Jakarta, 7 Januari 2020
JAKARTA | Memasuki tahun ke 12, kinerja LPSK sudah mulai mendapat pengakuan dari banyak kalangan, hal itu ditandai dengan kenaikan angka jumlah pemohon saksi/korban tindak pidana dari tahun ke tahun.
Untuk melihat ikhtiar LPSK dalam pemenuhan hak saksi dan korban selama 2019, kami merangkumnya dalam sebuah catatan singkat sebagai berikut :
*Catatan Permohonan Saksi/Korban di 2019*
Perlahan mulai dikenal publik, membawa konsekuensi pada kenaikan jumlah permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK. Kami mencatat terjadi kenaikan yang cukup siginifikan perihal jumlah permohonan yang masuk ke LPSK.
Statistik menunjukan, jumlah permohonan perlindungan pada 2019 meningkat 41,54 persen dengan jumlah total mencapai 1983 permohonan. Sedangkan pada 2018 permohonan hanya berjumlah 1401.
Dari jumlah permohonan yang mencapai 1.983, sebanyak 1.972 permohonan telah diputuskan melalui rapat pimpinan LPSK selama 2019. Rinciannya, 1147 permohonan diterima, 754 ditolak, 71 ditolak dan rekomendasi sedangkan tersisa 11 permohonan yang masih dalam proses penelaahan.
Dari total seluruh permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK, kasus Tindak Pidana Lain (Bukan Tindak Pidana Prioritas LPSK) menempati rangking teratas dengan 553 permohonan. Kasus kekerasan seksual anak menyusul di posisi kedua sebagai tindak pidana yang banyak mengajukan permohonan perlindungan dengan jumlah 350 permohonan.
Selanjutnya adalah kasus Terorisme sebanyak 326 permohonan; Pelanggaran HAM Berat sebanyak 318 permohonan; Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebanyak 162 permohonan; Korupsi sebanyak 67 permohonan; Penganiayaan Berat sebanyak 40 permohonan; Penyiksaan sebanyak 11 Permohonan; Narkotika sebanyak 9 permohonan; dan Tindak Pidana Pencucian Uang sebanyak 6 permohonan. Sedangkan permohonan yang tidak masuk klasifikasi sebagai tindak pidana mencapai 141 permohonan.
Kami mencatat terdapat empat tindak pidana yang mengalami kenaikan jumlah permohonan siginifikan pada 2019. Permohonan kasus terorisme mengalami lonjakan siginifikan mencapai 129 persen dibanding pada 2018 yang hanya berjumlah 142 permohonan. Disusul oleh Tindak Pidana Lainnya yang mengalami kenaikan mencapai 60 persen dibanding tahun 2018 yang hanya berjumlah 347 permohonan.
Kasus lain yang mengalami kenaikan adalah kasus TPPO mencapai 49 persen dibanding tahun 2018 yang berjumlah 109 permohonan, dan yang terakhir adalah kasus Kekerasan Seksual Anak yang mengalami kenaikan sebesar 29 persen dibanding pada 2018 yang berjumlah 271 permohonan.
Provinsi Jawa Barat menduduki posisi 5 teratas wilayah asal permohonan perlindungan selama tahun 2019 dengan mencapai 517 permohonan, disusul oleh Sumatera Utara sebanyak 358, Jawa Tengah sebanyak 268, DKI Jakarta sebanyak 182 dan Jawa Timur sebanyak 113. Sedangkan tidak terdapat permohonan sama sekali dari Pronvinsi Gorontalo dan Sulawesi Barat di tahun 2019.
Catatan Layanan Perlindungan Saksi/Korban 2019
Setelah LPSK memutuskan menerima permohonan, tahapan selanjutnya adalah pemberian layanan sesuai dengan kebutuhan terlindung (saksi/korban). Pada 2019, jumlah terlindung mencapai 3365 orang.
Sebagai informasi, jumlah terlindung mungkin saja lebih banyak ketimbang jumlah permohonan masuk di tahun yang sama karena terlindung LPSK pada tahun 2017 atau 2018 masih dimungkinkan menerima program perlindungan di 2019 dan seterusnya.
Terlindung dalam kasus Pelanggaran HAM yang Berat menempati jumlah teratas dengan jumlah mencapai 1611 orang terlindung, menyusul ditempat kedua kasus Kekerasan Seksual yang mencapai 507 orang, selanjutnya kasus Terorisme 415 orang; kasus Tindak Pidana Lainnya 370 orang; kasus TPPO 318 orang; korupsi 115 orang; penyiksaan 26 orang dan narkotika hanya 3 orang.
Provinsi Jawa Tengah menjadi wilayah terlindung LPSK terbanyak dengan angka 1160 terlindung, yang disusul oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 427 terlindung, selanjutnya adalah Provinsi Jawa Barat sebanyak 327, Sumatera Utara sebanyak 315 dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 180 terlindung.
Sedangkan Provinsi Maluku Utara menjadi Provinsi dengan terlindung LPSK paling minim dengan jumlah 1 orang terlindung.
Sepanjang 2018 hingga 2019 total layanan perlindungan yang diberikan mencapai 9308 layanan. Rinciannya adalah 2450 layanan Pemenuhan Hak Prosedural; 395 layanan Perlindungan Fisik; 964 layanan Bantuan Psikologis; 457 fasilitasi Bantuan Psikososial; 4017 layanan Bantuan Medis; 621 fasilitasi pemberian restitusi dan 404 pemberian kompensasi.
Perihal pemberian kompensasi kepada korban terorisme, sepanjang tahun 2017 – 2019 LPSK telah berhasil menunaikan hak kepada 50 korban terorisme dengan total nilai yang telah dibayarkan sebesar Rp. 4.281.499.847. Untuk tahun 2019 sendiri, LPSK telah menyerahkan kompensasi kepada 21 korban terorisme dengan total nilai Rp. 1.755.462.708.
Rinciannya adalah 16 korban terorisme Gereja Santa Maria dan Mapoltabes Surabaya sebesar Rp. 1.180.123.183; sebanyak tiga korban terorisme Tol Cipali-Cirebon sebesar Rp. 413.986.248; satu orang korban terorisme di Mapolda Riau sebesar Rp. 125.000.000 dan satu orang korban terorisme Lamongan dengan nilai kompensasi Rp. 36.353.277.
Di UU No 31 Tahun 2014, salah satu program perlindungan yang penting didapatkan korban kejahatan adalah layanan rehabilitasi psikososial.
Program perlindungan dalam bentuk bantuan psikososial tidak dapat secara langsung dipenuhi oleh LPSK seorang diri, melainkan dengan membangun kemitraan dengan instansi pemerintah, BUMN maupun lembaga filantropi.
Di tahun 2019, LPSK memiliki capaian yang cukup baik terkait fasilitasi layanan psikososial kepada terlindung, LPSK telah menggandeng Kementerian Sosial dan Perum Pegadaian serta membangun kemitraan dengan filantropi seperti Dompet Dhuafa dan Lazismu.
LPSK telah memfasilitasi layanan psikososial dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha berbentuk uang tunai dan perlengkapan dagang serta biaya pengobatan rumah sakit kepada sejumlah terlindung LPSK.
Terkait pemberian restitusi, sepanjang tahun 2019, LPSK telah memfasilitasi restitusi bagi 105 orang korban tindak pidana dari total 46 perkara. Sebanyak 44 orang dari 21 perkara merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan sebanyak 61 orang dari 25 perkara merupakan korban tindak pidana kekerasan seksual.
Jumlah restitusi yang difasilitasi dari seluruh kasus tersebut mencapai Rp 6.312.733.233. Jumlah restitusi yang dikabulkan mencapai Rp. 1.692.944.025, restitusi yang tidak dikabulkan sejumlah Rp. 524.932.000 dan jumlah restitusi yang masih menunggu proses pengadilan mencapai Rp. 2.977.153.280.
LPSK menyongsong tahun 2020
Di tahun 2020 banyak tugas berat yang masih menanti, terdapat beberapa tantangan dan peluang yang harus dihadapi LPSK untuk tetap memberikan layanan terbaik kepada saksi dan korban di Indonesia. Adapun tantangan sekaligus peluang yang LPSK hadapi pada tahun 2020 adalah sebagai berikut :
Tren Penurunan Anggaran dan Menuju Organisasi Mandiri
Ditengah menanjaknya permintaan layanan, LPSK harus berhadapan dengan kenyataan minimnya dukungan dan perhatian pemerintah kepada para saksi dan korban.
Alokasi anggaran untuk tahun 2020 merupakan terendah yang LPSK terima dalam 5 tahun terakhir. Sejak tahun 2015 hingga 2018, anggaran LPSK berada di kisaran Rp 150 M hingga Rp 75 M, namun di 2020 anggaran LPSK kembali turun dengan alokasi hanya sekitar Rp. 54 M.
Di sisi yang lain, LPSK dituntut untuk tetap memberikan sejumlah layanan prima kepada ribuan orang terlindung. Banyak program yang masih terus dijalankan dengan kebutuhan biaya yang tidak sedikit.
Program-program yang dimaksud seperti perlindungan fisik saksi kasus korupsi, bantuan medis sesaat setelah peristiwa terorisme, pemberian kompensasi bagi korban terorisme masa lalu, rehabilitasi medis dan psikologis bagi korban pelanggaran HAM berat, hingga pemulihan korban kejahatan seksual. Dengan kondisi seperti ini, LPSK mengkhawatirkan akan berdampak terhadap kualitas program perlindungan saksi dan korban.
Namun ditengahnya kelesuan anggaran yang dialami, terhitung sejak Januari 2020 LPSK telah resmi menjadi organisasi mandiri dan tidak lagi berstatus sebagai Satuan Kerja (Satker) Kementerian Sekretariat Negara.
Hal ini ditandai dengan terbitnya Perpres 87 tahun 2019 yang menjadi landasan hukum yang kuat bagi LPSK untuk menjalankan fungsi dan tugasnya dalam memberikan perlindungan saksi dan korban dengan kemandirian pendanaan di lingkungan Sekretariat Jenderal LPSK.
Kehadiran LPSK Perwakilan
Guna meningkatkan jangkauan dan pelayanan kepada masyarakat khususnya di wilayah daerah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berencana membangun sejumlah perwakilan daerah pada tahun ini.
Untuk tahun 2020, LPSK akan membuka kantor perwakilannya dan siap beroperasi di dua Provinsi yakni Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Idealnya LPSK harusnya hadir dibanyak wilayah Indonesia, namun hingga saat ini baru dua provinsi yang telah memiliki izin prinsip pembentukan LPSK daerah dari Kemenpan RB, selain adamua dukungan konkrit dari pemerintah daerah.
Sepanjang kiprah LPSK dalam memberikan layanan perlindungan, dirasakan betul bahwa layanan tidak bisa lagi hanya mengandalkan pusat untuk memberikan layanan perlindungan saksi. Oleh sebab itu harus dibentuk perwakilan di daerah agar upaya perlindungan bagi saksi dan korban kedepannya dapat bisa lebih menjangkau masyarakat yang selama ini tidak tersentuh program perlindungan saksi korban LPSK.
Pembayaran Kompensasi Terorisme Masa Lalu UU No 5 tahun 2018 Tentang Perubahan atas UU No 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi landasan terpenuhinya hak-hak para korban terorisme yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.
UU ini pun membuka ruang bagi setiap korban tindak pidana terorisme yang terjadi pada masa lalu atau proses hukumnya telah usai untuk mendapatkan hak-haknya. UU ini pun menjadi landasan hukum bagi LPSK untuk memberikan kompensasi bagi korban terorisme baik yang terjadi sebelum dan sesudah UU No 5 tahun 2018 terbit.
Menurut catatan BNPT, di tahun 2020 estimasi korban terorisme masa lalu (dibatasi hanya sampai Bom Bali I) berjumlah kurang lebih 800 korban yang harus diberikan kompensasi.
Selain itu, perihal yang tidak kalah penting adalah tenggat waktu yang diamanatkan oleh UU untuk membayarkan kompensasi kepada sejumlah korban yang hanya tersisa kurang lebih 1,5 tahun lagi dari sekarang.
Untuk itu, LPSK berharap pemerintah memberikan perhatian khusus kepada warga negara yang menjadi korban tindak pidana terorisme melalui dukungan pendanaan yang memadai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
*Pengalihan Korban Tindak Pidana Oleh BPJS*
Belakangan upaya perlindungan terhadap korban kejahatan mulai mendapat soroton masyarakat. Setelah terbitnya Perpres No 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, banyak dijumpai kasus korban tindak pidana tidak lagi mendapatkan layanan medis dari BPJS. Alasannya, berdasarkan Perpres ini, BPJS tidak lagi menjadi penjamin kesehatan masyarakat, seraya mengarahkan agar para korban meminta layanan medis kepada LPSK.
Padahal di sisi yang lain, LPSK juga dibatasi kewenangannya oleh regulasi yang memayunginya untuk men-cover semua biaya korban tindak pidana. Apabila pembiayaan tersebut dibebankan kepada LPSK maka perlu aturan pendukung, institusionalisasi LPSK daerah, penambahan jumlah SDM, penciptaan mekanisme yang jelas serta tentunya dukungan anggaran yang memadai.
Restitusi dalam RKUHP
Ke depan, LPSK akan bersiap menyediakan sarana untuk mengantisipasi layanan terhadap korban kejahatan yang mengajukan ganti rugi/restitusi yang tidak hanya terbatas pada korban kekerasan seksual terhadap anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Hal ini dirasa penting mengingat kewenangan memberikan penilaian restitusi hanya ada di LPSK. Jika RKUHP nanti disahkan maka LPSK harus menyiapkan semua infrastruktur dan piranti untuk menyambut banyaknya permohonan yang masuk terkait ganti rugi/restitusi.
Selama ini istilah restitusi/ganti rugi telah dikenal dalam beberapa UU seperti UU Perlindungan Anak, Peradilan HAM, Terorisme dan TPPO. Maka LPSK berharap adanya harmonisasi khususnya dalam hal penamaan yang seragam terkait restitusi/ganti rugi dalam RKUHP.
*Terkait Peneguhan Saksi Pelaku (Justice Collaborator)*
Salah satu bentuk langkah dukungan dalam penegakan hukum melalui UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah aturan terkait dengan saksi dan pelaku. Sejak tahun 2006 saksi pelaku ( justice collaborator ) ini telah diatur sebagai istilah baru di Indonesia melalui UU No. 13 Tahun 2006 Jo UU No 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Sedangkan, definisi Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
LPSK menilai perlunya ada kesamaan pandangan dalam mekanisme penetapan, penghargaan dan perlindungan terhadap saksi pelaku dari seluruh aparat penegak hukum, karenanya LPSK mengusulkan perlunya sebuah regulasi berupa peraturan presiden sebagai upaya penyamaan pandangan terhadap saksi pelaku Di tahun 2020.
LPSK akan terus mengajak aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan lembaga lainnya untuk dapat mengoptimalkan peran saksi pelaku dalam pengungkapan perkara tindak pidana korupsi serta memperhatikan Pasal 10 A, Pasal 28 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam penetapan seseorang sebagai saksi pelaku, langkah ini juga bisa digunakan untuk mendorong pengembalian kerugian negara secara optimal.
*Tumbuhnya Inisiatif dan Peran Serta Masyarakat*
LPSK menyadari adanya keterbatasan yang dimiliki untuk menjangkau dan melaksanakan program perlindungan kepada saksi dan korban baik dari sisi sumber daya manusia maupun anggaran. Namun, ditengah keterbatasan yang dimiliki, LPSK melihat munculnya banyak inisiatif dan gerakan karitatif yang tumbuh di tengah masyarakat untuk menolong banyak korban tindak pidana.
Hal ini bisa terlihat dari perbuatan elok yang dilakukan oleh seorang figur publik Baim Wong yang telah membantu korban kejahatan TPPO dan aksi simpatik Wakil Rakyat Andre Rosiade yang membantu pengobatan medis korban kekerasan seksual di Sumatera Barat.
Tindakan serupa juga terjadi ketika masyarakat bahu membahu membantu korban kejahatan jalanan (klitih) di Yogyakarta melalui penggalangan donasi online. LPSK memberikan apresiasi atas tindakan luar biasa yang dilakukan oleh masyarakat. Kami percaya masih banyak tindakan semacam ini yang belum dinaik ke permukaan.
LPSK