JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VI DPR RI, Hj Nevi Zuairina menyampaikan pentingnya korporasi yang mengelola pelabuhan menstandarisasi usaha dan pelayanan bertaraf internasional.
Hal itu disampaikan Nevi dalam Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi Kelompok Terarah dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membahas ‘Integrasi BUMN pengelolaan Pelabuhan’ di Jakarta pertengahan pekan ini.
Untuk mendukung ke arah ini, Nevi meminta ada perubahan regulasi guna mempermudah mewujudkan terbentuknya badan usaha yang mumpuni dan mampu besanding dengan jenis usaha lain di negara-negara maju.
Hingga saat ini, Selat Malaka merupakan jalur perdagangan internasional terpadat di dunia. Setiap tahun, yang melintas Selat Malaka lebih 100.000 kapal dengan muatan lebih dari 90 juta kontainer.
“Jangan sampai kita kalah dengan negara tetangga, mengingat Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di Selat Malaka yakni sekitar 600 mil,” tutur anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Nevi menjabarkan, berdasarkan data Lloyd’s List (2019), pelabuhan Singapura mampu melayani sekitar 37,2 juta kontainer dan Malaysia dikisaran 22,6 juta kontainer. Indonesia mampu menarik sekitar 10,5 juta kontainer dan Thailand 8,1 juta kontainer.
Mestinya negara kita unggul dalam mengelola pelayanan kontainer dari berbagai negara itu, kenyataannya tak demikian, Kondisi memprihatinkan masih saja terjadi.
Dikatakan, Singapura hanya memiliki garis pantai 15 mil, Malaysia 200 mil. Indonesia 600 mil. Namun, keunggulan itu belum mampu menarik minat kapal bersandar dengan jumlah lebih besar di pelabuhan Indonesia.
Wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Sumatera Barat tersebut menyoroti, tingginya biaya logistik di Indonesia antara lain waktu yang dihabiskan kapal di pelabuhan Indonesia relatif lebih lama dibandingkan dengan negara lain.
Waktu yang digunakan untuk pengurusan ekspor dan impor di Indonesia baik dari sisi kepabeanan maupun dokumen lebih lama jika dibandingkan dengan negara lain. Di Indonesia, waktu yang dihabiskan untuk proses dokumen ekspor 138,8 jam dan okumen impor 164,4 jam. Di Malaysia dokumen ekspor diproses hanya 35 jam dan dokumen impor 60 jam.
Karena itu, Nevi meminta, BUMN pelabuhan memiliki payung hukum yang mengakomodir penggunaan teknologi canggih. Peningkatan efisiensi pelabuhan dengan pemanfaatan teknologi digital mesti dapat realisasikan dengan memperkuat ‘single windows’.
Indonesia mesti mampu membuat aturan yang terintegrasi antara Bea Cukai, Perdagangan, dan lembaga terkait lain sehinnga bisa mengurang waktu pengurusan administrasi dan bongkar muat kapal sehingga tidak jauh berbeda dengan di negara tetanggga.
“Sebelum melakukan merger BUMN Pelabuhan, selesaikan dahulu regulasi yang menghambat, dan bentuk regulasi baru yang mendukung berkembangnya BUMN Pelabuhan bersaing dengan negara-negara tetangga,” demikian Hj Nevi Zuairina. (akhir)