JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto mengatakan, ada ketidakadilan dalam Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
Karena itu, papar Wakil Ketua Fraksi PKS bidang Industri&Pembangunan tersebut, Permen ESDM ini harus disempurnakan. Isi dari Permen ESDM yang sekarang, khususnya yang mengatur soal harga jual-beli (ekspor-impor) listrik dari pengguna tenaga surya ke PLN 1:1, terkesan tidak adil.
“Permen ini hanya menguntungkan industri, bisnis maupun perumahan mewah, sebaliknya itu menjadi beban untuk PLN,” kata Mulyanto ketika Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) Listrik, Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Gatrik, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM dan Dirut PLN di Gedung Nusantara I Komplek Parlemen Jakarta awal masa Sidang I 2021-2022 minggu lalu.
Menurut Mulyanto, ketentuan ini hanya bagus untuk mendorong produksi listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) dan mempercepat pencapaian target bauran energi 23 persen EBT 2025. Pengguna PLTS semakin bersemangat karena tarif ekspor-impor listrik PLTS dinaikan menjadi 1:1, sebelumnya hanya 1:0.65.
“Namun, kalau sasaran regulasi ini adalah pelanggan di wilayah Jawa-Bali-Sumatera yang surplus listrik, PLN dipastikan buntung. Sebab, biaya yang harus dibayar PLN lumayan besar, sekitar 3.61 GW. Padahal PLN tak memerlukan tambahan produksi di wilayah-wilayah surplus listrik.”
Logikanya sederhana, ketika pelanggan 3.61 GW yang menggunakan listrik PLN berhenti dan menggantinya dengan listrik PLTS yang mereka produksi, berarti PT PLN berdasarkan hitungan Kementerian ESDM bakal kehilangan potensi pendapatan 3.61GW atau sekitar Rp 5,7 triliun per tahun.
Sementara, kata wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten itu, perjanjian jual-beli listrik antara PLN dengan produsen listrik swasta (IPP) memiliki klausul Take Or Pay (TOP), dimana dipakai atau tidak, PLN harus bayar 70-80 persennya.
Itu artinya, daya 3.61 GW yang tidak dipakai pelanggan PLN, tetap harus dibayar PLN kepada IPP, karena mesin argo TOP dari pembangkit listrik swasta tetap jalan.
”
Berarti ketika pelanggan PLN beralih ke listrik PLTS atap sebesar 3.61 GW, maka PLN harus nombok sebesar Rp 5,7 triliun per tahun,” ujar Mulyanto.
Pada sisi lain, lanjut Mulyato, bila terjadi kelebihan listrik dari PLTS atap, dengan regulasi baru, PLN harus membayar tambahan 35 persen tarif kepada pelanggan dari jumlah listrik yang diimpor (selisih tarif ekspor-impor 65 persen ke 100 persen).
“Ini kan PLN dua kali buntung.
Regulasi ini juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan, karena yang akan menikmati 99 persen sektor industri, bisnis dan perumahan mewah di kota besar. Karena rumah orang miskin tidak menggunakan PLTS.
”
Ya, s
ekarang mulai banyak ditemukan pengembang perumahan mewah menjadikan fasilitas PLTS Atap sebagai bahan jualannya. Pengembang mengimingi-imingi calon pelangganya akan mendapat keringanan dari Pemerintah karena menggunakan PLTS Atap.
“Secara ekonomi kondisi ini tentu tidak adil. Masak Pemerintah memprioritaskan orang yang mampu. Sementara di wilayah terpencil lainnya masih ada masyarakat yang belum dapat menikmati listrik,” jelas Mulyanto.
Pemegang gelar Doktor Teknik Nuklir Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang 1995 tersebut meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengingatkan para pembantunya untuk berhati-hati membuat regulasi.
“Jangan regulasi tersebut sampai menjadi beban baru untuk PT PLN, yang sekarang saja terlilit sudah utang Rp 500 triliun, serta melukai rasa keadilan dalam masyarakat di tengah pandemi Covid-19,” kata Mulyanto.
Untuk diketahui, Pemerintah dalam keterangan saat RDP dengan Panja Listrik Komisi VII DPR RI menyampaikan, rencana pembangunan PLTS atap 3.61 GW dengan alokasi sebesar: 1.525 MW untuk perumahan; 1.307 MW untuk industri; 729 MW untuk bisnis; 37 MW untuk kantor pemerintah; 17 MW untuk lembaga sosial.
(akhir)