Catatan Em Saidi Dahlan: Zhōng Wànxué

  • Whatsapp

Zhōng Wànxué

Anda pasti setuju bahwa kata Zhōng Wànxué dari bahasa China. Bukan asli bahasa negeri ini. Maka, jangan heran jika kata Zhōng Wànxué tidak dikenal luas masyarakat Indonesia. Berbeda dengan kata Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang belakangan menjadi viral di medsos, dan menjadi komidite media massa yang super laris. Dalam hal ini, semua orang pasti tahu, ‘laris-manis’-nya nama Ahok itu karena pernyataannya beberapa waktu lalu, yang ditengarai menista Alquran. Dunia mulai merasa kenal dengan Ahok yang kontnroversial. Namanya naik tingkat: qou internasional. Begitu viralnya Ahok, sementara nama Zhōng Wànxué sama sekali tidak dikenal orang.
“Apa hubungannya pembicaraan kita dengan Zhōng Wànxué?” keluh Sakerah.
Ini bisa mafhum, di Madura nama tidak ‘aneh-aneh’ banget. Hanya saja, kebiasaan orang Madura menyingkat nama begitu simplistis. Malaikat Munkar dan Nakir disingkat menjadi Munakeron. Puskesmas digampangkan menjadi Masmesmus. Nama Mohammad Rasyidi dipendekkan menjadi Matras. Mohammad Nur disimpelkan menjadi Menor. Ini bukan tanpa alasan, sebab secara anatomi, lidah orang Madura tidak panjang-panjang amat. Tapi bukan berarti pendek.
Andai orang Madura ada yang bernama Zhōng Wànxué, mungkin nama itu akan disederhanakan menjadi Sui-sui atau O’ang. Begitu eloknya suara itu jika keluar dari mulut orang Madura.
Annemarie Schimmel, wanita ilmuwan, seorang orientalis dari Jerman yang lahir 7 April 1922 (w. 26 Januari 2003) yang banyak menulis tentang agama Islam dan Sufisme pernah menjadi pembicaraan serius dalam suatu jamuan sederhana di sebuah warung apem. Karena sebagai seorang ‘allamah, seorang hafidz (30 juz), hafal ribuan Hadits Nabi, dan hafal beberapa tafsir karangan mufassir terkemuka di abad pertengahan, menjadi kajian serius orang-orang Madura untuk menyandangkan namanya sebaik-baiknya.
Maka, Pak Komat, rekan Pak Sakerah, mengusulkan nama Annemarie Schimmel diubah menjadi Mar’ie, tapi bukan Mar’ie Muhammad yang menteri keuangan pada Orde Baru itu. Lebih lengkapnya, Annemarie Schimmel diubah namanya menjadi Mar’ie Jamal. Simplistis, dan itu layak, namanya harus ngarab gitu. Tentu ini agar sesuai dengan kealimannya. Soal kemudian disingkat, dari Mar’ie Jamal menjadi Ija, misalnya Mbah Ija, atau Nyai Ija, itu soal berikutnya yang tidak penting didiskusikan. Bagi orang Madura, yang penting mudah diingat, gampang diucapkan, dan membawa mamfaat, sebagaimana Kiai Alawi Muhammad yang dipendekkan menjadi Mak Lawi.
Jika Annemarie Schimmel mau berceramah di Masjid Agung Sumenep misalnya, dengan deretan ayat dan hadits yang meluncur dari mulutnya, ketika turun dari podium, wanita Jerman itu akan disembah, tangannya dicium bolak-balik oleh orang Madura. Begitu hormatnya orang Madura kepada orang alim (ulama) karena ditengarai sebagai pewaris Nabi. Annemarie Schimmel, kata orang Madura, seorang ‘allamah yang wajahnya berbinar-binar di muka bumi, dan menerangi syurga kelak.
Tetapi, begitu kecewanya orang Madura ketika seorang doktor muda memberi penjelasan lengkap tentang Annemarie Schimmel. Ia (Annemarie Schimmel) adalah seorang professor di Universitas Harvard dari tahun 1967 sampai 1992. Schimmel dilahirkan dari keluarga pengikut agama Kristen Protestan dan hidup dalam suasana yang berkebudayaan tinggi, dari kalangan kelas menengah, lahir di Erfurt, Jerman. Ayahnya, Paul, adalah seorang pekerja pos, dan ibunya, Anna, berasal dari keluarga dengan banyak hubungan dengan perniagaan internasional. “Dalam berbagai studi, tidak sekali pun Annemarie Schimmel mengucapkan kalimat syahadat,” kata sang doktor itu.
“Lalu?” Pak Sakerah heran.
“Dia bukan muslim?” Komat menyambung.
“Iya,” kata sang doktor membenarkan. “Annemarie Schimmel tidak pernah masuk Islam, tidak pernah menjadi muslim. Meskipun dia sangat kagum pada kebudayaan Islam dan literatur yang ia kaji tentang Islam membuat dia berlama-lama mempelajari Islam.”
“Lalu, apa agama Annemarie Schimmel?” Pak Sakerah masih penasaran.
“Atheis.”
Maka, kekaguman orang Madura terhadap Annemarie Schimmel menjadi pudar. Meskipun karyanya tetap menjadi rujukan penting di pesantren-pesantren sebagaimana Kamus Munjid (Kamus Bahasa Arab-Arab) yang ditulis oleh Munjid, seorang non-Muslim. Anak-anak pesantren paham itu, bahwa Munjid memiliki karya monumental meskipun ia bukan seorang muslim. Dua tokoh tersebut adalah orientalis yang menyejukkan hati umat Islam dengan karya-karyanya, meski Allah belum memberikan hidayah kepada mereka.
Andai Basuki Tjahaja Purnama tidak dipanggil Ahok, maka sama sekali tidak tampak kecinaannya. Malah nama Basuki Tjahaja Purnama oleh orang Madura akan dipendekkan namanya menjadi Tjapung (Capung). Padahal, mestinya Anda sadar, bahwa nama Tionghoa dari Basuki Tjahaja Purnama itu adalah Zhōng Wànxué, pemeluk Kristen Protestan. Ayahnya bernama Indra Tjahaja Purnama dengan nama Tionghoa-nya Tjoeng Kiem Nam, dan Buniarti Ningsing dengan nama Tionghoa-nya Boen Nen Tjauw.
Dari dua kstaria dan seorang Srikandi di atas, maka Anda dapat mengira-ngira, kepada siapa Anda akan bersembah tangan, menaruh hormat? Itu saja.
Em Saidi Dahlan, endydahlan@ymail.com Sumenep, 19112016)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *