Kado Yesus
Perang—begitu bergemuruh di sudut-sudut kampung, di mushola-mushola beratap ilalang, di masjid-masjid berlantai plester, di gardu Poskamling peninggalan Orde Baru, dan di warung-warung kopi tanpa nasi. Meskipun sebenarnya, genderang perang belum ditabuh. Dan jika ditabuh pun, perang tidak akan bergelora, sebab di sana tak ada komandan, apalagi jenderal yang memangku senjata yang bisa menghalau pasukan untuk terus maju, bergerak menyerang musuh.
Dan yang menarik dari cerita yang ingin saya sampaikan ini adalah datangnya “kado Yesus”—yang tiba-tiba, atau sesaat, atau belum sehari kado itu dibuka, suasana gempar. Orang menjadi ramai, dan konon, Yesus pun tak jadi datang di perhelatan anak-anak bangsa yang tengah menuntut ilmu. Rasul Yesus, atau mungkin sudah menjadi Tuhan, ‘marah’ besar kepada orang-orang Madura yang tiba-tiba menggagalkan rencana. Maka, muncul pertanyaan: Apakah Yesus memberi kado untuk mereka? Atau Yesus sudah sampai pada kebangkitannya? Ataukah Yesus sedang berulang tahun? Dan, pokeke, Yesus menjadi hangat dibincangkan anak-anak desa yang tidak pernah mengenal agama, selain Islam. Maka kadang, diskusi mengarah pada pertanyaan konyol karena mereka tidak mengerti: “Yesus itu benda kayak apa sih?” begitu polosnya pertanyaan itu.
Itu gambaran yang sempat direkam Pak Sakerah dua hari terakhir ini. Kejadiannya, sebuah yayasan dengan mengantongi izin Kadis Pendidikan Sumenep mendatangi beberapa SD dan SMP. Tujuan mereka–disebut mereka karena ini sebuah Tim—memberikan wawasan kebangsaan kepada anak-anak SD dan SMP di Kecamatan kota dan Manding. Jumlahnya puluhan sekolah yang menjadi sasaran. Dimungkinkan, jumlahnya, jika tidak ada masalah, akan jauh meningkat dari perkiraan sedikit orang. Paketnya pun beberapa truk jumlahnya. Anak-anak SD dan SMP itu mendapatkan paket dalam kardos yang tertutup rapat.
Perlu pean semuanya tahu. Tak seorang pun orang Madura asli memeluk agama selain Islam. Jika ada gereja di ibukota kabupaten, paling jemaatnya itu orang luar Madura, atau warga keturunan China yang sudah mengelaborasi diri dengan masyarakat Madura. Mereka hidup aman. Dan ini lagi, kata Pak Sakerah di hadapan para pemburu berita, “Tidak seorang pun ustadz atawa kiai yang ‘menyerang’ kristiani agar pindah agama. Orang Madura itu baik. Dan jika pean merasa risih dengan orang Madura, itu karena hati pean tidak bersih, tidak tertanam nilai-nilai universal,” katanya berapi-api dengan penuh diplomasi.
Itu artinya, orang Madura yang Islam-nya thothok dan sudah karatan itu jangan diganggu. Apalagi masih anak ingusan usia SD dan SMP. Sebab, kiai Madura tidak akan pernah mengganggu, setidaknya mengajak, nonmuslim masuk Islam. Meski mereka kaum minoritas.
Dalam waktu yang tidak lama, Pak Sakerah bersama kedua orang karibnya, Komat dan Kamit, mengumpulkan warga sekampung, mengadakan sidak (informasi dan tindak). Lalu, di tengah warganya, Pak Sakerah berkata, “Telah dimulai kristenisasi siswa SD dan SMP di Madura,” begitu awal sidak Pak Sakerah.
Kalimat singkat Pak Sakerah tentu mengundang heran warga. Bukan sekedar tanda tanya, tapi banyak tanda dari ekspresi wajah mereka.
Lalu Pak Sakerah melanjutkan kalimatnya setelah beberapa menit diam, “Dengan berdalih membantu kebutuhan anak sekolah, mereka merusak imam siswa. Di dalam paket dibungkus kardos, banyak asesoris bersalib, buku-buku tentang Yesus, dan segala macam bentuk lambang Kristen. Dengan berdalih akan mengajak siswa meningkatkan nilai nasionalismenya, mereka menyusupkan ajakan terselubung. Mereka tersandung SARA. Dan mereka mengganggu stabilitas keimnan siswa,” begitu Pak Sakerah berapi-api.
Mereka terseret ‘marah’ dengan pikiran menggelora, memekikkan takbir, dan mirip suasana perang di Jembatan Merah tempo dulu. Mereka mendesak, ingin segera bubar, dan melepaskan amarahnya kepada Tim yang konon ditahan di Mapolres Sumenep itu.
Sekedar (perlu) diketahui, orang Madura sejahat apapun, misalnya yang preman, bajingan, atau levelnya di atas itu, tidak suka imannya diusik. Agama bagi mereka adalah satu-satunya yang sangat berharga, yang meski hanya muslim KTP, darahnya mendidih ketika imannya diinjak. Mereka tidak tahu, bahwa di Madura berderet bangunan masjid yang jumlahnya ‘sejuta’ masjid. Arsitektur budaya persaudaraan ditunjukkan dengan taneyan lanjeng yang di ujung baratnya berdiri mushola keluarga besar. Mereka juga tidak tahu, di Madura dipraktekkan budaya memuliakan orang sholeh. Dan, bagi orang Madura, orang seiman adalah sesaudara. Tapi mereka menghormati pemeluk agama lain.
Sebab, mereka yang tidak seiman sesaudara dalam bingkai kebangsaan. Itulah potret orang Madura.
Di tengah sidak warga yang mulai senyap, kedua rekan Pak Sakerah komat-kamit, bak orang berdoa dengan khusuk dan sedikit diselingi marah. “Apa yang kau baca, Komat?” tanya Pak Sakerah.
Komat tersenyum tipis. “Jika acem-macem, akan kuremukkan kepala Yesus, dan kumasukkan kembali ke dalam kardosnya,” katanya pelan yang diucapkan komat-kamit mirip doa.
“Ha?” heran Pak Sakerah. Dan, si Komat mengulang kalimatnya. “Kamu baca apa, Kamit?”
“Akan kucincang ceritanya, dan kubelah dadanya, karena aku ingin tahu isi hatinya,” juga diucapkan dengan komat-kamit, dan suara itu didengar seperti berbisik.
“Sontoloyo kalian!”
Pak Sakerah marah kepada kedua kerabatnya. Sayangnya, kalimat itu diucapkan di tengah warganya. Tentu saja, warga yang sedang terobsesi perang di Jembatan Merah tempo dulu itu berteriak histeris. Kali ini, warga yang balik marah, dan hampir memukuli Pak Sakerah. Mereka mengira Pak Sakerah memarahi warga sekampung dengan ucapannya atdi. Untung, si Komat dan Kamit digap melerainya.
Ketika suasana tenang, Pak Sakerah berkata, “Kalian salah paham.” (endydahlan@ymail.com Sumenep, 24022017)