Catatan Em Saidi Dahlan : ‘Kartu’

  • Whatsapp
KARTU

Kartu: apapun jenis, bentuk, atau warna tidak perlu didefinisikan terlalu ambigu dan jlimet. Dalam hal ini, kita bersepakat, bahwa kartu adalah selembar kertas, atau mungkin lembaran yang disetarakan dengan kertas, yang dibuat khusus, tentu dengan warna yang disepakati pula. Taruhlah ada e-KTP—jenis kartu yang menjadikan perancangnya masuk bui, misalnya. Kartu ini membuat jagad raya ‘bergoncang’: dalam angka trilyun yang nol-nya berderet, membuat orang terperangah sebab jumlah itu bisa untuk membangun hotel berbintang sekian lantai. Kartu ini pula, membuat orang-orang terhormat menjadi pintar berakrobat.

Dari tahun ke tahun, sejak Jokowi berkuasa, telah berderet jenis kartu yang qou internasional. Ada kartu pintar, yang dimaksudkan untuk membuat pintar orang, meski kemudian generasi kita konon semakin tak bermartabat. Bayangkan, maksud awalnya, kartu pintar itu untuk orang-orang miskin dan terkebelakang. Mereka diharap bisa menikmati layanan gratis di bidang pendidikan, atau semacam bantuan meringankan bea-pendidikan. Tapi malah sebaliknya, pemegang kartu pintar adalah orang-orang yang pintar mengelabui tujuan awal itu.

“Bahkan,” kata Pak Sakerah, “kartu pintar tak ubahnya Bantuan Langsung Tunai (BLT) di zaman SBY. Penerimanya bukan anak sekolahan, tapi orang tua siswa yang cenderung tidak diperuntukkan biaya sekolah. Kadang, malah tidak sampai ke penerima yang berhak, tapi ngendap kemana-mana.”

Lain pula, kartu sehat, tujuan awalnya adalah orang-orang miskin berekonomi sekarat pemegangnya. Kartu sehat: agar semua orang tidak sakit, atau setidaknya menikmati layanan kesehatan secara gratis, atau murah. Tapi ironisnya, kartu sehat benar-benar hanya sebuah kartu yang dirancang dari selembar kertas, dan tak bergigi. Ketika kartu sehat disodorkan kepada bidan, dokter, atau rumah sakit, kartu sehat malah benar-benar sakit, tak berdaya, mendapat penolakan, dan wujudnya berubah menjadi kartu sakit–ini tidak bisa dibantah.

“Jangan berharap jika orang miskin sakit kepingin dapat kartu sehat,” kata Pak Sakerah. “Orang-orang udik lebih suka menjual sawah untuk mengobati sakitnya dari pada menyodorkan kartu sehat yang ditolak rumah sakit.”

“Orang kampung tidak ingin sakit dua kali: sakit fisik dan sakit hati ketika menyodorkan kartu sehat,” sambung Komat.

“Kartu sehat tidak lebih dari Kartu Janji, yang di dalamnya memuat sederet janji kepada orang miskin agar menjaga sehatnya,” Kamit lebih cerdas menanggapi. Sayangnya, Kamit tidak menjelaskan siapa yang berjanji. Dan saya berharap, kata Shahibul Hikayah, Anda tidak perlu menafsir kalimat Kamit yang ambigu.

Berbeda dengan ‘Kartu Keterangan’ jumlah titipan uang logam orang-orang Cina dulu. Pada awalnya, orang–orang Cina merasa ribet membawa uang logam sampai puluhan ‘pikul’ banyaknya. Bayangkan, uang logam yang terbuat dari besi, dalam seribu keping seberat 3,5 kg, merasa ribet jika dibawa kemana-mana hanya untuk belanja sayur atau sembako. Bisa dikira-kira, berapa kuintal uang logam jika seorang Cina dulu harus memborong kereta beserta kudanya. Apalagi, misalnya, untuk membiayai proyek e-KTP sampai 5 trilyun; berapa ratus ton uang logam yang harus dibagi oleh anggota parlemen terhormat itu. Lebih ribet lagi, siapa yang akan mengangkut ratusan ton uang logam ke meja dewan, dan bagaimana jenengan semua terheran-heran melihat pemandangan menakjubkan puluhan anggota dewan membawa pulang berton-ton uang logam hasil baginya, sampai tak sempat memperbaiki letak dasinya .

Maka, penguasa Cina di abad-10 hanya perlu menuliskan jumlah kepingan uang logam dalam sebuah kartu, yang kelak dikenal sebagai uang kertas. Jadi, kartu keterangan yang nota bene uang itu adalah penampakan uang logam.

“Saya yakin, ‘kartu keterangan’ itu akan diperebutkan banyak orang,” kata Pak Sakerah, “termasuk si miskin yang menolak kartu pintar dan kartu sehat itu; mereka akan ikut berebut mendapatkan kartu keterangan tadi.”

Kartu yang agak memiliki ‘taring’ adalah kartu yang dipegang wasit sepak bola, atau olahraga sejenisnya. Ada dua macam kartu berwarna: kuning dan merah. Kuning melambangkan peringatan, dan kartu merah sebagai sanksi. Jika disemprit kartu merah, seorang pemain tidak bisa melanjutkan laganya lagi. Ia harus keluar dari lapangan, dan tidak ikut pertandingan semusim dalam laga itu.

Jadi, kartu, apapun jenisnya, ada pemilik dan penerimanya. Dalam sebuah laga, wasit sebagai pemberi dus pemilik, dan pemain sebagai penerima. Pemain sebagai objek yang disemprit kartu. Tidak pernah ada cerita wasit dikartu kuning, apalagi kartu merah, oleh pemain. Meski kadang kartu yang disemprit oleh wasit tidak adil, atau kurang bisa diterima oleh pemain, apalagi penonton—tapi kartu yang keluar dari saku wasit adalah pengesahan–legal-formal dalam sebuah laga.

Perlu diingat, wasit dalam sebuah laga berkedudukan sebagai penonton independen yang terjun langsung di lapangan. Ia memiliki dua kartu: kuning dan merah.

Dan, ketika semprit yang ditiup Ketua BEM UI disertai kartu kuning untuk Pak Jokowidodo, jelas viral dan melahirkan banyak tafsir. Maka, perlu dipertanyakan ketika kartu keluar dari saku Ketua BEM UI: siapakah pemain dan siapa pula wasitnya? Apakah Ketua BEM UI sebagai wasit, dan Jokowidodo sebagai pemainnya?

“Pikiran saya semakin kacau,” keluh Pak Sakerah lirih. “Ada banyak nilai moral keindonesiaan yang hilang di negeri ini. Kemarin lalu, Pak Budi yang guru honorer itu disemprit kartu truf oleh siswanya, dan ia menjadi korban kartu. Nilai moral penghormatan siswa kepada gurunya, belakangan ini perlu dipertanyakan: apakah masih ada? Kali ini, Pak Jokowi juga mendapat kartu.”

Lebih jauh Pak Sakerah memberi saran: Silakan pertentangkan kartu yang keluar dari saku wasit, tapi di luar sana, dengan pertentangan yang bermartabat dengan fakta yang akurat dan logis. Jangan membubarkan sebuah laga karena kartu yang tidak sependapat. Kritiklah habis-habisan Pak Budi yang guru honorer itu karena sudah mengecat pipi siswa, tapi lakukan dengan karakter keindonesiaan, bukan malah di-truf oleh siswanya yang menyebabkan riwayatnya berakhir. Termasuk kartu kuning untuk Pak Jokowdiodo: silakan kritik Pak Presiden kita ini, tapi yang bermartabat. Jika kartu kuning Pak Jokowi dianggap masih bermartabat, maka tidak penting kita membicarakan tafsir lebih lanjut tentang kartu. Hanya saja, agar kelak tidak kembali keluar kartu kuning, kita harus hati-hati dalam ber-‘apa’ saja.

“Mestinya,” Komat menambah, “presiden ketemu presiden, yang dibicarakan kemaslahatan umat. Ini lain, Presiden RI ketemu Presiden BEM, kok malah keluar kartu. Aneh, atau hebat ya?” tanyanya pelan.

Itulah kartu, yang bisa kuwalat pada penerimanya karena ia tersanksi secara legal-formal, dan menjadi bumerang bagi pemberi jika tidak bijak mengeluarkannya. Kartu, selembar kertas atau yang disetarakan kertas, yang tidak memiliki arti apa-apa jika kertas itu sebagai pembungkus kacang goreng.

Panorama Pagi – 11 Februari 2018

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *