Dangdut Dakwah Rhoma Irama

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Pemerhati Dangdut/ Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)

Di blantika musik dangdut, tahun 70 sampai 80-an boleh dibilang menjadi tahun keemasan Rhoma. Bersama Soneta yang waktu itu masih bernama Orkes Melayu (OM), ia dan kawan-kawan tampil fenomenal. Dimulai dengan lagu-lagu melayu yang semula berisi ratapan asmara dan cinta. Kemudian, sekalipun tetap mengusung tema-tema romantisme, Rhoma mengenalkan lagu-lagu melayu yang lebih dinamis, dengan tema sosial yang mengandung pesan-pesan moral. Gerakan memperbaharui musik dangdut–yang ia sering sebut sebagai revolusi–itu juga ditunjang dengan pembaharuan alat musik yang cukup spektakuler waktu itu. Warna musik yang semula terkesan didominasi suara ndut-nya gendang, mengalami perubahan yang nyaris total.

Gitar melodi yang semula terdengar datar-datar dibuatnya meraung-raung seperti layaknya gitar musik cadas. Dukungan peralatan musik elektronik dengan kapasitas listrik super besar dan peralatan lain, menjadikan kargo Soneta terlihat sangat banyak dan tentu sangat berat. Menurut catatan media, grup yang pertama kali hit dengan lagu Begadang ini, disebut-sebut sebagai grup musik yang memiliki jumlah bawaan kargo paling berat dari kebanyakan grup lainnya. Bahkan, sebagaimana ditulis detik.com (15/10/2018) ada isu yang menyebutkan bahwa kargo Soneta adalah yang terberat nomor dua di dunia, setelah The Rolling Stones milik mega bintang grup musik cadas asal Inggris, Mick Jagger. Mengenai hal ini, juga pernah ditulis republika.co.id (11/12/2016). Dalam catatannya, hingga akhir 80-an, Soneta adalah satu-satunya grup musik di Indonesia yang memiliki peralatan panggung terlengkap dengan berat lebih dari 15 ton. Peralatan musik yang tidak lazim layaknya orkes melayu pada zamannya memang membuat warna musik dangdut penyanyai kelahiran Tasikmalaya 11 Desember 1946 ini menjadi lain dari yang lain.

Tidak hanya itu, grup yang didirikan Rhoma–11 Desember 1970 setelah sebelumnya bergabung dengan grup Candraleka dan OM Purnama–itu kemudian juga memberikan warna lain. Secara terbuka, ia mendeklarasikan Soneta sebagai “The Voice of Moslem” pada 13 Oktober 1973. Kala itu, Rhoma Irama selaku penyanyi plus gitar melodi bersama tujuh anggota Soneta (Wempy pemain gitar rhythm, Herman pembetot bas, Nasir pemetik mandolin, Kadir pemukul gendang, Ayub penggoyang tamborin dan penggebug timpani, Riswan menguasai synthesizer, dan Hadi peniup suling bambu), berikrar bahwa musik mereka berasaskan amar makruf nahi munkar (mengajak kebaikan, menjauhi keburukan). Sebagai musisi muslim tampaknya ia gusar melihat fenomena musisi waktu itu yang identik dengan minuman, perempuan, dan narkotika. Atau, dalam terminologi Jawa hal-hal tersebut sering dikategorikan sebagai “ma-lima”. Sebagaimana yang sering ia klaim Rhoma-lah satu-satunya penyanyi yang pertama kali mengucapkan “assalamu’aikum” ketika mengawali pentas musiknya.

Kiat Rhoma menjadikan musik sebagai media dakwah memang didasari oleh keyakinannya, bahwa menurutnya musik adalah ‘halal’. Pendapat Rhoma boleh jadi memang didasarkan atas salah satu bentuk pilihan hukum musik yang telah menjadi pro kontra dalam wacana fikih Islam: ada yang mengharamkan ada dan ada yang menghalalkan. Kamantapannya, bermusik tampaknya didukung oleh pendapat ulama yang menghalalkan musik. Yusuf al Qardhawy, seorang mujtahid Mesir dalam bukunya Maqasid Syari’ah menyebut Syaikh Hasan Al-Athar, seorang Syaikh Al Azhar abad ketiga belas Hijriyah yang sangat suka mendengarkan musik dan mengetahui dasar-dasar hukumnya dengan baik. Menurut Syaikh An Nablusi, sebagaimana dikutip Al Qardhawy, bahwa hadits shahih yang menjadi argumentasi orang yang mengharamkan musik adalah dalam kaitannya dengan ajang kemaksiayatan (melupakan dzikir kepada Allah), adanya minuman keras, biduanita, kefasikan, dan kemungkaran. Tampaknya, kayakinan Rhoma menjadikan Soneta sebagai media dakwah karena alasan-alasan hukum yang demikian. Mungkin menurutnya, musik hanyalah alat. Baik buruknya dan bermanfaat tidaknya sebuah alat, sangat tergantung penggunaannya. Dalam konteks ini, ‘kemurkaannya’ kepada Inul karena “goyang ngebor”nya karena ia dianggap telah merusak misi dangdut ‘anti maksiyat’ yang telah susah payah ia perjuangkan.
Sebagai benteng spiritualnya pada setiap kesempatan personil Soneta selalu tampak mengerjakan salat 5 waktu secara berjamaah. Sebagai puncaknya, pada tahun 1980-an seluruh personil Soneta menunaikan ibadah haji tahun 1975. Ketika itu banyak yang mencibir dan membuat ramalan pesimis sekaligus sinis terhadap kelangsungan bermusiknya. Karir musik yang diramalkan oleh banyak kalangan– termasuk oleh sebuah majalah dengan tiras besar (sebut saja: TEMPO)–akan tamat sepulang haji, ternyata tidak benar. Soneta dan sosok penyanyi anak pasangan Raden Burdah Anggrawirya dengan Tuti Juwariah, ini karirnya terus melesat ke atas bak meteor.
Masyakarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini justru ‘tergila-gila’ dengan Rhoma dan Sonetanya. Lagu-lagu bernuansa islami yang disuguhkan Soneta seolah mengobati kerinduan atas kehadiran musik dangdut, yang selama ini berkonotasi kemaksiayatan. Warna musik dan lirik lagu agamisnya berhasil mendekatkannya dengan banyak tokoh Islam yang mempunyai basis umat besar. Sebagai contoh di Jawa Timur, penyanyi–yang kemudian akrab dengan panggilan “Bang Haji”—ini pernah dekat dengan pemilik pesantren ternama K.H. As’ad Syamsul Arifin (Asembagus) dan K.H. Hasan Saifur Rizal Genggong. Bahkan salah satu putrinya, Debby Irama, tercatat pernah menjadi salah satu menantu pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong ini. Para santri pun kemudian merasa tidak tabu lagi mendedangkan dangdut ala Rhoma Irama di sela-sela menghafal alfiyah atau kegiatan kesantrian lainnya. Bahkan, tidak jarang para da’i/muballigh sering mengutip sebagian lirik lagu Rhoma dan mendendangkannya untuk mendukung ‘hujjah’ dakwahnya.

Sekalipun demikian, ayah Ridho Rhoma ini tercatat juga pernah ‘bermasalah’ dengan institusi keagamaan tertinggi di negeri ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bukan mengenai persoalan haram dan halalnya musik dangdut. Lagu “La ilaha illallah” yang di dalamnya menyuarakan surat al-ikhlas secara utuh membuat MUI, tahun 1978, ‘terpaksa mengadilinya’. Sebelumnya, bahkan karena lagu itu, suami Rica Rachim ini, oleh sebagian ummat Islam, sempat dituduh menjual ayat-ayat Allah. Setelah ia jelaskan, akhirnya semua dapat memakluminya. Sebagaimana kita ketahui, sebagaian klarifikasi atas tuduhan miring itu lalu diabadikannya dalam sekenario filem Raja Dangdut.

Keputusan berani lain ialah ketika Rhoma pada Pemilu 1977 dan 1982 bergabung bersama PPP. Padahal, waktu itu adalah masa ganas-ganasnya Orde Baru. Kehadirannya di dunia politik di luar partai penguasa itu jelas membuatnya tampil sebagai salah satu tokoh ‘musuh’ panguasa. Akibatnya, dia pun harus ‘dihukum’ selama kurang lebih 11 tahun tidak bisa tampil di TVRI, sebagai satu-satunya TV waktu itu. Dalam catataan Moh. Shofan dalam buku “Rhoma Irama: Politik Dakwah dalam Nada” bahkan, sebanyak empat kali, penyanyi yang pernah mendapat gelar professor itu akan dibunuh (?) oleh Orde Baru (detikNews, 07/03/2014).

Semua liku-liku perjuangan Rhoma memang telah membuahkan hasil gemilang. Perjuangannya yang ‘istikomah’ pada musik yang digelutinya memang tidak sia-sia. Dahsyatnya “gelombang” dangdut yang dihembuskan Rhoma dan Soneta membuat banyak musisi dan grup musik non dangdut harus terpaksa “menebalkan muka” untuk ikut ikutan “berdangdut ria”. Namun hal itu tidak dapat mereduksi kebesaran Rhoma dan Soneta tetapi justru sebaliknya. Bagai air bah Rhoma dan Soneta terus mengalir dan bertahta di singgasana musik Indonesia. Dan, harus diakui, hingga saat ini belum ada satu grup pun yang masih utuh seperti Soneta.

Kini Haji Kadir, Haji Wempy, Haji Ayub, Haji Herman, Haji Riswan, Haji Hadi, dan Haji Nasir memang telah lebih dulu pergi untuk selama-lamanya menghadap Sang Pencipta. Dan, kini pendiri Soneta tinggal satu-satunya, Rhoma Irama. Setelah Rhoma meninggal pula, berarti “Soneta is closed,” kata Rhoma. Sebagai penggemar musik “dangdut religi” tentu tetap mengingingkan Soneta tetap ada. Paling tidak, di masa depan bisa muncul seorang Raja dangdut baru menggantikannya. Atau, setidaknya masih tetap muncul penyanyi-penyanyi dan grup dangdut yang se-‘madzhab’ dengan Soneta. Semoga.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait