Catatan Em Saidi Dahlan : ‘Masjid Jamik’

  • Whatsapp
Masjid Jamik

Seorang Cina: mungkin peranakan, tapi matanya sipit dan kulitnya putih; berjas merah yang dalamannya mengenakan kaos warna putih, mungkin ia kader sebuah partai, atau hanya ingin menunjukkan rasa nasionalismenya dengan menorakkan pakaiannya ‘merah-putih’; berkopiah putih-krem dianyam dari rotan, mungkin seorang mualaf atau sekadar pelindung kepalanya yang penuh uban, atau ingin menunjukkan hasil kreatifitas anak bangsa yang bernama kerajinan; tertegun menatap Masjid Jamik Sumenep.

Laki-laki Cina itu berdiri di seberang masjid, depan taman adipura. Mulutnya komat-kamit, tapi tak sedang berzikir. Seperti ada kalimat-kalimat yang terus meluncur dari mulutnya. Di depan masjid yang dulu ‘berstatus’ jamik–oleh karena penataan status di zaman Orba, masjid terbesar di kabupaten berubah ‘agung’–laki-laki itu terus menatap Masjid Jamik. Dan ia berkata singkat kepada orang di sekitarnya, “Andai kita seperti mereka; perancang ide dan arsitektur masjid ini: tidak ada wak-wasangka di antara kita,”—lalu ia pergi.

Cerita tidak menarik itu diceritakan kembali oleh Pak Sakerah kepada warga di RT-nya. Saat itu tengah ada rapat RT, membahas persiapan Kamling pada Ramadan nanti. Herannya, meski tidak menarik, hampir setiap warga memiliki tafsirnya sendiri.

Masjid itu dibangun oleh arsitek Cina, Lauw Pia Ngo, cucu Lauw Kate, orang Cina pertama yang tinggal di Sumenep. Ia penganut Khong Hu Chu, yang kala itu tidak ada larangan dari Hindia untuk menganut agama atau kepercayaan apapun. Bahkan, kata Pak Sakerah, tak beragama pun dulu itu boleh hidup layak di negeri yang bernama Nusantara. Dan jangan heran, mereka hidup damai. Muasalnya, masjid kebanggaan masyarakat Madura itu dari ide Panembahan Sumolo, seorang ulama putera Bendara Saod. Maka, ide brilian Sang Panembahan ketemu arsitek, jadilah Masjid Jamik Sumenep.

“Orang Sumenep seratus persen muslim!” kata Pak Sakerah meyakinkan pendengarnya. “Dan warga Tiong Khoa, seratus persen Khong Hu Chu.”
Lebih lanjut Pak Sakerah menuturkan: tafsir yang menarik adalah adanya perpaduan dua perbedaan besar; agama, bangsa, budaya dan segala tetek bengek yang berhubungan dengan kemanusiaan. Yang satu muslim, yang lain Khong Hu Cu; yang satu Nusantara, yang lain Tiong Hoa; yang satu penguasa, yang lain terkuasa; yang satu raja yang lain abdi; dan keduanya saling menghormati. Jadilah artsitek Cina membangun masjid, yang oleh pelataran hadits, meski dibangun oleh nonmuslim, derajat maqam-nya jauh lebih mulia dari pada di rumah yang dibangun oleh muslim. Sebagai tempat shalat yang jauh lebih utama dari pada di rumah.

Sebenarnya Pak Sakerah tidak ingin membicarakan soal itu. Yang ingin dia bicarakan kali ini adalah adanya perbedaan yang jika menyatu menjadi ide besar bermuatan positif. Semisal, Amien Rais jika ber-ide brilian disampaikan kepada Jokowidodo, tentu menjadi ide besar, dan bangsa ini jauh melampaui Amerika. Meski kritik untuk pemimpin di negeri ini memang penting, sebab tanpa kritik presiden bisa memproklamirkan dirinya sebagai raja, yang jatah kekuasaannya sampai mati. “Tapi kritik itu tidak asal,” kata Komat melengkapi penjelasan rekannya.

Tapi, kata Kiai Sahal Mahfudz ketika ‘merawat’ NU, kita bisa hidup tenteram dan berdampingan dengan siapa pun jika mau ‘bersama dalam ketidaksamaan’—tapi yang satu tidak perlu menyerang berlebihan kepada yang lain.

Maka, warga RT yang mestinya bermusyawarah untuk Kamling Ramadan menyimpulkan suasana di luar sana, riuh-rendah di luar perumahan RT, bahwa: Pertama, negeri ini masih butuh Amien Rais, meski kadang kritiknya menjengkelkan. Beliau, kata Pak Sakerah, memiliki ‘sebagian’ andil dalam menumbangkan kuasa Orba yang diktator. Meski cita-citanya unuk menjadi orang nomor wahid di negeri ini tidak semulus Jokowidodo. Rupanya, Tuhan masih lebih suka kepada Jokowidodo untuk menjadi presiden. Artinya, “Kritik dari para kritikus, politikus, atau apapun namanya, misalnya seperti pernyataan-pernyataan politik Fadli Zon yang dianggap nyinyir, itu masih dalam koridor ‘penting’ dilakukan,” Pak Sakerah menyimpulkan.

Kedua, kita tidak berharap laki-laki Cina di depan Masjid Jamik Sumenep malah beramai-ramai mengundang teman-kerabat yang di negeri seberang sana untuk datang ke Indonesia. Lapangan kerja jangan buru-buru diserbu orang Cina, “Wong anak negeri sendiri malah kekurangan lapangan kerja, kok malah diserbu orang luar,” kata Pak Sakerah.

“Kita kekurangan lapangan kerja! Bukankah begitu, Bang?” kata Kamit antusias, “meski kelebihan lapangan sepak bola. Sanak saudara kita masih banyak yang menganggur, makanya mereka lebih suka bermain di tanah lapang sepak bola, bukan di tanah lapang kerja,” tambahnya getir.
Maka, ksimpulan kedua, kata Pak Sakerah: kita tidak boleh nyenyak tidur, sebab di belakang kita sudah menanti tenaga asing yang hendak masuk ke tanah air.

Sementara, riuh Pilkada kali ini terkalahkan oleh ambisi mengganti presiden di tahun 2019.
“Bagi kami, siapa pun presidennya tidak terlalu penting. Wong harga BBM tetap melambung, cabe tak terbeli, dan harga listrik terus merambat tanpa sosialisasi. Saya hanya berharap, Masjid Jamik Sumenep tidak dipindah ke Tiongkok, oleh karena mereka merasa misalnya, ikut mengarsiteki masjid. Itu saja.”
Panorama Pagi – 26 April 2018

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *