“Selamat Hari Guru”—hadiah Pak Sakerah yang menjadi pembuka pembicaraan, atau salam sapa kepada orang-orang yang bekerja di lingkungan pendidikan. Dalam hal ini dikenal dengan PTK—Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
PTK sebagai ‘pelambang’ ketidakadilan pubik dalam memberikan identitas yang merambah pada hari guru atau UU tentang Guru dan Dosen. Sebab, PTK hanyalah pendidikan formal, yang dalam hal ini, pengakuan publik sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal di luar sana banyak sosok guru pendidikan nonformal, yang sama sekali tidak mendengar hingar-bingar profesinya dipersahut-sahutkan. Mereka adalah guru ngaji, atau guru madrasah diniyah, guru di pesantren, para ustadz, pendeta ataupun apa istilahnya, mereka tidak tergabung ke dalam wadah organisasi profesi, semisal PGRI atau ikatan yang setara dengan itu, sebab keabsahan profesinya tidak termuat dalam undang-undang. Mereka hanya mengajar, mendidik, dan membina murid-muridnya untuk sama-sama hidup layak di dunia, dan harapan akhirnya masuk syurga berombongan.
“Tapi perayaan hari guru kurang greget,” begitu Pak Sakerah memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya. “Kalah sama semaraknya gonjang-ganjing persoalan sosial. Ada kasus Ahok yamg qou internasional, dan kasus lainnya yang terseret ke dalam pusaran ini. Kasus Ahok menyeret Buni Yani, yang tiba-tiba namanya mengalahkan artis yang likuran tahun menggeluti dunia hiburan. Ahmad Dani yang dilaporkan karena penghinaan. Aktifis HMI yang harus ditahan karena demonya melampaui kewajaran. Mereka lupa, bahwa hari ini adalah hari guru, sosok yang membesarkan namanya, dan membuka matanya untuk tahu huruf dan angka. Kasus-kasus itu menenggelamkan hari kelahiran guru yang semestinya dirayakan ramai-ramai.”
“Tapi tokoh-tokoh kasus di atas adalah maha guru, Bang,” begitu Komat mengomentari sahabatnya. “Bayangkan, apa benar pendapatku: Ahok adalah guru yang sedang menguji keimanan umat Islam. Sementara, Buni Yani adalah guru yang mengajarkan keberanian mengoreksi pendapat orang lain. Ahmad Dani adalah guru yang tengah mengetuk hati penguasa. Anak-anak HMI, adalah guru yang mencoba menggelorakan semangat darah mudanya. Habib Reziq, adalah guru yang mengajarkan menghadapi ‘amar ma’ruf.”
Diskusi tentang guru Indonesia kali ini memang seru, meski tokoh yang terlibat dalam diskusi itu bukan orang terkenal. Tapi keikhlasan mereka berdiskusi mengalahkan semangat Ahok yang konon hendak membangun Jakarta. Orang itu adalah Sakerah, tokoh fenomenal yang juragan pandi yang sehari-harinya membuat seratusan celurit. Komat, mestinya hari itu becaki, tapi diskusi kali itu dirasa jauh lebih penting dari pada sekadar memburu isi perut. Kamit, takmir masjid yang biasanya sejak pagi sudah di Masjid menggelar sajadah untuk jemaah.
Padahal, mestinya mereka menyadari, bahwa gaji guru di Indonesia, meskipun sudah mendapatkan TPP, semacam tunjangan tambahan, masih kalah jauh dengan gaji guru di luar negeri. “Oleh karenanya, agar tidak kalah jauh dengan gaji guru di luar negeri,” kata Kamit, “Guru Indonesia diberi tambahan lagi…”
“Apa itu?” serentak mereka bertanya.
“Gelar tanpa tanda jasa.”
“Huh!” mereka mengeluh. Dan pasti, semua guru ikut mengeluh. Ini artinya, guru di-baby-kan, setidaknya seperti anak kecil yang tangisnya berhenti ketika mendapatkan hadiah permen karet.
“Jangan dianggap enteng lho gelar ‘pahlawan’, apalagi tanpa tanda jasa,” begitu bela Kamit.
Toh, mungkin saja, guru merasa senang dengan gelar tambahan itu, meski keamanan hukumnya rentan, mudah dipolisikan karena menjewer kuping siswanya, dan namanya lebih dikenal di bank-bank dan koperasi, dan lemari administrasi di rumah tidak selembar pun tersimpan, karena disimpankan bank.
“Lalu, bagaimana dengan guru yang dianggap tidak masuk kawasan PTK ya?” Komat mengajukan tanya.
“Juga mendapatkan gelar,” kata Pak Sakerah.
“Apa itu?”
“Guru tanpa tanda neraka..”
“Kok?” mereka heran. “Apa maksudnya?”
“Guru yang pasti masuk syurga!”
Em Saidi Dahlan, 25 Nopember 2016