JAKARTA, Beritalima.com– Keinginan segelintir kader dan mantan kader untuk mengganti Ketua Umum Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) masih mengemuka di media. Dalangnya ingin mengangkat Moeldoko menjadi Ketua Umum partai berlambang Bintang Mercy tersebut menggantikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Para dalang yakin, Moeldoko akan mampu mengerek popularitas dan elektabilitas Demokrat menjadi partai dengan peringkat suara kedua terbanyak di parlemen. Caranya, dengan menggunakan Bintara Pembina Desa (Babinsa).
Keyakinan para dalang tersebut, kata pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, tentu kontra logika. Sebab, kata penulis buku ‘Perang Bush Memburu Osama’ itu, selama ini popularitas Moeldoko selalu lebih rendah daripada AHY.
Bahkan dari beberapa survei yang dilakukan, elektabilitas Moeldoko kerap tidak muncul. Kalau pun pernah muncul, elektabilitasnya hanya dibawah 1 persen. Dengan popularitas dan elektabilitas Moeldoko seperti itu, tentu tidak masuk akal kalau yang bersangkutan akan mampu mengangkat elektabilitas Partai Demokrat pada peringkat dua pada Pileg 2024.
Berbeda halnya dengan AHY, meskipun hanya berpangkat mayor, namun elektabiltas Partai Demokrat sejak dipimpinnya terus menanjak. Bahkan hasil survei terakhir menunjukkan, elektabilitas partai demokrat sudah meroket pada peringkat tiga.
“Jadi, meskipun ada pihak-pihak yang memandang sebelah mata, namun AHY terus bekerja untuk membenahi partai. Bahkan AHY rajin menemui anggota masyarakat di berbagai daerah,” kata Dekan Fikom Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP) Jakarta 1996-1999
Kebijakan partai yang dikeluarkan AHY, juga sangat pro rakyat. Seperti Program Bina UMKM, antara lain Program WIFI Gratis, Program Demokrat Peduli dan Berbagi. Semua program ini diluncurkan untuk membantu masyarakat terdampak pandemi Covid-19 dan masyarakat yang terkena bencana.
Disebutkan pria yang akrab disapa Jamil ini, para dalang tampak salah pilih orang kalau targetnya untuk meningkatkan elektabilitas Partai Demokrat. Kiranya kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin menguasai partai orang.
“Tentu cara-cara demikian sudah tidak populer di era demokrasi. Upaya seperti itu harus dilawan, karena sangat merusak demokrasi yang sudah diperjuangkan sejak 1998,” demikian Muhammad Jamliddin Ritonga. (akhir)