menambah kuat larik “guru tanpa tanda jasa, dan binasa di tangan siswanya” yang dilantunkan seorang pengamen di atas bis saat mampir di terminal Sampang.

Pak Sakerah mengelus dada:

Sebuah jurang menganga, antara seorang ‘pendidik’ dengan ‘yang dididik’; yang ‘pendidik’ dianggap babu yang bisa diperintah sesuka hati oleh ‘yang dididik’ yang pada saatnya menjelma menjadi juragan, sementara ‘pendidik’ menjadi budaknya. Ironis, tapi guru, apalagi hanya GTT, tidak bisa berbuat apa-apa untuk sekedar melindungi nasibnya, setidaknya melindungi keselamatannya ketika berdiri di depan siswa dan menjadi seorang ‘mpu’. Dan, Pak Budi sebagai Mpu Gandring atas perlakuan Ken Arok, ketika keris siap diselipkan di pinggangnya. Ia dihunjam keris buatannya malah ketika mengasah sebelum akhirnya keris itu diselungkupkan ke warangkanya—itulah Pak Budi, si Mpu Gandring.

Viral berita tentang penganiayaan dalam dunia pendidikan kita memang tidak imbang. Ketika seorang guru yang dianiaya siswa, viral beritanya hanya sampai di tangan-tangan guru, atau sebatas koleganya. Tapi, ketika siswa yang teraniaya oleh gurunya, viral beritanya sampai dibicarakan di gedung parlemen. Maka, semakin lengkap penderitaan guru: dibatasi viral, dipagari daring, sederet UU yang membatasi gerak guru, dan bahkan urusan HAM segala yang semakin menggelontorkan kewajiban guru sebagai pendidik.

Pak Sakerah hanya bisa mengeluh:

Ada yang harus diubah dalam sistem pendidikan kita. Waktu yang sesak oleh ‘pemaksaan’ ilmu kepada siswa, adalah peluang yang membuat jarang anak berkumpul, berkomunikasi, bahkan sekadar bertemu dengan keluarganya. Anak menjadi liar, dan jauh di luar prakiraan hidup harmonis yang ‘learning to live togeather’. Dan anak hanya dipaksa menjadi ‘learning to know’ dan ‘learning to be’—tahu dan melakukan sesuatu, yang sementara revolusi mental sebagaimana dijanjikan Pak Jokowidodo belum juga dirancang. Unesco menjadi sia-sia merekomendasi 4 pilar pendidikan: learning to be’, ‘learning to do’, ‘learning to know’, dan ‘learning to live togeather’—ketika sistem pendidikan kita malah meninggalkan kearifan lokal.

Belajar maksimal dengan menghabiskan sehari-waktu di sekolah, bukan jaminan anak menjadi cerdas, pandai dan bermartabat. Di desa, malah program belajar sepanjang hari di sekolah menyebabkan anak digiring meninggalkan nilai-nilai lokal yang jauh lebih arif. Ada Madrasah Diniyah, atau pesantren pada siang dan sore hari yang ditinggal anak. Sebab mereka sibuk dengan urusan sekolah, dan bahkan pulang dari sekolah sampai sore hari. Dalam bahasa yang lebih ekstrem, program belajar sepanjang hari di sekolah, semakin menjauhkan anak dengan agamanya.

Pak Sakerah hanya tercenung mematung:

Konten kurikulum, dan pemaksaan menyerap semua kehendak Kurikulum 2013, menyebabkan siswa sibuk memenuhi tugas pelajaran, dan guru sibuk memenuhi administrasi pembelajaran yang menjadi tuntutan. Malah, ketika rencana KPK akan ‘turun’ langsung kepada guru untuk melihat administrasi, yang menyebabkan seorang guru layak-tidaknya menerima TPP, membuat guru semakin tertantang untuk segera menyelesaikan administrasi pembelajarannya. Guru tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk merancang inovasi pembelajaran, sebab administrasi jauh lebih penting dan aman untuk nasibnya, kelak.

Saling sibuk: siswa sibuk dengan konten materi pembelajaran, dan guru sibuk dengan segebuk administrasi, membuat komunikasi keduanya ‘stagnan’, dan kering. Dan ini menyebabkan hubungan keduanya seperti sapi dengan gembala. Gembala tidak percaya kepada hewan piarannya, oleh karenanya perlu diikat agar tak lepas, dan hewan piaraan itu juga tidak percaya akan gembala, oleh karenanya ia selalu mencari cara agar bisa lepas dari tali pengekangnya. Itulah potret pendidikan kita: sapi – gembala.

Pak Sakerah hanya bisa geleng-geleng kepala:

Semestinya kita mau belajar pada negeri tetangga, semisal Malaysia. Di negeri tempat TKW bekerja ini, anak tidak dituntut memahami segebuk ilmu. Materi pelajaran di negeri jiran itu, tidak sepadat di Indonesia. Tapi yang utama adalah perilaku, dan ilmu adalah bagian yang bisa dipelajari sambil ‘berjalan’, tidak harus di kelas atau di ruang persegi mirip penjara.

Dalam pesantren, kajian ilmu menjadi nomer sekian dari sederet ‘pemaksaan’ santri menjadi alim. Tapi yang utama adalah perilaku, yang oleh Pak Jokowidodo dipahami sebagai mental, atau moral yang dulu masuk menjadi bagian dari pelajaran, atau akhlak sebagai tuntutan Tuhan kepada Muhamamd untuk memperbaikinya, yang diterapkan kepada santri. Sementara ilmu didapat dari kajian-kajian sesudahnya.

Di pesantren, anak sejak awal belajar kitab “Ta’limul Muta’allim” dan “Sullamu at-Taufiq”, yang membicarakan adab dan tatakrama dalam belajar di dunia pendidikan, dan cara bergaul di masyarakat, dan dengan siapa pun. Sementara dalam dunia pendidikan umum di negeri ini, pendidikan moral dihapus diganti dengan memadatkan materi pelajaran lain, dan butir-butir Pancasila segera dimusnahkan sebab dianggap produk Orde Baru. Padahal anak-anak kita malah menjadi ‘liar’, dan tak bermartabat.

Pak Sakerah hanya bisa pasrah:

Ketika mental, moral, akhlak dan perilaku tidak mencerminkan Indonesia, maka Pak Budi pun menjadi korban. Ketika Pak Budi tenang di ‘sana’, sebenarnya pendidikan kita semakin merana. Sinisme potret pendidikan kita. Dan kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, tapi sistem pendidikan kita harus diperbaiki. Hanya itu kuncinya.

Dan Pak Sakerah tidak bisa berbuat apa-apa, sebab ia bukan Menteri Pendidikan, apalagi pengganti Pak Jokowidodo.

Panorama Pagi – 03 Februari 2018

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *