Oleh: Saiful Huda Ems
(SHE)
Pertama, tugas hakim itu menerima perkara, memeriksa alat bukti, saksi dan ahli, serta mengadili permohonan. Hakim bukanlah Polisi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan dan yang dapat mencari alat bukti, sebab hakim berada pada ranah Lembaga Yudikatif. Oleh karena itu permohonan dari kuasa hukum yang mewakili pemohon Paslon 02 Prabowo-Uno, yang meminta hakim Mahkamah Konstitusi untuk mencari bukti-bukti seperti yang pihak pemohon (Paslon 02 Prabowo-Uno) tuduhkan, adalah suatu hal yang menyalahi peraturan perundang-undangan dan peraturan Mahkamah Konstitusi.
Kedua, saya sependapat dengan senior hukum saya yang saat ini menjadi kuasa hukum dari Paslon Capres-Cawapres 01 Jokowi-MA, yakni Pak I Wayan Sudhirta, bahwa gugatan yang diajukan oleh Paslon Capres-Cawapres 02 Prabowo-Uno melalui kuasa hukumnya tidak memenuhi persyaratan formil maupun materiil. Secara formil gugatan yang dimohonkan tidak memuat penjelasan mengenai perselisihan suara atau penghitungan suara. Padahal dalam Peraturan MK, pemohon harus memuat soal perselisihan suara lantaran gugatan yang diajukan terkait perselisihan hasil PILPRES. Adapun secara materiil, permohon berusaha untuk menambahkan lampiran yang berarti itu tergolong sebagai pemohonan baru dan tidak seperti pada permohonan yang pertamakali diajukannya pada MK di tanggal. 24 Mei 2019.
Saya sangat sepakat dengan Pak I Wayan Sudhirta tsb. karena bagi saya jika itu permohonan baru berarti selain tidak ada konsistensi dalam permohonan gugatan I dan II juga telah memasuki masa kadaluarsa, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 475 UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan Pasal 6 ayat 1 PMK No. 4 Tahun 2018, yang menyebutkan permohonan hanya diajukan dalam jangka waktu 3 hari setelah penetapan perolehan hasil suara PEMILU Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU. Ini berarti pula permohonan baru yang diajukan oleh tim kuasa hukum Prabowo-Uno di pertengahan Juni yang lalu tidak dimungkinkan karena telah melewati batas waktu yang ditentukan.
Ketiga, kuasa hukum dari pihak pemohon gugatan PHPU di MK, yakni advokat Denny Indrayana telah mengklaim dirinya sebagai advokat dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) sejak tahun 2000, sedangkan menurut catatan saya (karena saya sendiri juga merupakan advokat dari KAI) baru berdiri di tahun 2008, yang dipimpin oleh alm. Indra Syahnun Lubis, lalu beberapa tahun kemudian, KAI pecah menjadi dua dimana yang satunya lagi diketuai oleh Tjoetjoe Sandjaja Hernanto sebagai presidennya, dan menurut kesaksian dari Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, saudara Denny Indrayana telah bergabung dengan KAI yang dipimpinnya sejak tahun 2018. Maka perlu saya tanyakan disini kepada kuasa hukum 02 rekan advokat saya saudara Denny Indrayana, saudara Denny Indrayana jadi advokat KAI sejak tahun 2000 itu KAI yang mana dan ketuanya siapa? Saya hanya bertanya sebagai sesama advokat KAI, agar tidak terjadi kesalah fahaman diantara kita.
Keempat, sesuai dengan UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat dalam Pasal 3 ayat 1 huruf C, advokat itu dilarang berstatus sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Negara. Sedangkan saudara advokat Denny Indrayana saat mengajukan gugatan PHPU nya di MK tercatat sebagai profesor di perguruan tinggi. Sepanjang yang saya tau Profesor itu merupakan jabatan, bukan gelar akademik seperti SH, MH, Doktor dll.nya, lalu bagaimana bisa saudara Denny Indrayana yang merupakan pegawai negeri dan memiliki jabatan sebagai profesor bisa merangkap sebagai advokat? Bukankah ini pelanggaran kode etik advokat sesuai dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat?
Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) saudara Tjoetjoe Sandjaja Hernanto merupakan sahabat dan senior saya, beliau juga merupakan Wakil Ketua Dewan Pembina Pengurus Pimpinan Pusat HARIMAU JOKOWI yang posisinya berada tepat dibawah Bpk. Jendral TNI (Purn.) Dr. Moeldoko sebagai Ketua Dewan Pembina Pengurus Pimpinan Pusat HARIMAU JOKOWI. Telah lama ada keinginan kuat dan usaha keras yang sudah dijalankan oleh beliau, untuk membersihkan dan memodernisasi dunia advokat, sehingga dua tahun lalu beliau pernah meminta pada saya untuk menulis buku yang menjelaskan tentang keinginan dan usahanya itu. Namun sayang karena masing-masing telah memiliki kesibukan, buku itu sampai sekarang belum sempat saya tulis.
Peristiwa dahsyat yang berujung pada sengketa gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden di MK Tahun 2019 ini, saya berharap dapat dijadikan momentum yang tepat bagi Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto serta semua pihak yang saat ini memegang kendali di organisasi-organisasi advokat seperti FERARI, PERADAN, PERADI dll. untuk memulai lagi memperbaiki, membersihkan dan memodernisasi dunia advokat, sehingga para advokat yang memiliki kedudukan sebagai penegak hukum yang mulia dan terhormat itu, dapat tampil lebih prima dan menjadi profesi primadona bagi semua orang.
Konon di zaman dahulu para advokat itu dalam sejarah awalnya, merupakan manusia-manusia “Setengah Dewa” yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat kecil dan lemah. Kaum bangsawan di Yunani saat itu kerap terjadi percekcokan dengan rakyat kecil, hingga tidak ada penyelesaiannya kecuali dengan adu kuat. Siapa yang secara fisik atau secara status sosial lebih kuat dialah yang akan menang. Lalu muncullah ide untuk menyelesaikan persoalan melalui hukum. Ada orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kearifan untuk tampil menjadi pembela hukum bagi mereka yang ingin mendapatkan keadilan. Mereka semua memakai pakaian dari karung yang di belakangnya ada kantongnya. Bagi masyarakat kecil yang lemah dan miskin, serta tidak mampu membayar jasa pembela dan penegak hukum itu telah memasukkan batu di kantong-kantong mereka sebagai wujud ucapan terimakasih, dan sang pembela atau penegak hukum itu telah menerimanya dengan penuh kesenangan dan ketulusan. Merekalah yang saat ini disebut dengan advokat itu.
Saatnya kita benahi bersama wajah dunia advokat kita, hingga tidak ada lagi para advokat yang suka berbohong dan tidak tampil cakap dalam mengemban amanat profesinya. Akhirul kalam, sepertinya kita harus merenungkan kembali filosofi Jawa yang teramat masyhur, yakni:”Ajining diri saka lathi, Ajining raga saka busana”, yang berarti seseorang akan memiliki kehormatan diri karena ucapannya, dan seseorang akan memiliki kehormatan raga karena busananya. Mari kita sama-sama berbenah, berbenah tutur kata kita, berbenah penampilan kita, luar dan dalam, lahir dan batin ! Salam jabat erat !…(SHE).
Jakarta, 17 Juni 2019.
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis yang menjadi Ketua Umum Pengurus Pimpinan Pusat ORMAS HARIMAU JOKOWI.